الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين

أهلا وسهلا بكم

إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"



اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور

اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله


اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب

يارب يارب يارب

    KEMASKINI

    _

    _
    ALLAHUMMA YA ALLAH BERIKANLAH KEJAYAAN DUNIA AKHIRAT PADAKU , AHLI KELUARGAKU DAN SEMUA YANG MEMBACA KARYA-KARYA YANG KUTULIS KERANA-MU AAMIIN YA RABBAL A'LAMIIN “Ya Allah, maafkanlah kesalahan kami, ampunkanlah dosa-dosa kami. Dosa-dosa kedua ibu bapa kami, saudara-saudara kami serta sahabat-sahabat kami. Dan Engkau kurniakanlah rahmatMu kepada seluruh hamba-hambaMu. Ya Allah, dengan rendah diri dan rasa hina yang sangat tinggi. Lindungilah kami dari kesesatan kejahilan yang nyata mahupun yang terselindung. Sesungguhnya tiadalah sebaik-baik perlindung selain Engkau. Jauhkanlah kami dari syirik dan kekaguman kepada diri sendiri. Hindarkanlah kami dari kata-kata yang dusta. Sesungguhnya Engkaulah yang maha berkuasa di atas setiap sesuatu.”

    AL-HAYA'U MINAL IMAN



    عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
    Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”

    TAKHRÎJ HADÎTS
    Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).

    PENJELASAN HADÎTS
    A. Pengertian Malu
    Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

    Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]

    Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]

    B. Keutamaan Malu
    1). Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
    “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)

    Dalam riwayat Muslim disebutkan,


    اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
    “Malu itu kebaikan seluruhnya.”
    [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran
    bin Husain]

    Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.

    2). Malu adalah cabang keimanan.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

    َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

    “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
    [Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]

    3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
    “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
    [Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu]

    4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
    “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.” [Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]

    5). Malu adalah akhlak Islam.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
    “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]

    6). Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
    Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


    دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
    “Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
    [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]

    Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]

    7). Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
    “Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
    [Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).]

    8). Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
    “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).]

    C. Malu adalah warisan para Nabi terdahulu
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…"

    Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.]

    Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.]

    D. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
    Allah Azza wa Jalla berfirman :
    $
    "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar" [Al-Ahzâb/ 33:53]

    Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,


    كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
    “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]

    Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[Fathul Bâri (X/522).]

    E. Makna Perintah "Berbuatlah Sesukamu" di Hadits Ini
    Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”

    Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
    1). Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman
    Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :

    "Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan" [Fushilat : 40]

    2). Perintah tersebut mengandung arti penjelasan.
    Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


    مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
    “Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.]

    Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)]

    3). Perintah tersebut mengandung arti pembolehan.
    Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.” [Fathul Bâri (X/523).]

    Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).]

    F. Malu Itu Ada Dua Jenis
    1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
    Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
    “Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]

    Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]

    2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
    Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]

    Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,


    فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
    Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]

    Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

    G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
    Artinya : “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah k dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).]

    H. Malu Yang Tercela
    Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]

    Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

    Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,


    لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
    Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]

    Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,


    نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
    Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]

    Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.

    Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).]

    I. Wanita Muslimah Dan Rasa Malu
    Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
    ...
    “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash: 25]

    Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.

    Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.[Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153)]

    Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.

    J. Buah Dari Rasa Malu
    Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa' (setia/menepati janji).

    Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.

    Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup. [Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).]

    Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.” [Ibid (hal. 55).]

    FAWÂÎD HADÎTS
    1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
    2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
    3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
    4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
    5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
    6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
    7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
    8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
    9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
    10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
    11. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
    12. Malaikat mempunyai sifat malu.
    13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

    Artinya : “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah]
    14. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.
    كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.
    Akhlak merupakan pendorong bagi menjauhi perkara-perkara yang buruk. Ia juga menjadi penghalang daripada mengurangkan hak-hak mereka yang berhak.
    Pemilik akhlak akan ditimpa perubahan akibat takut malu kepada Allah dan manusia. Ia merupakan satu perasaan yang hidup yang dapat mengangkat jiwa seorang insan daripada melakukan kesalahan atau dosa. Dengan akhlak kita akan merasa tercelanya perkara-perkara yang hina. Akhlak ini akan lahir dalam diri seorang insan apabila dia mengetahui bahawa Allah s.w.t sentiasa memerhatikannya. Sesungguhnya akhlak malu itu merupakan mahkota kepada akhlak.
    Malu itu sebahagian daripada iman
    Iman mempunyai pelbagai cabang, ketikamana Rasulullah s.a.w menyatakan bilangan cabang-cabang iman, hanya akhlak malu disebut secara khusus. Daripada Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : “Iman itu mempunyai tujuh puluh lebih cabang, dan malu itu merupakan sebahagian daripada iman.”(hadith riwayat Muslim). Dan dalam riwayat yang lain Baginda bersabda “ Iman itu mempunyai enam puluh lebih cabang, dan malu itu merupakan sebahagian daripada iman.” (hadith riwayat Al-Bukhari)
    Malu itu akhlak Islam
    Akhlak malu telah disebut secara khusus tanpa cabang-cabang yang lain daripada cabang iman kerana ia merupakan akhlak Islam yang paling penting. Sabda Rasulullah s.a.w : “Bagi setiap agama itu akhlaknya dan akhlak Islam itu malu”(hadith riwayat Malik). Para sahabat tertarik dengan akhlak malu yang ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w. Rasulullah merupakan seorang yang teramat malu. Daripada Abi Said Al-Khudri r.a berkata bahawa : “Rasulullah s.a.w itu lebih malu daripada perawan dalam tempat persebunyiannya”.(hadith riwayat Al-Bukhari).
    Malu itu neraca amalan
    Malu itu merupakan suatu neraca. Manusia mengetahui kebaikan suatu amalan dengan pelbagai jenis neraca. Diantara neraca tersebut ialah malu. Kita akan mendapati mereka yang menggunakan neraca malu tidak akan menerima suatu amalan yang menyebabkan mereka berasa malu. Sesungguhnya apabila mereka ingin melakukan sesuatu mereka akan melihat pada diri mereka, sekiranya mereka berasa malu mereka tidak akan melakukannya, dan sekiranya sebaliknya mereka akan melakukannya. Apabila seseorang hilang malu, maka dia akan melakukan apa yang ingininya dengan sesuka hatinya. Daripada Abi Mas’ud Uqbah r.a bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : “Sesungguhnya antara kata-kata ungkapan Kenabian terdahulu yang dapat diketahui dan dipetik oleh manusia ialah: Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa sahaja yang engkau mahu.”(hadith riwayat Al-Bukhari).
    Malu itu semuanya baik
    Jika disana terdapat akhlak yang semuanya baik,itulah dia malu. Daripada Imran bin Husain bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : “Malu itu semuanya baik (akibatnya)” atau baginda bersabda “Malu itu baik semuanya (akibatnya).”(hadith riwayat Muslim). Perasaan takut yang lahir daripada sifat malu tidak dianggap sebagai pengecut. Mereka yang malu lebih rela darahnya tumpah daripada jatuh airmukanya. Inilah kemuncak berani. Takut yang lahir daripada sifat malu bukanlah suatu kekurangan kerana dia hanya takut kehilangan kemuliaan dan keindahan dirinya.
    Malu itu suatu perhiasan
    Terdapat perkara-perkara yang menambahkan kecantikan sesuatu apabila diiringinya. Diantara perkara tersebut ialah malu. Ia menghiasi setiap perkara yang diiringinya. Daripada Anas r.a bahawa Rasulullah s.a.w : “Tidaklah sesuatu perkara yang diiringi kekejian itu kecuali ia akan menodainya, dan tidaklah sesuatu perkara yang diiringi malu kecuali ia akan menghiasinya.”(hadith riwayat At-Tirmidzi)
    Hilang malu penyebab kebinasaan
    Hilang malu merupakan sesuatu yang amat ditakuti oleh para salafussoleh. Bagi mereka ia merupakan salah satu daripada punca kebinasaan. Ini berpandukan kepada sabda Rasulullah.s.a.w : “Sesungguhnya apabila Allah ingin membinasakan seorang hamba dicabut darinya perasaan malu, setelah tercabut perasaan malunya tidak akan menimpanya kecuali perkara yang amat dibenci (oleh Allah), setelah itu tercabut pula sifat amanah darinya, setelah tercabut sifat amanah dari dirinya kamu tidak akan mendapatinya kecuali seorang pengkhianat, setelah itu tercabut darinya sifat rahmah, setelah tercabut sifat rahmah darinya kamu tidak akan mendapatinya kecuali seorang yang celaka dan dilaknat (dijauhkan), setelah itu dia tercabut dari simpulan Islam.”(hadith riwayat Ibnu Majah).
    Malu lelaki dan wanita
    Malu itu dituntut kepada lelaki dan perempuan. Diriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w melintasi seorang lelaki ansar yang sedang sedang menasihati saudaranya tentang hal sifat malu – yakni malu mengerjakan kejahatan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda : “Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan.”(hadith riwayat Al-Bukhari).
    Namun fitrah wanita menjadikannya lebih malu, oleh itu perkara yang mencemarkan malu seorang wanita itu lebih daripada lelaki. Sekiranya malu seorang lelaki zahir secara praktikal dengan menjauhi perkara-perkara yang boleh mengaibkannya begitu juga wanita malah lebih lagi. Seorang wanita yang pemalu tidak akan merenung kepada sesiapa yang berbicara dengannya. Dan ketawanya hanyalah dengan senyuman apabila dengan kehadiran orang asing, dan tidak ketawa terbahak-bahak. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melakukannya walaupun dia seorang lelaki. Daripada Abdullah bin Harith bahawa Rasulullah s.a.w tidak pernah ketawa kecuali dengan senyuman.”(hadith riwayat At-Tirmidzi). Dan wanita apabila ingin membeli perhiasan peribadinya (pakaian dan lain-lain), perasaan malunya akan menghalangnya daripada membeli daripada penjual lelaki.


    Diriwayatkan dari Umar radhiAllahu `anhu yang berkata: "Barangsiapa yang malu maka ia akan menutupi diri, dan barangsiapa yang menutupi diri maka ia telah menjaga diri, dan barangsiapa menjaga diri maka ia mendapatkan perlindungan." 

    Sedangkan Al-Jarrah bin Abdullah al-Hukmy :

    "salah seorang pasukan berkuda dari Syam mengatakan: "Aku meninggalkan dosa-dosa itu empat puluh tahun kerana malu, baru kemudian muncul sikap warak kepada diriku."  
    . Dia juga ada mengatakan: "Aku melihat kemaksiatan itu sebagai keburukan, maka aku pun meninggalkannya kerana pertimbangan harga diri, dan kerananya terhindarlah nilai agama yang ada." 


    Pertama ; Rasa malu kerana berbuat salah, seperti rasa malu Nabi Adam ‘alaihissalam yang melarikan diri dari Allah SWT saat di syurga. Ketika Allah SWT bertanya , “Mengapa kamu melarikan dirimu dariKu wahai Adam?” Adam menjawab, “Tidak wahai Tuhanku, melainkan kerana rasa malu terhadap engkau”.

    Kedua ; Rasa malu kerana keterbatasan diri (kelemahan dan rasa serba tidak sempurna), seperti rasa malu para malaikat yang membuatkan mereka senantiasa bertasbih kepada Allah SWT siang dan malam bahkan tanpa sesaat pun tanpa tasbih, namun demikian pada hari kiamat kelak mereka berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah, kami belum dapat menyembahMu dengan sebenar-benar penyembahan.”



    Ketiga ; Rasa malu kerana pengagungan atau dikenali juga sebagai rasa malu kerana memiliki makrifah kepada Allah (mengenal Allah lalu mengagungkanNya). Ketahuilah wahai sahabat sekalian bahawasanya sejauh mana makrifah seseorang hamba terhadap Tuhannya maka sejauh itu pula rasa malunya terhadap Allah SWT.

    Keempat ; Rasa malu kerana kehalusan budi seperti rasa malu Rasulullah SAW saat mengundang orang ramai pada acara walimah Saidatuna Zainab ra.Kerana mereka tidak segera pulang, Baginda bangkit dari duduknya dan merasa malu untuk mengatakan kepada mereka, “Pulanglah kalian”.

    Kelima ; Rasa malu kerana menjaga kesopanan , seperti rasa malu Ali ibn Abi Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada Rasulullah SAW kerana dia adalah suami kepada Puteri Rasulullah SAW.

    Keenam ; Rasa malu kerana merasa diri terlalu hina seperti rasa malu seorang hamba yang memohon bermacam-macam keperluan kepada Allah SWT dengan menganggap bahawa ia adalah hamba yang terlalu hina di hadapan Allah SWT atas banyaknya hajat dan keperluannya kepada Allah SWT.

    Ketujuh ; Rasa malu kerana cinta, iaitu rasa malu orang yang mencintai di hadapan kekasihnya bahkan ketika terlintas di dalam fikirannya saat berjauhan dengan kekasihnya, dia tetap merasa malu tanpa diketahui apa sebabnya, apalagi jika kekasihnya muncul secara tiba-tiba di hadapannya.

    Kelapan ; Rasa malu kerana ubudiyah, yakni rasa malu yang bercampur dengan cinta dan rasa takut. Seorang hamba yang merasa ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan Yang Disembah terlalu agung, sehingga ubudiyahnya yang kurang dan cacat serta tidak sempurna itu membuatnya rasa malu.

    Kesembilan ; Rasa malu kerana kemuliaan, yakni rasa malu seorang hamba yang memiliki jiwa agung tatkala berbuat baik atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah terkorban dengan mengeluarkan sesuatu namun dia merasakan kekurangan dalam berbuat baik.

    Kesepuluh ; Rasa malu terhadap diri sendiri, yakni rasa malu seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia andaikata dia memiliki rasa redha dengan kekurangan diri sendiri dan merasa puas pula melihat kekurangan orang selain dia. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri sehingga seakan dia memiliki dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap yang lainnya. Ini merupakan rasa malu yang paling sempurna. Sebab, jika seorang hamba merasa malu terhadap dirinya sendiri maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.

    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

    SOLIDARITI MENERUSKAN PERJUANGAN

    INI ZAMANNYA