الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين

أهلا وسهلا بكم

إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"



اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور

اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله


اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب

يارب يارب يارب

    KEMASKINI

    _

    _
    ALLAHUMMA YA ALLAH BERIKANLAH KEJAYAAN DUNIA AKHIRAT PADAKU , AHLI KELUARGAKU DAN SEMUA YANG MEMBACA KARYA-KARYA YANG KUTULIS KERANA-MU AAMIIN YA RABBAL A'LAMIIN “Ya Allah, maafkanlah kesalahan kami, ampunkanlah dosa-dosa kami. Dosa-dosa kedua ibu bapa kami, saudara-saudara kami serta sahabat-sahabat kami. Dan Engkau kurniakanlah rahmatMu kepada seluruh hamba-hambaMu. Ya Allah, dengan rendah diri dan rasa hina yang sangat tinggi. Lindungilah kami dari kesesatan kejahilan yang nyata mahupun yang terselindung. Sesungguhnya tiadalah sebaik-baik perlindung selain Engkau. Jauhkanlah kami dari syirik dan kekaguman kepada diri sendiri. Hindarkanlah kami dari kata-kata yang dusta. Sesungguhnya Engkaulah yang maha berkuasa di atas setiap sesuatu.”

    KEMATIAN : RAHSIA DAN PENGAJARAN



    Dalam satu hadis Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya “Perbanyakkanlah mengingati akan sesuatu yang memisahkan ni’mat yaitu mati”. Kenapa Rasulullah menyuruh kita untuk memperbanyak ingat akan mati? Yang pertama, kerana mati adalah kepastian “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (QS. 3 Ali Imran : 185). “Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, walaupun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh” (QS. 4 An nisa : 78).



    Kedua kenapa Rasulullah memerintahkan kita untuk memperbanyak ingat akan mati, karena mati datangnya tanpa pemberitahuan, kalau ada orang mengatakan sakit adalah tanda akan mati maka itu belum tentu benar kerana terlalu banyak pengalaman umat manusia yang berbulan-bulan dirawat di hospital, doktor pun sudah angkat tangan, tak sanggup lagi untuk mengubati, kemudian dibawa pulang oleh keluarganya, sampai ke rumah diberi ubat-ubatan kampung lalu ia sihat dan segar kembali.

    Tetapi tidak sedikit pengalaman juga umat manusia yang paginya orang itu masih berolahraga, masih berbual bersama kita, jam 12 tengahari kita diberitahu dia meninggal dunia.

    Kematian merupakan rahsia Allah sepenuhnya, kenapa Allah merahsiakan kematian seseorang ialah agar orang itu sentiasa bersiap-sedia untuk menghadapi kematian. Dan orang yang dikatakan bersedia menghadapi kematian hanyalah mereka yang siap bekal untuk kembali kepada Allah dan bekal menghadapi kematian, disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an : “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa” (QS. 2 Al Baqarah : 197) itulah sebabnya kenapa Rasulullah memerintahkan kita agar kita banyak ingat akan mati, karena mati adalah suatu kepastian, mati datangnya tanpa pemberitahuan.

    Kemudian yang ketiga kenapa Rasulullah memerintahkan agar kita ingat akan mati, karena dibalik kematian ada kehidupan dan kehidupan itu sangat berbeza dengan kehidupan dunia sekarang ini. Di dalam Al-Qur’an dengan tegas Allah berfirman: “Dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS. 32 As-Sajdah : 5)

    Satu hari kehidupan akhirat lamanya sama dengan 1000 tahun kehidupan di dunia. “Na’udzubillahi min dzaalik” kalau ada orang lantaran dosa kesalahannya kemudian kata Allah sebelum engkau masuk ke dalam syurga engkau harus masuk terlebih dahulu ke dalam neraka selama satu hari, maka satu harinya di neraka kalau dihitung dengan harinya dunia sama dengan 1000 tahun, bagaimana dengan orang yang masuk neraka selama satu tahun berarti dia akan berada di dalam neraka selama 365000 tahun dalam hitungan dunia.

    Orang yang masuk nerakanya 50 tahun berarti dia akan berada di neraka selama 50 x 365 x 1000 tahun. Ini yang digambarkan Allah di dalam Al-Qur’an : “Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu masuk syurga, hingga unta masuk kelubang jarum” (QS.7 Al A’raf : 40). (unta masuk kelubang jarum bermakna mereka tidak akan masuk syurga sebagaimana tidak mungkinnya unta memasuki lubang jarum).

    Itulah sebabnya mengapa Rasulullah memerintahkan agar kita memperbanyak ingat akan mati, karena mati adalah suatu kepastian, mati datangnya tanpa pemberitahuan, dibalik kematian ada kehidupan yang kehidupan itu sangat berbeza dengan kehidupan dunia sekarang ini.

    Siapa saja yang selalu ingat bahawa dirinya akan mati, selalu ingat bahawa dibalik kematian dia harus pertanggung jawabkan semua yang dia lakukan sekecil apapun di muka bumi ini. Maka pastilah orang itu akan menjadi orang yang baik, atau soleh dan akan menjadi orang yang amanah, disiplin, menjadi orang yang manfaat untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakat bangsa dan negara. Tapi sebaliknya manakala orang itu lupa dirinya akan mati, lupa bahawa dibalik kematian itu ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh diri kita, na’udzubillah boleh jadi orang itu akan menjalani hidup semahunya tanpa aturan apalagi aturan yang sudah digariskan oleh agama.





    Syekh Abdurahman Al-Sinjari, dalam Al-Buka min Khasyatillah, Nabi Ya’qub berdialog dengan Malaikat pencabut nyawa.
    “Aku ingin sesuatu yang harus engkau penuhi sebagai tanda persaudaraan kita,” pinta Nabi Ya’kub.

    “Apakah itu.” tanya malaikat maut.

    “Jika ajalku telah dekat, beritahulah aku.”

    Malaikat itu menjawab, “Baik, aku akan memenuhinya. Aku akan mengirimkan tidak hanya satu utusan, tapi dua atau tiga utusan.”

    Setelah itu keduanya berpisah. Hingga setelah lama malaikat itu datang kembali.

    “Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?” tanya Nabi Ya’qub.

    “Aku datang untuk mencabut nyawamu.” jawab malaikat.

    “Lalu mana ketiga utusanmu?” tanya Nabi Ya’qub lagi.

    “Sudah kukirim. Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan membungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya’qub itulah utusanku untuk setiap anak Adam.”

    Tetapi, kematian itu tidak hanya akan menimpa kepada orang-orang yang sudah lanjut usia (tua) saja, tapi semua orang baik itu bayi yang baru lahir atau belum lahir, anak-anak, remaja, dewasa samapai orang tua yang sudah jompo sekali. Pokoknya, setiap yang berjiwa baik itu manusia, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya akan merasakan mati, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT yang artinya,

    “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (QS. Ali Imaran (3): 185)

    Malahan di lain ayat-Nya Allah SWT menerangkan bahwa kematian itu terjadi atas izin Allah SWT sebagai sebuah ketetapan yang telah ditentukan waktunya, sebagaimana firman-Nya,
    “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya…” (QS. Ali Imran (3): 145)

    Maka, oleh karena itu, dimanapun kita, sedang apa pun kita, kalau Allah SWT sudah menetapkan ketentuan-Nya, bahwa saat ini, menit ini, jam ini, dan hari ini kita ditakdirkan mati, maka matilah kita. Allah SWT berfirman,

    “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…” (QS. An-Nisa (4): 78)

    Kematian adalah sesuatu yang pasti akan terjadi dan akan menimapa kepada setiap yang berjiwa. Yang jadi masalah adalah tidak ada yang tahu kapan kematian itu akan menimpa. Malahan Rasulullah SAW sendiri pun tidak diberitahu oleh Allah SWT. Sehingga timbul pertanyaan didiri kita masing-masing, kenapa Allah SWT merahasiakan masalah kematian ini?

    Ada beberapa alasan yang bisa kita ambil dari dirahasiakannya kematian itu:

    1. AGAR KITA TIDAK CINTA DUNIA
    DR. Aidh Al-Qarni dalam sebuah bukunya Cambuk Hati berkata bahwa, “Dunia adalah jembatan akhirat. Oleh karena itu, seberangilah ia dan janganlah Anda menjadikannya sebagai tujuan. Tidaklah berakal orang yang membangun gedung-gedung di atas jembatan”.

    Al-Ghazali dalam bukunya Mutiara Ihya Ulumuddin menukil beberapa hadits mengenai masalah dunia diantaranya adalah:Rasulullah SAW bersabda, “Dunia itu penjara bagi orang Mukmin dan surga bagi orang kafir”.

    Dan sabdanya pula, “Dunia itu terkutuk. Terkutuklah apa yang ada di dalamnya kecuali yang ditujukan kepada Allah.”Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Raulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mencintai dunianya, niscaya ia akan membahayakan akhiratnya. Dan barangsiapa mencintai akhiratnya, niscaya ia akan membahayakan dunianya. Maka utamakanlah apa yang kekal daripada apa yang binasa.”Intinya adalah agar kita tidak cinta pada sesuatu yang pasti tiada. Jangan sampai ada makhluk, benda, harta, jabatan yang menjadi penghalang kita dari Allah SWT.

    2. AGAR KITA TIDAK MENUNDA AMAL
    Kita tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun, semua dirahasiakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kita jangan sampai menunda-nunda ibadah, dan semua amal perbuatan baik yang akan kita lakukan, tobat yang kita lakukan, maaf yang kita ucapkan.

    Syekh Ahmad Atailah dalam bukunya Mutu Manikan dari Kitab Al-Hikam mengatakan bahwa,“Penundaanmu untuk beramal karena menanti waktu senggang, adalah timbul dari hati yang bodoh.”

    Dan Syekh Ahmad Atailah juga memberikan tipsnya untuk mengatur waktu dalam kehidupan duniawi yang mana perlu diperhatikan hal-hal berikut:

    1–Utamakan kehidupan akhirat, dan jadikan hidup didunia sebagai jembatan menuju akhirat, dan jangan menunda waktu beramal.

    2–Berpaculah dengan waktu, karena apabila salah menggunakan waktu, maka waktu itu akan memenggal kita. Artinya terputus seseorang dengan waktu terputus pula amal selanjutnya.

    3–Mengejar dunia tidak akan ada habisnya, lepas satu datang pula lainnya. Amal yang tertunda karena habisnya waktu, akan melemahkan semangat untuk menjalankan ibadah. Akibatnya hilang pula wujud kita sebagai hamba Allah yang wajib beribadah.

    4–Pergiatlah waktu beramal sebelum tibanya waktu ajal.

    5–Perketat waktu ibadah sebelum datang waktu berserah.

    6–Jangan menunda amal bakti sebelum datang waktu mati.

    7–Aturlah waktu untuk beramal agar kelak tidak menyesal.

    3. AGAR MENCEGAH MAKSIAT
    Ibnu Bathal berkata: “Jihadnya seseorang atas dirinya adalah jihad yang lebih sempurna”.
    Allah SWT berfirman, “Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya” (QS. An-Nazi’at (79): 40).

    Jihad seseorang atas dirinya sendiri dapat berupa mencegah diri dari maksiat, mencegah diri dari apa yang syubhat dan mencegah diri dari memperbanyak syahwat (kesenangan) yang diperbolehkan karena ingin menikmatinya kelak diakhirat.

    Meninggalkan maksiat adalah perjuangan, sedang keengganan meninggalkannya adalah pengingkaran. Maka, untuk menghindari maksiat, tidak lain dengan menemukan jalan keluarnya, dan satu-satunya jalan keluar adalah ketaatan dan menempatkan diri pada pergaulan yang dapat terhindar dari panggilan dan godaan hawa nafsu itu sendiri.

    4. AGAR MENJADI ORANG YANG CERDAS
    Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang merendahkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sementara orang bodoh adalah orang yang mengikuti diri pada hawa nafsunya dan berharap kepada Allah dengan angan-angan kosong.”

    Oleh karena itu, jadilah menjadi orang yang cerdas. Karena hanya orang yang cerdaslah yang tahu bagaimana mempersiapkan mati. Mereka tahu bagaimana merubah yang fana ini menjadi sesuatu yang kekal. Misalnya, bagaimana caranya gaji yang fana ini bisa berubah menjadi kekal? Maka caranya adalah dengan mengeluarkan sebagian atau semuanya kalau memungkinkan dari gaji itu untuk tabungan akhiratnya. Dan ini merupakan investasi kita untuk masa depan kita juga.

    Sahabat-sahabat sekalian, kematian adalah sesuatu hal yang misterius yang hanya Allah saja yang tahu. Tinggal bagaimana diri kita dalam mempersiapkan diri ini untuk menghadapi kematian yang akan mendatangi kita.

    "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". (QS. Ali Imran (3): 102)

    Kesakitan bila nyawa dicabut oleh malaikatul maut tidak dapat dibayangkan sama sekali.

    Walau bagaimanapun Nabi ada bersabda, maksudnya: “Bahawa Rasulullah mengingatkan tentang mati dan keseksaannya, maka sabda Baginda: Iaitulah sakitnya 300 kali tetakan pedang.” 



    Bayangkanlah jika kita ditetak atau dipukul dengan kayu, rotan mahupun besi bukan banyak, cuma sekali saja, itupun sudah tidak dapat digambarkan kesakitannya. Inikan pula ditetak dengan 300x tetakan.



    Bayangkanlah sendiri. Cuba kita tanggalkan pula kuku daripada isinya, pastinya sakit tidak tertahan. Daging disiat-siat dan dilapah hidup-hidup, dahaga yang amat sangat sehingga air lautan di dunia ini tidak mampu menghilangkannya.



    Semuanya ini cuma secebis dari perbandingan kesakitan maut,malah beribu-ribu kali lebih sakitnya daripada itu.



    Oleh itu, untuk meringankan keseksaan roh ketika dicabut oleh malaikat maut, maka digariskan beberapa amalan tertentu yang perlu diamalkan. Antaranya:-



    Sebelum tidur:
    1] Bacalah surah Al-Ikhlas tiga kali
    2] Selawat ke atas Nabi
    3] Membaca tasbih

    Amalan harian:
    1] Sentiasa membaca Al-Quran
    2] Memelihara solat terutama solat fardu
    3] Menghormati (jangan bercakap) waktu azan diperdengarkan
    4] Membaca tasbih
    5] Membanyakkan sedekah
    6] Sentiasa berzikir menyebut Allah

    Amalan yang perlu dijauhi:
    1] Dusta
    2] Khianat
    3] Mengadu domba
    4] Kencing berdiri



    Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud: “Bersuci kamu sekalian dari buang air kecil kerana sesungguhnya kebanyakkan seksa kubur itu dari sebab buang air kecil.”



    Pada suatu hari malaikatul maut datang untuk bertemu dengan Nabi Idris as lalu Nabi Idris meminta agar malaikatul maut mencabut nyawanya dan kemudian Allah menghidupkannya kembali. 

    Permintaan ini dilakukan untuk Nabi Idris as mengetahui kesakitan sakaratul maut agar taqwanya lebih mendalam dan teguh lagi. Maka Allah memberikan wahyu kepada malaikatul maut supaya mencabut nyawa nabi Idris dan meninggalkan ketika itu juga. Malaikatul maut menangis dan memohon kepada Allah supaya Dia (Allah) menghidupkan kembali Nabi Idris lalu dimakbulkan Allah.



    Setelah di dapati Nabi Idris as sudah hidup kembali, malaikatul maut bertanya: “Ya saudaraku, bagaimana rasanya kesakitan maut?” Jawab Nabi Idris: “Sesungguhnya ibarat terkelupasnya kulit dalam keadaan hidup-hidup, maka rasa sakit menghadapi maut itu lebih dari 1000 kali sakitnya.” Kata malaikat maut: “Secara berhati-hati dan tidak kasar yang telah saya lakukan khusus mencabut nyawa engkau itu, belumlah pernah aku lakukan terhadap seseorang pun.”



    Diriwayatkan lagi bahawa Nabi Isa as telah menghidupkan beberapa orang yang telah mati dengan keizinan Allah. Maka sebahagian orang kafir berkata: “Sesungguhnya engkau telah menghidupkan orang-orang yang telah mati yang masih baru, yang mungkin mereka itu belum benar-benar mati. Maka cuba hidupkan untuk kami orang yang telah mati seperti zaman yang awal dulu.”



    Kata Nabi Isa as: “Cubalah kamu pilihkan?” Mereka berkata:Hidupkanlah untuk kami anak Nabi Nuh as (Sam bin Nuh).”



    Maka Nabi Isa as pergi ke kuburnya, lalu mengerjakan solat dua rakaat dan berdoa kepada Allah. Dan Sam bin Nuh dihidupkan kembali, tetapi rambut dan janggutnya sudah beruban.



    Nabi Isa as hairan kenapa jadi begitu. Berkata Sam bin Nuh: “Saya telah mendengar panggilanmu dan saya mengira hari kiamat telah tiba, maka rambut dan janggut saya berubah menjadi putih seperti ini dari sebab takutnya hari kiamat. Berkata Nabi Isa as: “Sudah berapa tahun kau meninggal dunia?” Kata Sam:



    “Semenjak 4000 tahun lalu maka belumlah hilang sakit dari sakaratul maut.”



    Betapa kerapnya malaikat maut melihat dan merenung wajah seseorang, iaitu dalam masa 24 jam sebanyak 70 kali, andainya manusia sedar hakikat tersebut, nescaya dia tidak akan lalai mengingati mati. Tetapi oleh kerana malaikat maut adalah makhluk ghaib, manusia tidak melihat kehadirannya, sebab itu manusia tidak menyedari apa yang dilakukan oleh Malaikat Izrail. Justeru itu tidak hairan jika ramai manusia yang masih mampu bersenang riang dan bergelak ketawa, seolah-olah dia tiada masalah yang perlu difikir dan direnungkan dalam hidupnya.



    Walaupun dia sebenarnya adalah seorang yang miskin amal kebajikan serta tidak memiliki sebarang bekalan untuk akhiratnya, dan sebaliknya banyak pula melakukan dosa.



    Sebuah hadis Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas r.a, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya: “Bahawa malaikat maut memerhati wajah setiap manusia di muka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenung wajah seseorang, didapati orang itu ada yang sedang gelak ketawa. Maka berkata Izrail: Alangkah hairannya aku melihat orang ini, sedangkan aku diutus oleh Allah Taala untuk mencabut nyawanya, tetapi dia masih berseronok-seronok bergelak ketawa.” Manusia tidak akan sedar bahawa dirinya sentiasa diperhati oleh malaikat maut, kecuali orang-orang soleh yang sentiasa mengingati mati.



    Golongan ini tidak lalai dan sentiasa sedar terhadap kehadiran malaikat maut, kerana mereka sentiasa meneliti hadis-hadis Nabi s.a.w yang menjelaskan mengenai perkara-perkara ghaib, terutama mengenai hal ehwal mati dan hubungannya dengan malaikat maut. Meskipun mata manusia hanya mampu melihat alam benda yang nyata, tidak mungkin dapat melihat kehadiran malaikat maut itu. Namun pandangan mata hati mampu melihat alam ghaib, iaitu memandang dengan keyakinan iman dan ilmu.



    Sebenarnya manusia itu sedar bahawa setiap makhluk yang hidup pasti akan mati, tetapi manusia menilai kematian dengan berbagai tanggapan. Ada yang menganggap kematian itu adalah suatu tabi’e biasa sebagai pendapat golongan atheis, dan tidak kurang pula orang yang mengaitkan kematian itu dengan sebab-sebabnya yang zahir sahaja.



    Dia mengambil logik bahawa banyak kematian disebabkan oleh sesuatu tragedi, seperti diakibatkan oleh peperangan, bencana alam seperti gempa bumi, banjir, kebakaran dan juga kemalangan sama ada di udara, laut dan daratan termasuk kemalangan jalan raya. Selain itu mereka juga melihat kematian disebabkan oleh serangan penyakit yang merbahaya seperti penyakit barah, sakit jantung, AIDS, demam denggi, ta’un dan sebagainya.



    Disebabkan manusia melihat kematian hanya dari sudut sebab musabab yang lumrah, maka manusia sering mengaitkan kematian itu dengan kejadian-kejadian yang disebut di atas. Jika berlaku kematian di kalangan mereka, lantas mereka bertanya, “sebab apa si pulan itu mati, sakitkah atau kemalangankah? “.



    Tidak ramai manusia yang mengaitkan kematian itu dengan kehadiran malaikat maut yang datang tepat pada saat ajal seseorang sudah sampai, sedangkan malaikat maut sentiasa berligar di sekeliling manusia, mengenal pasti memerhatikan orang-orang yang tempoh hayatnya sudah tamat.



    Sesungguhnya malaikat maut menjalankan arahan Allah SWT dengan tepat dan sempurna, dia tidak diutus hanya untuk mencabut roh orang sakit sahaja, ataupun roh orang yang mendapat kecelakaan dan mala petaka. Jika Allah SWT menetapkan kematian seseorang ketika berlaku kemalangan, atau ketika diserang sakit tenat, maka Izrail mencabut roh orang itu ketika kejadian tersebut.



    Namun ajal tidak mengenal orang yang sihat, ataupun orang-orang mewah yang sedang hidup rehat dibuai kesenangan. Malaikat maut datang tepat pada waktunya tanpa mengira orang itu sedang ketawa riang, atau mengerang kesakitan. Bila ajal mereka sudah tiba, maka kematiannya tidak tertangguh walau sesaat.



    Walau bagaimanapun ada ketikanya Allah SWT jadikan berbagai sebab bagi sesuatu kematian, yang demikian itu ada hikmah disebaliknya.



    Misalnya sakit tenat yang ditanggung berbulan-bulan oleh seseorang, ia akan menjadi rahmat bagi orang beriman dan sabar, kerana Allah Taala memberi peluang dan menyedarkan manusia agar dia mengingat mati, untuk itu dia menggunakan masa atau usia yang ada untuk berbuat sesuatu, membetulkan dan bertaubat dari dosa dan kesilapan serta memperbaiki amalan, serta menambah bekalan untuk akhirat, jangan sampai menjadi seorang yang muflis di akhirat kelak.



    Begitu juga orang yang mati mengejut disebabkan kemalangan, ia akan menjadi pengajaran dan memberi peringatan kepada orang yang masih hidup supaya mereka sentiasa waspada dan tidak lalai dari berusaha memperbaiki diri, menambah amal kebajikan dan meninggalkan segala kejahatan. Kerana sekiranya ajal datang secara tiba-tiba pasti akan membawa sesalan yang tidak berguna. Di kalangan orang solihin menganggap bahawa sakit yang ditimpakan kepada dirinya adalah sebagai tanda bahawa Allah SWT masih menyayanginya. Kerana betapa malangnya bagi pandangan orang-orang soleh itu jika Allah SWT mengambil roh dengan tiba-tiba, tanpa sebarang amaran terlebih dahulu. Seolah-olah Allah SWT sedang murka terhadap dirinya, sebab itulah Allah SWT tidak beri amaran terlebih dahulu kepadanya. Keadaan orang itu ibarat orang yang tidak menyedari adanya bahaya di hadapannya, jika tiada amaran terlebih dahulu nescaya dia akan menjerumus ke lembah bahaya itu.



    Selain itu Allah Taala menjadikan sebab-sebab kematian itu bagi memenuhi janjiNya kepada malaikat maut, sebagaimana diriwayatkan oleh Saidina Abbas r.a dalam sebuah hadis Nabi yang panjang.

    Antara lain menjelaskan bahawa Izrail merasa kesedihan apabila dibebankan dengan tugas mencabut roh makhluk-makhluk bernyawa kerana di antara makhluk bernyawa itu termasuk manusia yang terdiri dari kekasih-kekasih Allah, iaitu para rasul a.s.w., para nabi-nabi, para wali-wali dan orang-orang solihin.



    Selain itu malaikat maut mengadu kepada Tuhan betapa dirinya tidak disenangi oleh keturunan Adam, dia mungkin dicemuh kerana dia ditugaskan mencabut roh manusia, yang akan menyebabkan orang akan berdukacita, kerana kehilangan sanak keluarga dan orang-orang yang tersayang di kalangan mereka.



    Diriwayatkan bahawa Allah SWT berjanji akan menjadikan berbagai sebab-sebab kepada kematian yang akan dilalui oleh keturunan Adam. Sehingga keturunan Adam itu akan memikirkan dan mengaitkan kematian itu dengan sebab-sebab yang dialami oleh mereka.



    Apabila berlaku kematian, mereka akan berkata bahawa si anu itu mati kerana menghidap sakit, ataupun kerana mendapat kemalangan, mereka akan terlupa mengaitkan malaikat maut dengan kematian yang berlaku itu.



    Ketika itu Izrail tidak perlu bersedih kerana manusia tidak mengaitkan kematian tersebut dengan kehadiran malaikat maut, yang sememangnya diutus oleh Allah SWT pada saat mala petaka atau sakit tenat seseorang itu bertepatan dengan ajal mereka yang sememangnya telah tiba.



    Namun pada hakikatnya bahawa ajal itu adalah ketetapan Allah, yang telah termaktub sejak azali lagi. Semuanya telah nyata di dalam takdir Allah, bahawa kematian pasti tiba pada saat yang ditetapkan. Izrail hanyalah tentera-tentera Allah yang menjalankan tugas seperti yang telah diamanahkan kepadanya.



    Walau bagaimanapun adalah menjadi hak Allah Taala untuk menentukan kematian seseorang itu sama ada bersebab atau tidak, sebagaimana yang dinyatakan pada awal tulisan ini, bahawa ada ketikanya malaikat maut datang hendak mencabut roh seseorang, tetapi manusia yang dikunjungi malaikat maut sedang dalam keadaan seronok bergelak ketawa, hingga malaikat maut merasa hairan terhadap manusia itu.



    Ini membuktikan bahawa kematian itu tidak pernah mengenal, sama ada seseorang yang sedang sakit ataupun ketika sihat dan segar bugar. Firman Allah Taala Yang bermaksud:



    “Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) mencepatkannya. “

    (Surah Al-A’raf: ayat 34)




    Rasulullah SAW diriwayatkan masih mampu memperlihat dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara lansung akan kesukaran menghadapi sakaratulmaut dari awal hinggalah akhirnya hayat Baginda. Imam Ghazali rahimahullah diriwayatkan memperolehi tanda-tanda ini sehinggakan beliau mampu menyediakan dirinya untuk menghadapi sakaratulmaut secara sendirian. Beliau menyediakan dirinya dengan segala persiapan termasuk mandinya, wuduknya serta kafannya sekali cuma ketika sampai bahagian tubuh dan kepala sahaja beliau telah memanggil abangnya iaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal untuk menyambung tugas tersebut. Beliau wafat ketika Imam Ahmad bersedia untuk mengkafankan bahagian mukanya.
    Adapun riwayat -riwayat ini memperlihatkan kepada kita sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berlaku zalim kepada hambanya. Tanda-tanda yang diberikan adalah untuk menjadikan kita umat Islam supaya dapat bertaubat dan bersedia dalam perjalanan menghadap Allah SWT. Walaubagaimanapun semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orang-orang Islam sahaja manakala orang-orang kafir iaitu orang yang menyekutukan Allah nyawa mereka ini akan terus di rentap tanpa sebarang peringatan sesuai dengan kekufuran mereka kepada Allah SWT.
    Adapun tanda-tanda ini terbahagi kepada beberapa keadaan :
    Tanda 100 hari sebelum hari mati. Ini adalah tanda pertama dari Allah SWT kepada hambanya dan hanya akan disedari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya.
    Walaubagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini cuma samada mereka sedar atau tidak sahaja.
    Tanda ini akan berlaku lazimnya selepas waktu Asar. Seluruh tubuh iaitu dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan mengigil.
    Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lazat dan bagi mereka sedar dan berdetik di hati bahawa mungkin ini adalah tanda mati maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sedar akan kehadiran tanda ini.
    Bagi mereka yang tidak diberi kesedaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian , tanda ini akan lenyap begitu sahaja tanpa sebarang munafaat.
    Bagi yang sedar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memunafaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.
    Tanda 40 hari sebelum hari mati Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Asar.
    Bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pokok yang letaknya di atas Arash Allah SWT.
    Maka malaikatmaut akan mengambil daun tersebut dan mula membuat persediaannya ke atas kita antaranya ialah ia akan mula mengikuti kita sepanjang masa.
    Akan terjadi malaikatmaut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika.
    Adapun malaikatmaut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya.
    Tanda 7 hari
    Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesakitan di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba ianya berselera untuk makan.
    Tanda 3 hari
    Pada ketika ini akan terasa denyutan di bahagian tengah dahi kita iaitu diantara dahi kanan dan kiri.
    Jika tanda ini dapat dikesan maka berpuasalah kita selepas itu supaya perut kita tidak mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita nanti.
    Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi.
    Telinganya akan layu dimana bahagian hujungnya akan beransur-ansur masukke dalam.
    Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.
    Tanda 1 hari
    Akan berlaku sesudah waktu Asar di mana kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang iaitu di kawasan ubun-ubun di mana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu Asar keesokan harinya.
    Tanda Akhir
    Akan berlaku keadaan di mana kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bahagian pusat dan ianya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bahagian halkum.
    Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimah syahadah dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikatmaut untuk menjemput kita kembali kepada Allah SWT yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula.

    AL-HAYA'U MINAL IMAN



    عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
    Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”

    TAKHRÎJ HADÎTS
    Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).

    PENJELASAN HADÎTS
    A. Pengertian Malu
    Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

    Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]

    Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]

    B. Keutamaan Malu
    1). Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
    “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)

    Dalam riwayat Muslim disebutkan,


    اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
    “Malu itu kebaikan seluruhnya.”
    [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran
    bin Husain]

    Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.

    2). Malu adalah cabang keimanan.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

    َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

    “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
    [Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]

    3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
    “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
    [Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu]

    4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
    “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.” [Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]

    5). Malu adalah akhlak Islam.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
    “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]

    6). Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
    Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


    دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
    “Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
    [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]

    Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]

    7). Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
    “Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
    [Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).]

    8). Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
    “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).]

    C. Malu adalah warisan para Nabi terdahulu
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…"

    Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.]

    Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.]

    D. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
    Allah Azza wa Jalla berfirman :
    $
    "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar" [Al-Ahzâb/ 33:53]

    Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,


    كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
    “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]

    Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[Fathul Bâri (X/522).]

    E. Makna Perintah "Berbuatlah Sesukamu" di Hadits Ini
    Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”

    Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
    1). Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman
    Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :

    "Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan" [Fushilat : 40]

    2). Perintah tersebut mengandung arti penjelasan.
    Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


    مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
    “Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.]

    Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)]

    3). Perintah tersebut mengandung arti pembolehan.
    Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.” [Fathul Bâri (X/523).]

    Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).]

    F. Malu Itu Ada Dua Jenis
    1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
    Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
    “Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]

    Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]

    2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
    Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]

    Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,


    فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
    Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]

    Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

    G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


    اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
    Artinya : “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah k dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).]

    H. Malu Yang Tercela
    Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]

    Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

    Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,


    لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
    Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]

    Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,


    نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
    Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]

    Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.

    Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).]

    I. Wanita Muslimah Dan Rasa Malu
    Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
    ...
    “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash: 25]

    Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.

    Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.[Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153)]

    Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.

    J. Buah Dari Rasa Malu
    Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa' (setia/menepati janji).

    Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.

    Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup. [Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).]

    Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.” [Ibid (hal. 55).]

    FAWÂÎD HADÎTS
    1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
    2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
    3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
    4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
    5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
    6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
    7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
    8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
    9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
    10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
    11. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
    12. Malaikat mempunyai sifat malu.
    13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

    Artinya : “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah]
    14. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.
    كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.
    Akhlak merupakan pendorong bagi menjauhi perkara-perkara yang buruk. Ia juga menjadi penghalang daripada mengurangkan hak-hak mereka yang berhak.
    Pemilik akhlak akan ditimpa perubahan akibat takut malu kepada Allah dan manusia. Ia merupakan satu perasaan yang hidup yang dapat mengangkat jiwa seorang insan daripada melakukan kesalahan atau dosa. Dengan akhlak kita akan merasa tercelanya perkara-perkara yang hina. Akhlak ini akan lahir dalam diri seorang insan apabila dia mengetahui bahawa Allah s.w.t sentiasa memerhatikannya. Sesungguhnya akhlak malu itu merupakan mahkota kepada akhlak.
    Malu itu sebahagian daripada iman
    Iman mempunyai pelbagai cabang, ketikamana Rasulullah s.a.w menyatakan bilangan cabang-cabang iman, hanya akhlak malu disebut secara khusus. Daripada Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : “Iman itu mempunyai tujuh puluh lebih cabang, dan malu itu merupakan sebahagian daripada iman.”(hadith riwayat Muslim). Dan dalam riwayat yang lain Baginda bersabda “ Iman itu mempunyai enam puluh lebih cabang, dan malu itu merupakan sebahagian daripada iman.” (hadith riwayat Al-Bukhari)
    Malu itu akhlak Islam
    Akhlak malu telah disebut secara khusus tanpa cabang-cabang yang lain daripada cabang iman kerana ia merupakan akhlak Islam yang paling penting. Sabda Rasulullah s.a.w : “Bagi setiap agama itu akhlaknya dan akhlak Islam itu malu”(hadith riwayat Malik). Para sahabat tertarik dengan akhlak malu yang ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w. Rasulullah merupakan seorang yang teramat malu. Daripada Abi Said Al-Khudri r.a berkata bahawa : “Rasulullah s.a.w itu lebih malu daripada perawan dalam tempat persebunyiannya”.(hadith riwayat Al-Bukhari).
    Malu itu neraca amalan
    Malu itu merupakan suatu neraca. Manusia mengetahui kebaikan suatu amalan dengan pelbagai jenis neraca. Diantara neraca tersebut ialah malu. Kita akan mendapati mereka yang menggunakan neraca malu tidak akan menerima suatu amalan yang menyebabkan mereka berasa malu. Sesungguhnya apabila mereka ingin melakukan sesuatu mereka akan melihat pada diri mereka, sekiranya mereka berasa malu mereka tidak akan melakukannya, dan sekiranya sebaliknya mereka akan melakukannya. Apabila seseorang hilang malu, maka dia akan melakukan apa yang ingininya dengan sesuka hatinya. Daripada Abi Mas’ud Uqbah r.a bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : “Sesungguhnya antara kata-kata ungkapan Kenabian terdahulu yang dapat diketahui dan dipetik oleh manusia ialah: Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa sahaja yang engkau mahu.”(hadith riwayat Al-Bukhari).
    Malu itu semuanya baik
    Jika disana terdapat akhlak yang semuanya baik,itulah dia malu. Daripada Imran bin Husain bahawa Rasulullah s.a.w bersabda : “Malu itu semuanya baik (akibatnya)” atau baginda bersabda “Malu itu baik semuanya (akibatnya).”(hadith riwayat Muslim). Perasaan takut yang lahir daripada sifat malu tidak dianggap sebagai pengecut. Mereka yang malu lebih rela darahnya tumpah daripada jatuh airmukanya. Inilah kemuncak berani. Takut yang lahir daripada sifat malu bukanlah suatu kekurangan kerana dia hanya takut kehilangan kemuliaan dan keindahan dirinya.
    Malu itu suatu perhiasan
    Terdapat perkara-perkara yang menambahkan kecantikan sesuatu apabila diiringinya. Diantara perkara tersebut ialah malu. Ia menghiasi setiap perkara yang diiringinya. Daripada Anas r.a bahawa Rasulullah s.a.w : “Tidaklah sesuatu perkara yang diiringi kekejian itu kecuali ia akan menodainya, dan tidaklah sesuatu perkara yang diiringi malu kecuali ia akan menghiasinya.”(hadith riwayat At-Tirmidzi)
    Hilang malu penyebab kebinasaan
    Hilang malu merupakan sesuatu yang amat ditakuti oleh para salafussoleh. Bagi mereka ia merupakan salah satu daripada punca kebinasaan. Ini berpandukan kepada sabda Rasulullah.s.a.w : “Sesungguhnya apabila Allah ingin membinasakan seorang hamba dicabut darinya perasaan malu, setelah tercabut perasaan malunya tidak akan menimpanya kecuali perkara yang amat dibenci (oleh Allah), setelah itu tercabut pula sifat amanah darinya, setelah tercabut sifat amanah dari dirinya kamu tidak akan mendapatinya kecuali seorang pengkhianat, setelah itu tercabut darinya sifat rahmah, setelah tercabut sifat rahmah darinya kamu tidak akan mendapatinya kecuali seorang yang celaka dan dilaknat (dijauhkan), setelah itu dia tercabut dari simpulan Islam.”(hadith riwayat Ibnu Majah).
    Malu lelaki dan wanita
    Malu itu dituntut kepada lelaki dan perempuan. Diriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w melintasi seorang lelaki ansar yang sedang sedang menasihati saudaranya tentang hal sifat malu – yakni malu mengerjakan kejahatan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda : “Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan.”(hadith riwayat Al-Bukhari).
    Namun fitrah wanita menjadikannya lebih malu, oleh itu perkara yang mencemarkan malu seorang wanita itu lebih daripada lelaki. Sekiranya malu seorang lelaki zahir secara praktikal dengan menjauhi perkara-perkara yang boleh mengaibkannya begitu juga wanita malah lebih lagi. Seorang wanita yang pemalu tidak akan merenung kepada sesiapa yang berbicara dengannya. Dan ketawanya hanyalah dengan senyuman apabila dengan kehadiran orang asing, dan tidak ketawa terbahak-bahak. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melakukannya walaupun dia seorang lelaki. Daripada Abdullah bin Harith bahawa Rasulullah s.a.w tidak pernah ketawa kecuali dengan senyuman.”(hadith riwayat At-Tirmidzi). Dan wanita apabila ingin membeli perhiasan peribadinya (pakaian dan lain-lain), perasaan malunya akan menghalangnya daripada membeli daripada penjual lelaki.


    Diriwayatkan dari Umar radhiAllahu `anhu yang berkata: "Barangsiapa yang malu maka ia akan menutupi diri, dan barangsiapa yang menutupi diri maka ia telah menjaga diri, dan barangsiapa menjaga diri maka ia mendapatkan perlindungan." 

    Sedangkan Al-Jarrah bin Abdullah al-Hukmy :

    "salah seorang pasukan berkuda dari Syam mengatakan: "Aku meninggalkan dosa-dosa itu empat puluh tahun kerana malu, baru kemudian muncul sikap warak kepada diriku."  
    . Dia juga ada mengatakan: "Aku melihat kemaksiatan itu sebagai keburukan, maka aku pun meninggalkannya kerana pertimbangan harga diri, dan kerananya terhindarlah nilai agama yang ada." 


    Pertama ; Rasa malu kerana berbuat salah, seperti rasa malu Nabi Adam ‘alaihissalam yang melarikan diri dari Allah SWT saat di syurga. Ketika Allah SWT bertanya , “Mengapa kamu melarikan dirimu dariKu wahai Adam?” Adam menjawab, “Tidak wahai Tuhanku, melainkan kerana rasa malu terhadap engkau”.

    Kedua ; Rasa malu kerana keterbatasan diri (kelemahan dan rasa serba tidak sempurna), seperti rasa malu para malaikat yang membuatkan mereka senantiasa bertasbih kepada Allah SWT siang dan malam bahkan tanpa sesaat pun tanpa tasbih, namun demikian pada hari kiamat kelak mereka berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah, kami belum dapat menyembahMu dengan sebenar-benar penyembahan.”



    Ketiga ; Rasa malu kerana pengagungan atau dikenali juga sebagai rasa malu kerana memiliki makrifah kepada Allah (mengenal Allah lalu mengagungkanNya). Ketahuilah wahai sahabat sekalian bahawasanya sejauh mana makrifah seseorang hamba terhadap Tuhannya maka sejauh itu pula rasa malunya terhadap Allah SWT.

    Keempat ; Rasa malu kerana kehalusan budi seperti rasa malu Rasulullah SAW saat mengundang orang ramai pada acara walimah Saidatuna Zainab ra.Kerana mereka tidak segera pulang, Baginda bangkit dari duduknya dan merasa malu untuk mengatakan kepada mereka, “Pulanglah kalian”.

    Kelima ; Rasa malu kerana menjaga kesopanan , seperti rasa malu Ali ibn Abi Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada Rasulullah SAW kerana dia adalah suami kepada Puteri Rasulullah SAW.

    Keenam ; Rasa malu kerana merasa diri terlalu hina seperti rasa malu seorang hamba yang memohon bermacam-macam keperluan kepada Allah SWT dengan menganggap bahawa ia adalah hamba yang terlalu hina di hadapan Allah SWT atas banyaknya hajat dan keperluannya kepada Allah SWT.

    Ketujuh ; Rasa malu kerana cinta, iaitu rasa malu orang yang mencintai di hadapan kekasihnya bahkan ketika terlintas di dalam fikirannya saat berjauhan dengan kekasihnya, dia tetap merasa malu tanpa diketahui apa sebabnya, apalagi jika kekasihnya muncul secara tiba-tiba di hadapannya.

    Kelapan ; Rasa malu kerana ubudiyah, yakni rasa malu yang bercampur dengan cinta dan rasa takut. Seorang hamba yang merasa ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan Yang Disembah terlalu agung, sehingga ubudiyahnya yang kurang dan cacat serta tidak sempurna itu membuatnya rasa malu.

    Kesembilan ; Rasa malu kerana kemuliaan, yakni rasa malu seorang hamba yang memiliki jiwa agung tatkala berbuat baik atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah terkorban dengan mengeluarkan sesuatu namun dia merasakan kekurangan dalam berbuat baik.

    Kesepuluh ; Rasa malu terhadap diri sendiri, yakni rasa malu seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia andaikata dia memiliki rasa redha dengan kekurangan diri sendiri dan merasa puas pula melihat kekurangan orang selain dia. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri sehingga seakan dia memiliki dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap yang lainnya. Ini merupakan rasa malu yang paling sempurna. Sebab, jika seorang hamba merasa malu terhadap dirinya sendiri maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.

    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

    SOLIDARITI MENERUSKAN PERJUANGAN

    INI ZAMANNYA