GHIBAH
Rasulullah bersabda, “Tahukan
kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Iaitu engkau
menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu
ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya
sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka
engkau telah meng-ghibahi-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya.”
(HR. Muslim)
Senangnya ya menceritakan keburukan orang
lah..ditambah tambah..padahal ndak betul la
apa hukumnya..ya HARAM lah..dalil?
Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian
menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat : 12)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang
amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab
yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak
mengetahui.” (QS. An-Nur – 19)
Nabi SAW bersabda, “Sungguh engkau telah mengucapkan
sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan
merubahnya.”
.Rasulullah SAW bersabda : “Ghibah itu
lebih keras daripada zina.” Mereka bertanya,” Bagaimana ghibah lebih keras daripada zina, wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Sesungguhnya seorang telah berzina, kemudian bertaubat dan Alah
mengampuni dosanya, sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni
Allah, hingga orang yang di-ghibah-nya mengampuninya.”
Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda
: “Siapa yang
berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia
perbuat), maka Allah SWT akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli
neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (malakukan sesuatu yang dapat
membebaskannya).” (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW bersabda : “Ketika aku
di-mi’raj-kan aku
melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu
mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata, “Siapakah
mereka itu wahai Jibril?” . Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging
menusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain.” (HR. Abu
Daud)
GHIBAH YANG BOLEH..adaka itu..
1 melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang
teraniaya boleh melaporkan kepada hakim dengan mengatakan ia telah dianiaya
oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah perbuatan ghibah, namun karena
dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal ini diperbolehkan dalam agama.
2 usaha untuk mengubah kemungkaran dan
membantu seseorang keluar dari dari perbuatan maksiat, seperti mengutarakan
kepada orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengubah kemungkaran. “Si Fulan
telah berbuat tidak benar, cegahlah dia!”
Maksudnya adalah meminta orang lain untuk
mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah
ghibah yang diharamkan.
3 untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya
dengan mengucapkan , “Ayah saya telah berbuat begini kepada saya, apakah perbuatannya itu
diperbolehkan? Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi?
Bagaimana cara mendapatkan hak saya?”
Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi
lebih selamat bila ia mengutarakannya dengan ungkapan misalnya, “Bagaimana
hukumnya bila ada seseorang yang berbuat begini kepada anaknya, apakah hal itu
diperbolehkan?” Ungkapan semacam ini lebih selamat karena tidak menyebut orang
tertentu.
4 untuk memperingatkan atau menasehati kaum
Muslimin. Contoh dalam hal ini adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang
dilakukan para ulama hadis. Hal ini diperbolehkan menurut ijmak ulama, bahkan
menjadi wajib karena mengandung maslahat untuk umat Islam.
5 bila seseorang berterus terang dengan
menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan, seperti minum arak, berjudi dan lain sebagainya, maka boleh
menyebut seseorang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun ia tidak boleh
menyebutkan aibnya untuk umat Islam.
6 untuk memberi penjelasan dengan suatu
sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang.
"Antara manusia ada yang didorong oleh
hasad dengki untuk mengumpat. Maka dalam satu masa, dia kumpulkan dua
keburukan; hasad dan ghibah" - Ibnu Taimiyah
SHUBHAH
Syubhah bermaksud tidak jelas samada haram
ataupun halal. Kebiasaan shubhah lebih cenderung kepada haram sebagaimana yang
terdapat dalam hadis.
Dalil dari hadis Nabi kita
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ
بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ
وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ
فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas.
Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak
diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari
perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.
Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia akan terjatuh pada
perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di
sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki
tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang
diharamkan-Nya.”
(HR. Bukhari)
Kemudian...
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang menjauhi syubhah,
telah selamatlah agamanya dan kehormatannya, barangsiapa yang menyertai
syubhah, ia seolah telah jatuh dalam yang haram”
( Riwayat Muslim)
Kemudian lagi...
Sabda Baginda lagi.
"Oleh itu, sesiapa menjaga diri dari
perkara syubhah, dia telah bebas (dari kecaman) untuk agamanya dan
kehormatannya dan sesiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, bererti dia telah
terjerumus ke dalam perkara haram."
1. Hadis ini mengingatkan kita agar
sentiasa berhati-hati dalam kehidupan seharian yang kita lalui.
2. Apabila kita meragui sesuatu
perkara,seharusnya kita menjauhkan diri daripada melakukan perkara tersebut
kerana dikhuatiri kita terjerumus dalam melakukan perkara yang haram.
3. Jika kita berhati-hati dan mengambil
berat mengenai urusan agama dan perkara yang berkaitan dengannya, sudah pasti
kita akan dapat menjauhi diri daripada terjebak
dengan perkara yang diragui atau syubhat
sekaligus menjauhkan diri kita daripada terlibat dengan perkara yang haram.
4. Ingatlah, jika kita tidak berwaspada,
kita akan mudah terbabit dengan perkara-perkara syubhat dan sekaligus
mendedahkan kita pada perkara-perkara yang haram.
Justeru,elakkan diri dariapda
perkara-perkara yang syubhat agar kita dapat menjaga diri dan agama kita serta
ahli keluarga.
Kata ulama muktabar..cuman jgn ada yg marah
ya..
Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri :
“Perkara yang syubhat (samar) itu muncul pasti ada beberapa sebab,
boleh jadi karana kebodohan, atau tidak adanya pemahaman lebih jauh mengenai
dalil syar’i, atau boleh jadi karana tidak mau merujuk pada ulama yang muktabar
ilmunya.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor).
Menurut Imam an-Nawawi r.a berkata : “maknanya bagi
semua perkara itu ia mengandungi 3 bahagian iaitu :
PERTAMA : HALAL itu jelas nyata, tidak
tersembunyi kehalalannya, seperti terkandung dalam al-Quran dan al-Hadith
seperti makan selain daripada darah dan bangkai, berjalan-jalan dan sebagainya.
KEDUA : HARAM itu jelas nyata, yang mana
terdapat larangan yang jelas qat’i dalam al-Quran dan hadith janganlah dipertikaikan pula. Tentang
larangan Allah yang dinyatakan dalam al-Quran berkaitan dengan jenayah telah
dikumpulkan oleh para ‘ulama dan diqanunkan untuk memudahkan kemaslahatan ummah maka
terhasillah hukum hudud seperti meminum arak, membunuh dan sebagainya
KETIGA : SYUBHAH (mutasyabihah) bermaksud
yang tidak jelas, iaitu kekeliruan antara kehalalannya dan keharamannya. Maka
tidak ramai pula yang mengetahui akan statusnya. Adapun sebaliknya, para ‘alim ‘ulama telah
mengetahui hukumnya berdasarkan kepada nash dan qiyas yang telah disepakati
oleh mereka. Jika sesuatu perkara itu tidak diketahui akan hukumnya atau
terjadi kekeliruan akan hukumnya sama ada halal atau haram, justeru tidak ada
nash yang menetapkannya dan tidak jua dengan ijma’, maka para mujtahid telah
berijtihad untuknya. Dengan ijtihad, mereka telah menasakhkan atau mengeluarkan
hukum untuk salah satu dari keduanya dengan menyatakan dali-dalil yang
berkaitan akannya.
Ibnu al-Mundzir pula telah mengkelaskannya
kepada 3 bahagian, iaitu :
PERTAMA : sesuatu yang memang telah
diketahui akan keharamannya oleh seseorang, kemudian dia ragu-ragu (syak)
tentangnya; adakah ia tetap kekal dengan kehalalannya atau tidak? Maka, tidak
halal baginya melakukan atau mengambil tindakan atas sesuatu melainkan ia
benar-benar YAKIN akan kehalalannya. Sebagai contoh dalam kehidupan seharian kita,
2 ekor ayam, salah seekor dari keduanya ini telah disembelih oleh penyembelih
oleh orang kafir lalu kita ragu-ragu yang mana satukah disembelih oleh si kafir
itu? Maka wajib kita mengelakan diri darinya.
KEDUA : seabliknya, sesuatu perkara itu
halal tetapi ragu-ragu (syak) akan keharamannya; seumpama hadath, datang
keraguan selepas yakin akan wujudnya atau terhasillah thaharah, maka tiada
kesan keraguan padanya selepas yakin. Iaitu orang yang telah berwudhu’ lalu dia
ragu-ragu sama ada dia masih dalam keadaan berwudhu’ atau telah batal wudhu’nya, jika dia
masih YAKIN msih ada wudhu’, maka hukum ke atasnya bahawa ia masih berwudhu’, justeru
yakin tidak boleh dihilangkan syak.
KETIGA : Sesuatu yang diragui akan
kehalalannya dan keharamannya, maka adalah lebih aula untuk meninggalkan
keraguan itu. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulallah SAW terhadapa
sebiji tamar yang terjatuh dari pokoknya. Telah diriiwayatkan daripada Bukhari
dan Muslim daripada Rasulallah SAW yang bermaksud :
“Sesunggunhnya aku telah pulang menemui isteriku lalu aku mendapati
sebiji tamar di atas tempat tidurku kemudian aku mengambilnya untuk memakannya
namun aku takut seandainya ia dari sedekah lantas aku mencampaknya”
Segelintir dari kalangan sahabat yang
mengatakan tentang Syubhah ini.
Abu Dharda’ r.a berkata :
“Ketaqwaaan yang sempurna ialah di mana seorang hamba itu takut
kepada Allah swt sehinggakan dalam perkara sebesar zarrah sekali pun,
termasuklah meninggalkan sebahagian perkara yang pada pendapatnya halal kerana
takut terjerumus pad hal yang haram.”
Al-Hasan al-Bashri r.a berkata :
“Ketaqwaan itu akan terus berkekalan pada orang-orang yang muttaqin
sehingga mereka meninggalkan banyak benda yang halal kerana rakut ianya haram.”
Ats-Tsauri berkata :
“Ada pun sesungguhnya ketinggian orang-orang yang muttaqin ini adalah
mereka yang meninggalkan barang apa yang tidak diketahui (akan keharamannya).”
Ibnu Umar r.a bekata :
“Biarkan sehelai kain tabir dan halal di antaraku dengan benda yang
haram, aku pasti akan mengoyakkannya.”
Telah tsabit daripada Abu Bakar r.a, bahawa
beliau pernah memakan makanan yang mengandungi syubhah tanpa pengetahuannya,
lantas apabila dia mengetahuinya, beliau pun memasukkan jarinya ke dalam
mulutnya lalu memuntahkannya apa yang telah dimakannya.
Dalam keadaan millennia kini, kita tidak
dapat lari daripada perkara SYUBHAH walau pun telah jelas yang halal dan haram,
lebih-lebih lagi dalam bab pemakanan.
Berkata seorang ulama :
“pada akhir zaman kelak akan tinggalah hanya kulit-kulit pokok kayu
yang hanya halal untuk di makan”
jadi fahamilah..semua itu dari hati..
ulama dalam mazhab Syafi’e telah
berhujah dengan hadith ini bahawa asal aqal itu adalah hati dan apa yang ada
dalam kepala adalah berasal daripadanya. Mereka berhujah dengan firman Allah
swt yang bermaksud :
“…mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mahu memahaminya (ayat-ayat
Allah swt)..”
(al-‘araf: 179)
mazhab abu Hanifah yang dikatakan aqal itu
adalah di dalam otak. Diriwayatkan jua seumpama ini oleh pakar perubatan.
Mereka berhujah jika otak itu rosak, maka aqal jua akan rosak. Apa yang lahir
daripada ilmu perubatan dan penjelasan hadith, bahawa sumber pemikiran yang
spontan adalah dalam otak, maka pancaindera berfungsi dengan perintah yang
kelaur daripada otak.
Allah swt berfirman yang bermaksud :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua ini akan
dipertanggungjawabkan”.
(al-‘Isra : 36)
jadi mari kita sama sama berpesan pesan
dengan umpamaan ini..bila kita ingat maka segala syubhah itu akan sekurang
kurangnya dpt kita hindar..dari makan minum..perbuatan..amalan..
“Makanan adalah bijih benih segala perbuatan, sekiranya apa yang
masuk (ke dalam perut) makanan yang halal, maka keluarlah dari tubuh perbuatan
yang halal. Jika masuk ke dalam perut makanan yang haram, maka keluarlah
darinya perbuatan yang haram. Jika yang masuk ke dalam perut itu adalah makanan
yang mengandungi syubhah, maka keluarlah dari tubuh badan itu perbuatan yang
syubhah.”
Hasan al-Bashri berkata kepada seorang
lelaki :
“Ubatilah hatimu, karana sesugguhnya kehendak Allah swt terhadap
hambaNya ialah kebaikan hati mereka.”
Pesan Nabi kita yang kita kasihi
Sabda Rasulullah SAW: "Ingatlah!
Sesungguhnya setiap penguasa (kerajaan), memiliki daerah terlarang. Ingatlah!
Sesungguhnya daerah yang terlarang milik Allah adalah apa saja yang
diharamkan-Nya. Ingatlah! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal
daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau ia rosak,
maka rosaklah seluruh tubuhnya, tidak lain dan tidak bukan itulah yang
dikatakan hati.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim
