________________________________________________________________________________
Tajuk-tajuk :
1.0 Definisi Al-Qur'an
Al-Karim
2.0 Mengapa
perlu kepada Tafsir
3.0 Perhatian Ulama' Salaf terhadap Tafsir
4.0 Tafsir dengan
Ra'yu
5.0 Terpengaruhnya Tafsir oleh Kebudayaan dan Peredaran Masa
6.0 Beberapa
kekeliruan Ahli Tafsir
- 6.1 Dalam Masalah Kisah dan Mujizat
- 6.2 Tentang Pengetahuan Alam
- 6.3 Tentang Perkara Ghaib dan Sifat-sifat Allah
7.0 Tafsir yang Paling Baik dan Jalan yang Paling Dekat untuk Memahami
al-Qur'an
1.0 Definisi Al-Qur'an Al-Karim
Iaitu sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
Al-Quran ialah: sebuah kitabullah tabaraka wata'ala yang di dalamnya
terdapat berita orang-orang sebelum kamu dan sesudah kamu, dan menghukumi apa
yang terjadi di antara kamu; dia adalah membentangkan mana yang benar dan mana
salah, bukan suatu permainan. Barangsiapa meninggalkannya kerana sombong, maka
Allah akan membinasakan dia dan barangsiapa mencari pimpinan selain al-Quran
akan disesatkannya oleh Allah, dia adalah tali Allah yang kokoh dan cahaya-Nya
yang menerangi serta peringatan yang sangat bijaksana; dia adalah jalan yang
lurus. Dengan berpedoman padanya seluruh keinginan manusia tidak akan salah
lidah tidak akan bercampur, pendapat tidak akan bercenang perenang. Dan dengan
bersumber daripadanya para 'ulama' tidak akan merasa kenyang, dan orang-orang
yang taqwa tidak akan bosan. Dia tidak akan larut kerana banyaknya yang
menentang, dan keindahan-keindahannya tidak akan habis. Dialah yang jin apabila
mendengarnya tidak habis-habisnya mengatakan "sungguh kami tetah
rmendengar suatu bacaaan yagn sangat mengkagumkan sekali". Barangsiapa
mengetahui
ilmunya pasti akan unggul dan barangsiapa berkata dengan dia pasti benar; dan barangsiapa
berhukurn
dengannya pasti adil; dan barangsiapa beramal dengannya pasti diberi pahala, serta barangsiapa mengajak orang
kepadanya pasti akan terpimpin ke jalan yang lurus."
Itulah al-Quranul Karim yang diturunkan Allah kepada
nabi-Nya
untuk dibaca oleh segenap kaum muslimin, sehingga dengan demikian hati
mereka akan terbuka, kalbu mereka akan bersinar terang, dan
kelak pada hari kemudian mereka akan mendapat pahala di sisi Allah.
Tidak ada seorang pun dapat bertaqarrub kepada Allah dengan suatu perkataan
yang seperti kalamullah ini.
Selanjutnya diharapkan. kiranya al-Quran itu dapat dijadikan pedoman hidup
dan tatacara bermasyarakat, bagi meniti jalan hidup bahagia dalam kehidupan di
dunia ini, serta jalan untuk kebahagian dan keselamatan abadi di akhir kelak.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Barangsiapa beramal saleh baik daripada laki-laki atau perempuan,
sedang dia beriman, maka sungguh akan Kami beri dia kehidupan yang baik dan akan
Kami sempurnakan pahala mereka dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan apa yang
mereka lakukan" (An-Nahl: 97)
"Barangsiapa berpaling daripada peringatan-Ku ini (al-Qur'an) maka
sesungguhnya dia akan mendapat kehidupan yang sempit, dan akan Kami himpun dia
di hari qiyamat nanti dengan keadaan buta" (Taha: 124)
Dengan demikian. maka apa yang dimaksud oleh Quran itu bukan sekadar untuk
dibaca atau mencari barakah sebab ia sendiri pada hakikatnya sudah merupakan
barakah. Namun barakahnya yang besar itu terletak dalam penghayatannya terhadap
al-Quran serta memaham akan arti dan maksudnya. Kemudian direalisasikan dalam
bentuk amalan kehidupan tanpa membeda-bedakan. Barang siapa tidak berbuat
demikian atau dia merasa cukup dengan membacanya tanpa menghayati dan
mengamalkan kandungannya, maka sangat dikhuatiri dia akan terlibat dalam ancaman hadith Nabi s.a.w
yang
diriwayatkan oleh Hudaifah yang mafhumnya:
"Hai sekalian ahli baca Quran! Berlaku luruslah kamu, sebab kamu
sungguh terlampau maju. Kalau kamu mengambil kanan dan kiri, sungguh kamu akan
jauh tersesat" (Bukhari)
2.0 Mengapa Perlu pada Tafsir
Oleh kerana itu semua, sangat diperlukan suatu tafsir yang dapat memberikan
pengertian akan makna dan maksud yang jelas, dapat memenuhi pengetahuan manusia,
meskipun al-Quran itu sendiri sebenarnya telah dimudahkan Allah dengan
semudah-mudahnya.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Sungguh telah kami mudahkan al-Quran itu
sebagai peringatan, adakah orang yang mau ingat?" (Al-Qamar: 17)
"Sungguh telah kami mudahkan al-Quran itu dalam lidahmu supaya kamu
dapat memberikan kabar gembira dengan dia kepada orang?orang yang tawqa. dan
dengan dta kamu dapat menyadarkan satu kaum yang sangat membantah" (Maryam:
97)
"Sungguh telah kami mudahkan dia dalam lidahnya supaya mereka
itu mau
mengingat-ingat" (Ad-Dukhan: 58)
Akan tetapi setelah banyaknya suara yang merdu dan riuhnya irama
serta meluasnya bahasa pasaran dan banyak orang yang meninggalkan bahasa
fushah, maka manusia sangat memerlukan penjelasan, atau tafsir dan
interpretasi terhadap kata-kata dan susunan al-Quran yang kadang-kadang artinya
itu tidak jelas, atau maudhu'nya tidak mudah diketahui manusia, padahal al-Quran
adalah panduan dasar dalam urusan ad-Din mahupun dalam urusan kehidupan harian.
Sedang Allah sendiri telah menghimpun dalam al-Quran ilmu tentang kedua
persoalan tersebut dan yang berkaitan dengan keduanya seperti
pengetahuan-pengetahuan, yang kemampuan otak manusia bertingkat dalam
menjangkaunya.
Zaman dan analisis orang akan terus berlangsung, tiada henti-hentinya untuk
menyingkap mutiara keindahannya serta menjelaskan keelokan dan keindahannya.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekusaan Kami di ufuk
dan pada diri-diri mereka sendiri, sehingga akan jelas bagi mereka, bahwa
al-Quran itu adalah benar, apakah tidak cukup, bahawa Tuhanmu itu Maha menyaksikan segala sesuatu!"
(Fussilat: 53)
Diriwayatkan. bahwa 'Ali bin Abi Talib pernah ditanya orang:
"Apakah Rasulullah s.a.w. pernah menyuruh kamu sebagai ahlul
bait secara khusus?" Dia menjawab: "Tidak! Kecuali faham yang diberikan
kepada seseorang terhadap kitabullah serta apa yang tersurat dalam lembaran
ini." Kemudian 'Ali menunjukkan lembaran yang dimaksud, di dalamnya terdapat beberapa hukum.
Dari sinilah mulai timbulnya apa yang kini disebut "Ilmu Tafsir".
Namun waktu itu masih bersifat sederhana. Kemudian ilmu ini terus
dikembangkan oleh manusia sehingga sekarang ini kita dapat mewarisi
sejumlah tafsir yang beraneka ragam, sebahagiannya memang berbentuk hidayah dan
nur, sedang sebahagian lagi berbentuk pembicaraan pengetahuan ilmiyah,
segala-galanya ada kecuali tentang tafsir al-Quran.
3.0 Perhatian Ulama’ Salaf
terhadap Tafsir
'Ulama' salaf sangat mementingkan sekali untuk mengetahui
maksud al Quranul Karim. Mereka mengakui keutamaan orang yang mengetahui sedikit
tentang tafsir.
Diriwayatkan dari 'Ali r.a., bahawa dia pernah
menyebut-nyebut tentang Jabir bin 'Abdullah dan disifatinya sebagai ahli ilmu,
kemudian ada seorang laki laki mengatakan kepadanya : Dapatkah kiranya saya
menjadi penebus tuan? Engkau mensifati Jabir sebagai ahli ilmu, padahal tuan pun
juga demikian. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya dia (Jabir) mengetahui tafsiran
firman Allah yang mafhumnya :
"Sesungguhnya Dzat yang telah rnewajibkan atasmu al
Quran itu, sungguh akan mengembalikanmu di tempat kembali" (Al-Qasas: 85)
Mujahid mengatakan : "Orang yang paling dicintai Allah
ialah orang yang lebih mengerti tentang apa yang diturunkanNya."
Al Hasan berkata : "Demi Allah! Allah tidak akan
menurunkan satu ayat, melainkan Ia sangat menyukai orang yang mengetahui tentang
apa yang diturunkanNya itu serta apa yang dimaksudkanNya."
Al Sya'bi berkata : "Masruq pernah pergi ke Basrah justeru
untuk mengetahui penafsiran satu ayat. Kemudian ia diberitahu, bahawa orang yang
mengetahui tentang tafsiran ayat tersebut kini sedang pergi ke Syam, maka ia
bersiap siap pula untuk menyusulnya ke Syam, sehingga ia mengetahui tafsir ayat
tersebut."
Ikrimah berkata tentang firman Allah yang mafhumnya :
"Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada
Allah dan Rasul” (Al-Nisa’: 100)
"Saya mencari nama orang yang mengetahui penafsirannya,
selama empat belas tahun belum dapat."
Ibnu 'Abdil Bar berkata : "Dia yang dicari itu ialah
Damrah bin Habib."
Ibnu 'Abbas berkata : "Saya pernah tinggal dua tahun untuk
menanyakan kepada 'Umar tentang nama dua perempuan yang tidak lain maksud saya
hanya untuk menghorrnati a1 Quran maka jawab Umar, iaitu : Hafshah dan ‘Aisyah"
'Iyas bin Mu'awiyah pun pernah juga berkata : "Perumpamaan
orang yang membaca a1 Quran dengan yang tidak mengetahui tafsirnya. bagaikan
satu kaum yang menerima surat daripada rajanya pada waktu malam, sedang mereka
tidak mempunyai lampu, kemudian mereka diliputi oleh suasana takut tetapi tidak
mengetahui apa yang tersurat. Dan perumpamaan orang yang mengetahui tafsir,
bagaikan orang yang membawa lampu, kemudian mereka dapat membaca apa yang
tersurat dalam surat tersebut." (Al-Qurtubi)
Kerana demikian besarnya pengharapan terhadap tafsir dan ahli
ahli tafsir yang mengetahui tentang sebab dan maksud diturunkannya ayat ayat al
Quran, maka para 'ulama’ salaf selalu berhati hati dalam masalah tafsir al Quran
agar ayat ayat al Quran itu tidak diertikan menurut faham mereka untuk tujuan
tertentu, atau demi memenuhi selera beberapa gelintir manusia atau kerana ada
masalah masalah yang mendatang. Akan tetapi mereka senantiasa membersihkan diri
mereka daripada maksud itu semua sehingga benar benar al Quran merupakan panduan
dalam seluruh sikap dan perbuatan dan keinginan keinginan nafsunya sanggup
mengikuti apa yang dibawanya oleh Rasulullah s.a.w.
Inilah yang dinamakan ketegasan iman. Dan dari sinilah maka
kebanyakan ahli tafsir itu merasa berat dalam mentafsirkan sesuatu ayat dan
takut mengatakan tentang al Quran dengan pemikirannya.
Ibnu 'Atiyah berkata : "Kebanyakan 'Ulama salaf yang baik
baik seperti Sa'id bin Musayyib, 'Amir al Sya'bi dan lain lain mengagungkan
tafsir al Quran dan mereka berhenti sejenak, kerana menjaga diri dan berhati
hati padahal mereka sebenarnya telah mengetahui dan sudah maju"
Abu Bakar al-Anbari berkata : "Kebanyakan 'Ulama' salaf
dahuiu itu sangat berhati hati dalam mentafsirkan ayat ayat yang musykil.
Sehingga berpendapat, bahawa orang yang mentafsirkan al Quran tidak sesuai
dengan kehendak Allah harus dilarang berbicara. Sedang yang lain khuatir kalau
kalau tafsir itu akan diadikan sebagai pedoman untuk membina madhhabnya dan
memilih alirannya."
Barangkali apa yang dimaksud dalam pendapat kedua ini, iaitu
tentang mentafsir al Quran dengan ra'yunya kemudian salah, tetapi ia mengatakan
: "imanku dalam masalah tafsir al Quran dengan ra'yu ialah kepada si polan,
salah seorang 'ulama’ salaf “
Abu Mulaihah meriwayatkan bahawa Abu Bakar al Siddiq pernah
ditanya tentang mentafsirkan satu huruf daripada ayat al Quran. Kemudian ia
mengatakan : "Hei! Langit mana yang akan rnenaungi aku, bumi mana yang akan
mahu menelan aku, ke mana aku hendak pergi dan apa yang hendak kuperbuat jika
aku mengatakan tentang satu huruf daripada Kitabullah yang tidak sesuai dengan
maksud Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi?"
Jundub pernah juga meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda yang mafhumnya:
"Barangsiapa berkata tentang al Quran dengan ra'yunya,
kemudian ia benar, maka tetap dinilai bersalah" (Al-Qurtubi)
Apa yang dimaksudkan dengan ra'yu di sini ialah seseorang itu
mengatakan sesuatu tanpa ilmu kerana merasa malu atau merasa susah atau supaya
tidak dikatakan bodoh, atau kerana hendak berhukum dengan hawa nafsu kerana
mementingkan nafsu sehingga nafsunya itu boleh menyimpangkan daripada yang benar
dan berpaling daripada jalan Allah. Maka seandainya kebetulan pendapatnya itu
benar, tetapi kerana niatnya sudah demikian, maka tetap dia dinilai salah dan
berdosa.
Sedangkan dalam hal lain pula, orang orang yang berijtihad
mencari kebenaran dengan menghindarkan diri daripada pengaruh-pengaruh hawa
nafsu, mereka itu pasti akan mendapat pahala. Kalau ternyata ijtihadnya itu
salah, mereka akan mendapat satu pahala, sedang kalau benar akan mendapat dua
pahala. Insya' Allah!
Dengan demikian. maka dapatlah diwujudkan keseimbangan antara
tentangan ‘ulama' salaf dalam masalah tafsir dan penghargaan mereka kepada ahli
ahli tafsir, dengan kekhuatiran mereka untuk mengatakan tentang al Quran dengan
ra'yu serta larangan hadith dalam hal tersebut.
5.0 Terpengaruhnya Tafsir oleh
Kebudayaan dan Peredaran Masa
Tidak diragukan lagi bahawa tafsir sangat terpengaruh oleh
perkembangan masyarakat dan kebudayaan dalam pelbagai masa perkembangan Islam.
Mula mula tafsir timbul dengan datar dan sederhana iaitu
cukup
dengan mentafsirkan beberapa ayat dan peristiwa peristiwa,
kerana mereka sudah merasa cukup dengan tabi'at keasliannya serta bahasanya yang
berkesan. Di samping mereka sendiri masih selalu akan menegakkannya dan merasa
cukup dengan tingkah laku yang mereka saksikan sendiri pada diri Nabi s.a.w,
sahabat dan tabi'in.
Kemudian datanglah masa pembukuan dan cerita cerita, sehingga
banyak risalah ditulis dalam tafsir yang tidak berpangkal pada riwayat riwayat
manqul. Dan banyak pula kisah kisah yang tidak benar dan tidak ada hubungannya
dengan asbab al nuzul dan kebenaran hukum. Bakan sementara ada yang bersumber
daripada ahli kitab, ada yang sangat kering dan ada pula yang berlebih-lebihan.
Hal semacam itu diketahui oleh ahli ahli Tafsir. Untuk itu
maka dibuatlah kitab kitab tafsir dengan menggunakan sistem yang bersumberkan
riwayat, atau yang biasa diistilahkan dengan nama tafsir bi al ma'thut, atau
tafsir al Quran dengan dasar riwayat.
Kitab tafsir yang terbesar, tinggi, kuat, bermanfaat dan luas
ialah Tafsir Imam Muhammad bin Jarir al Tabari, meninggal tahun 310 H yang
diberi nama "Tafsir Bayan fi Tafsir al Quran", iaitu penjelasan.yang menyeluruh
tentang tafsir al Quran.
Kemudian tiba pula saatnya zaman penterjemahan dan pemikiran
falsafah dan berkait rapat dengan pengetahuan Parsi dan Yunani. Maka terjadilah
pertentangan pertentangan antara ahli ahli falsafah islam dengan para 'ulama'
dalam bidang 'aqidah serta masalah-masalah furu'iyah. Kemudian terjadilah
pembetulan terhadap kitab-kitab tafsir yang menggunakan sistem ini kerana banyak
memuat teori teori falsafah dan beristidlal dengan ayat ayat demi membela
pendapat dan madhhab atau aliran 'aqidah yang bermacam macaim itu. Tidak kurang
juga ahli ahli tafsir yang berijtihad dengan beristimbat daripada ayat yang
kiranya sesuai dengan madhhabnya dalam persoalan furu'iyah. Peristiwa seperti
ini biasa terjadi.
Ada juga sementara kitab tafsir yang ditulis semata mata
kerana terdorong untuk menyanggah sesuatu kitab sebelumnya. Ini dapat diketahui
secara jelas dalam tafsir Fakhr al Razi (w. 606 H) yang diberi nama Mafatih al
Ghaib dan dapat dijumpai dalam tafsir Zamakhsyari (w. 538 H) yang diberi nama al
Kasysyaf.
Sementara itu para pengkritik menamakan tafsir dengan sistem
seperti ini sebagai Tafsir bi al Ma'qul, atau tafsir dengan aqal.
Dan banyak pula ahli ahli bahasa yang mentafsirkan al Quran
secara lughawi, kemudian mereka menjurus dengan menitik beratkan kepada bidang
balaghah, lughah, nahwu dan sebagainya. Ini dapat dijumpai dalam tafsir Zajjaj,
al Wahidi dan Abi Hayyan al Andalusi. Bahkan kini telah beredar pula Kitab al
Mufradat, iaitu kamus kata-kata dalam al Quran oleh al Raghib al Asfahani, salah
seorang 'ulama' abad ke 6 H.
Banyak pula ahli ahli tafsir moden yang mengarahkan
perhatiannya kepada perkembangan pesatnya ilmu pengetahuan dan bagaimana
keterangan dan isyarat al Quran terhadap hal tersebut seperti tentang pokok
pokok pengetahuan alam; rahsia alam dan peristiwa peristiwa alam yang nampak.
Tafsir yang seperti ini dilakukan oleh al Syeikh Tantawi Jauhari dalam tafsirnya
al Jawahir. Ada pula ahli tafsir yang lebih banyak mengarahkan perhatiannya
untuk memberikan penjelasan tentang masalah masalah sosial dan jalannya hidayah
serta sebab sebab terjadinya perkembangan sejarah dengan beristimbat daripada
beberapa ayat al Quran untuk memberikan dorongan kepada kaum muslimin
mengembalikan keluhuran mereka kepada al Quran serta keterikatan hidup sosial
mereka dengan ajaran dan syari'at al Quran. Tafsir seperti ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Syeikh Muhammad Abduh dan kemudian dilanjutkan oleh pewaris dan
muridnya Sayid Rasyid Rida dalam tafsirnya yang diberi nama al Manar.
Begitulah kami dapati beberapa metod penulisan tafsir yang
selalu berkembang mengikuti perkembangan pentafsirannya dan perkembangan keadaan
itu sendiri. Inipun persoalan yang biasa terjadi sebagaimana telah kami
kemukakan di atas. Sebab ahli ahli tafsir' itu sendiri akan menggambarkan apa
yang mereka dapat hayati daripada ayat ayat Quran itu dan ketajaman otak mereka
serta kelengkapan pengetahuan mereka terhadap perkembangan pengetahuan pada masa
mereka itu. Kesemuanya itu sudah pasti akan nampak dengan jelas dalam goresan
pena mereka dan kemampanan pendapat mereka.
Di sini kami tidak mahu menampilkan seluruh kitab tafsir
untuk diteliti. Cara semacam itu bukan menjadi tujuan kami dalam pembahasan ini.
Akan tetapi kami merasa cukup dengan menampilkan beberapa contoh sahaja.
6.0 Beberapa Kekeliruan Ahli
Tafsir
Terpengaruhnya method penulisan tafsir dengan kebudayaan dan
alam hidup ahli ahli tafsir itu banyak sekali menyebabkan sebahagian mereka
membuat kesilapan dan menyimpang daripada kebenaran dalam memahami atau
mengambil pelajaran, lebih lebih kalau mereka itu tidak mendalami pelajaran
syara', bahasa dan al-Din yang kesemuanva itu banyak sekali memberi bantuan
dalam benar benar memahami dan mengetahui apa gang dimaksudkan. Justeru itulah
kita temui kesalahan kesalahan yang dilakukan oleh orientalis lebih banyak
daripada orang lain dalam menganalisis al-Quran kerana kelemahan mereka terhadap
pengetahuan bahasa serta jauhnya merika daripada berpegang kepada ajaran ajaran
islam yang benar.
Ini terjadi bagi orang yang dengan bebas mengkhususkan
dirinya untuk mempelajari al Quran, apalagi bagi orang orang mempelajari tafsir
al Quran itu kerana ada latar belakang tertentu!
Cara mereka ini kemudian diikuti oleh para pengamat yang
tidak memiliki bekalan tentang ajaran ajaran Islam.
Dan banyak sekali nampak kesalahan kesalahan itu terletak
pada cara menetapkan ungkapan dan keterbatasannya dalam memenuhi apa yang
dimaksud. Yakni sekiranya pengertian ini diolah dalam ungkapan yang lebih halus
dan bijaksana, nescaya lebih dapat menunjukkan maksud penulisnya dan lebih dapat
memenuhi kehendaknya, dengan menggunakan kesopanan yang wajar dalam memasuki
pembicaraan pembicaraan seperti ini; dan berjalan menuju kebenaran dan mengikuti
logik yang wajar demi mencari kebenaran.
Barangkali akan berguna juga kalau di sini kami bawakan
beberapa contoh dengan singkat tentang kekeliruan kekeliruan sistem yang
dilakukan oleh sebahagian penulisan terhadap beberapa maksud ayat al Quran dalam
pelbagai hal. Kiranya contoh contoh ini akan menjadikan satu peringatan dan
kejelasan.
6.1 Dalam Masalah dan Mu'jizat
Al-Quranul Karim banyak sekali membawakan kisah kisah para
Nabi dan Rasul yang dituturkannya sekelumit mu'jizat mu'jizat mereka itu. Tetapi
yang sudah pasti, bahwa penampilan kisah dan mu'jizat itu semua bukan sekadar
mencatat peristiwa secara kronologi membatasi masa kerana ada gangguan dan
kesamaran, bukan semata mata untuk mencatat sejarah peristiwa itu terjadi dan
tokoh tokoh perseorangan, dan tidak juga demi pembicaraan istilah istilah
sejarah dan kebudayaan. Tetapi tujuan penampilan itu semua tidak lain demi suatu
hidayah peringatan dan demi satu pelajaran (‘ibrah). Sebab prinsip prinsip
hidayah ini akan benar benar kukuh dalam jiwa manusia melalui penampilan kisah
kisah ini dan peristiwa peristiwa yang terjadi di hadapan para pendengar dan
pembaca. Dan al Quran sendiri dengan tegas telah menyatakan :
"Sungguh dalam kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang orang yang mempunyai fikiran yang jernih. Bukan sekadar ceritera yang
dibuat buat, tetapi demi membenarkan apa yang berada di hadapan dia, dan akan
membentangkan tiap tiap sesuatu, dan sebagai hidayah serta rahmat bagi kaum
yang beriman." (Yusuf: 111)
Dan yang sudah jelas pula, bahawa apa yang dikatakan oleh
Quran dalam segi ini, bagi seorang mu'min adalah benar dan tidak diragukan lagi.
Sedang istilah istilah sejarah tidak mungkin dapat membawakan kisah yang
sebenarnya yang sama sekali berbeda dengan kisah yang ditampilkan oleh al
Quranul al Karim. Ini memang benar! Sebab kadang kadang pengetahuan sejarah itu
sendiri tidak mampu sampai kepada sebahagian apa yang dituturkan oleh al Quran
dengan semata mata alat pengetahuan itu. Oleh kerana itu apa yang dituturkan al
Quran sudah merupakan tambahan bagi pengetahuan sejarah. Bahkan sejarah itu
sendiri dengan methodnya yang khas kadang kadang tidak mampu mendapatkan
maklumat tentang apa yang disebut dalam Quran.
Namun, kiranya perlu diperhatikan juga bahwa kelemahan
pengetahuan sejarah untuk mengetahui dan mencari maklumat ini bukan bererti
menunjukkan ketidakbenaran al Quran. Sebab kelemahan pengetahuan untuk
mengetahui sesuatu bukan merupakan bukti tiadanya sesuatu itu.
Punca punca masalah adalah seperti berikut :
Ahli sejarah ada dua macam :
-
Golongan yang tidak beriman kepada al Quran dan tidak
menjadikan wahyu al Quran itu sebagai Agama.
Golongan ini beranggapan bahawa al Quran tidak patut
dinyatakan sebagai standard buku sejarah yang dapat dijadikan pedoman dalam
penelitian ilmiyah, dengan dalil apapun.
Tetapi pendapat ini tidak dapat diterima kerana memang
dasarnya meraka tidak percaya dan tidak beriman kepada alQuran.
-
Golongan kedua ialah golongan yang beriman kepada al Quran
dan baginya mempunyai data data atas kebenaran al Quran itu. Maka bagi
golongan ini mempunyai dua kewajipan.
-
Apa yang dituturkan oleh al Quran tentang ummat dan masa
yang lalu, bahawa ayat ayat yang menerangkan tentang itu hendaknya dijadikan
sebagai maklumat syariat yang sahih.
-
Harus sanggup menangkis pendustaan golongan pertama
apabila mereka terus berusaha atau memang menghendaki demikian. Kepada
mereka harus diperlihatkan bukti kekeliruannya dengan method pengetahuan
sejarah.
Tetapi sebahagian pemerhati daripada bahagian ini
berpendirian yang sama dengan mereka juga. Keperibadian imannya kepada al-Quran
itu ditukarnya dengan keperibadian lain. Kemudian ia beranggapan bahawa
peristiwa ummat dan masa masa yang telah lalu itu hanya semata mata sejarah.
Kemudian ia melanjutkan peninjauannya dengan berselimut
keperibadiannya yang asli. Begitulah akhirnya dia tergelincir dan jatuh ke
jurang kesilapan.
Seandainya dia mahu kembali dan ingat akan keperibadian
imannya itu dan diikutinya pemerhatiannya yang murni itu dengan sesuatu yang
berguna bagi imannya iaitu dengan bertolak kepada sejarah al-Quran ini dan
berjuang untuk itu dan memperkuatnya dengan method ilmiah, nescaya cara semacam
itu akan tetap tegak sebagai alasan baginya untuk membela imannya dan berhadapan
dengan orang lain, dan nescaya dia akan beroleh ucapan pujian.
Dr. Taha Husen pernah tergelincir dalam kesalahan ini ketika
dia telah terpengaruh oleh apa yang dikatakan salah seorang orientalis :
"Bahawa Taurat menceritakan kepada kami tentang Ibrahim
dan Ismail. Injil pun menceritakan kepada kami kedua insan tersebut, dan
begitu juga at Quran berbuat demikian : tetapi ini tidak cukup sebagai bukti
sejarah untuk menetapkan adanya kedua manusia tersebut."
Pendapat ini kemudian diikuti oleh orang banyak dan mereka
itu semua membenarkannya.
Seandainya waktu Taha Husen membawakan pendapat ini kemudian
dilanjutkan dengan mengatakan :
"Tetapi saya sebagai seorang yang beriman kepada al-Quran,
saya dapat menetapkan adanya dua insan tersebut sebagai bukti sejarah. Apabila
semata mata penelitian sejarah dengan maklumat ilmiahnya yang khas itu tidak
dapat menetapkan tentang Ibrahim dan Ismail, adalah justeru kerana kedangkalan
pengetahuan tersebut yang kadang kadang dapat disingkap oleh masa. Bahkan
kadang-kadang kita sendiri pada masa masa akan datang dapat sampai kepada
suatu persoalan yang tadinya tidak rnampu dikemukakan. Dan hal ini sudah biasa
terjadi. Kemustahilan yang kelmarin kini telah menjadi kenyataan dan yang kini
masih.mustahil esok akan menjadi kenyataan. Kitab-kitab al-Din cukup
meletakkan tangan kita di hujung tali, dan sesudah itu kewajiban kita untuk
mengadakan penelitian dengan cermat. Maka kalau orang orang orientalis itu
tidak mempercayai hal tersebut, maka pada hakikatnya mereka itu telah
diperdayakan oleh pengetahuan. Sebab ketidakmampuan akal manusia untuk
memperoleh satu kesimpulan, bukan merupakan kemustahilan persoalan tersebut. "
Seandainya Taha Husen mahu bersikap demikian, nescaya dia
benar benar sebagai seorang ahli kritik yang membenarkan dan memasukkan antara
analisis pengetahuan moden dan kepercayaan seorang mu'min yang kuat, dan nescaya
orang lain tidak akan terpengaruh dan dia sendiri tidak lagi terpengaruh oleh
orang lain.
Dan kitab baru ini adalah milik pengarang "al Qashashul Fanni
fi alQur'an" (kisah kisah seni dalam al Quran) yang tidak dikenal umat manusia
ini, hanya sebahagian kecil saja yang tertera dalam kitab-kitab. Tetapi dalam
dunia sastera mempunyai kaitan dengan sejarah. Kemudian ia bermaksud akan
mengatakan: bahawa memperhatikan segi keindahan bagi seorang seniman, tidak
perlu kepada benarnya riwayat dan betulnya peristiwa yang terjadi. Ini memang
benar-benar demikian. Bahkan kebanyakan yang nampak pada keindahan seni seorang
sasterawan adalah kejadian kejadian baru dan riwayat-riwayat khayal, bukan
kejadian yang sebenarnya, tanpa mengindahkan apa yang dikatakan oleh para
pendidik dan ahli jiwa bahawa method semacam itu cukup berbahaya bagi
pembentukan intelek dan kejiwaan manusia.
Kemudian sesudah itu ia bermaksud untuk mencurahkan dirinya
semata mata sebagai seorang sasterawan yang bebas daripada segala pengaruh dan
al Quran pun dinilainya sebagai buku sastera yang bebas daripada segala pengaruh.
Maka dia melihat apa yang ada dalam al-Quran itu dengan method ini tanpa
memperhatikan kebenaran kisah kisahnya yang sesuai dengan kenyataan dan sejarah,
atau sama sekali bertentangan. Sekalipun dia juga berkata : Bahawa ia menjadikan
tinjauannya ini sebagai sarana untuk menetapkan keunggulan dan dalamnya seni
dalam al Quran.
Sebenarnya sebagai seorang yang beriman kepada al Quran
seharusnya membenarkan, bahawa seluruh peristiwa yang terjadi adalah menjadi
kenyataan sejarah. Dan ini termasuk salah satu yang dapat menambah keindahan
citra dan kelembutan seni. Maka tidak hairan kalau Allah menyatakan :
"(itu) adalah ciptaan Allah yang Ia ctptakan tiap tiap
sesuatu dengan sebaik baiknya.” (Al-Naml: 88)
Kalau dia mahu mengatakan demikian, nescaya sangat memuaskan
dan dia sendiri pun puas serta membersihkan dirinya sendiri dan orang orang yang
membacanya daripada kesesatan. Tetapi yang seperti ini sangat sedikit sekali.
Ini dilihat dari segi sejarah dan sastera dalam kisah kisah
al Quran dan peristiwa peristiwa sejarah yang terdapat dalam al Quran itu.
Adapun mu'jizat dan kisah kisah yang gharib (aneh) yang tidak
dibawakan menurut yang mudah diterima dan yang sesuai dengan hukum alam yang
biasa mereka kenal seperti kisah ahlil kahfi (penghuni gua) dan kisah orang yang
melintasi sebuah desa gundul adalah merupakan pembahasan lain yang insya' Allah
akan kami sendirikan pembicaraannya yang munasabah.
Di sini kami hanya bermaksud untuk memberikan peringatan
terhadap kekeliruan dan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.
6.2 Tentang Pengetahuan Alam
Yang sudah jelas bahawa al Quran al Karim tidak diturunkan
sebagai buku anatomi, bukan sebagai buku kedoktoran, bukan sebagai buku
astronomi, bukan sebagai buku pertanian atau bukan sebagai buku industri. Tetapi
al Quran adalah buku yang memimpin dan membimbing serta memberi pengarahan
sosial untuk menuju kepada prinsip prinsip pedoman sosial, yang apabila manusia
mahu menggunakannya, akan bahagia di dunia mahupun di akhirat kelak.
Al Quran hanya akan menampilkan pengetahuan alam dan corak
jagat raya, sekadar dapat membantu iman seseorang kepada kebesaran Allah yang
Maha Agung dan Maha Tinggi, serta menyingkap seluruh keindahan ciptaan Nya dan
seluruh manfaat dan kegunaan yang dicipta dalam maya pada ini adalah untuk umat
manusia, sehingga dapat memudahkan manusia memanfaatkan seluruh kebaikan yang
berada di bumi dan di langit serta yang berada di cakerawala.
Selanjutnya Allah memberi wewenang akal manusia untuk bekerja
dan berjuang menyingkap tabir rahsia alam ini, dan menggunakan seluruh daya yang
ada.
Bahkan al Quran lebih jauh menganjurkan yang sedemikian itu,
dan meniadikannya sebagai sarana ibadah dan berzikrullah yang afdal dan sangat
tinggi. Firman Allah yang mafhumnya :
"Katakanlah! Lihatlah apa yang di langit dan yang di
bumi” (Yunus: 101)
“Sesungguhnya ditentang kejadian langit dan bumi serta
pertukaran siang dan malam adalah merupakan bukti-bukti kekuasaan Allah bagi
orang orang yang mempunyai fikiran yang jernih, iaitu mereka yang mengingati
Allah, baik dengan berdiri, sambl duduk mahupun dengan berbaring, serta
rnerenungkan tentang kejadian langit dan bumi itu sambil mengatakan: “Ya Tuhan
kami! Engkau membuat ini semua bukan sia sia, Maha Suci Engkau! Oleh kerana
itu lindungilah kami dari siksaan api neraka." (Ali-Imran: 190-191)
Banyak sekali pengarang dan ahli ahli tafsir pada masa masa
yang silam mahupun pada abad moden ini berpendirian, bahawa al Quran al Karim
menghimpun pokok pokok pengetahuan alam. Mereka berusaha untuk sampai kepada
pengetahuan tersebut dengan menerapkan ayat ayat Quran yang berkenaan dengan
alam dan kejadiannya seperti pengetahuan alam yang dikenal manusia sekarang.
Dari kalangan 'ulama' lama yang berbuat demikian, ialah Imam
alGhazali dalam kitab tafsirnya yang benama "Jawahir al Quran". Dan di kalangan
'ulama' moden ini ialah Syeikh Tantawi dalam tafsirnya yang bernama "al Jawahir"
dan Dr. Abdul 'Aziz Isma'il dalam tafsirnya yang bernama "al Quran wa al Tib"
(al Quran dan Ilmu Kedoktoran).
Ini suatu kreativiti yang patut mendapat penghormatan. Tetapi
ini suatu taklif yang oleh Allah tidak dibebankan kepada kita yang kadang kadang
dalam beberapa saat akan menjurus kepada kesukaran dan membawa al Quran keluar
daripada maksud diturunkan sebagai hidayah dan perbaikan sosial serta sebagai
menanamkan prinsip prinsip kedua hal tersebut ke dalam jiwa dan masyarakat dan
juga dapat memperlihatkan erti erti al Quran kepada pendapat pendapat yang
berlainan dan akan terjadi pertentangan ketetapan ilmiah dan pendapat 'ulama'
yang berbeda-beda.
Justeru itulah sebahagian ‘ulama’ salaf tidak menyukai cara
seperti ini. Demikianlah, sebagaimana yang dilakukan oleh Syatibi dalam juz
kedua dari kitab Muawafaqatnya. Di sana ia mengadakan suatu pembetulan dengan
amat lembut sekali, yang secara ringkas adalah sebagai :
"Sesungguhnya al-Quran itu tidak dimaksudkan untuk
menetapkan pengetahuan pengetahuan ini, sekalipun dia itu sendiri penuh dengan
pengetahuan pengetahuan tersebut yang termasuk jenis pengetahuan bangsa Arab
atau ilmu ilmu yang berpangkal kepada ilmu ilmu Arab tersebut yang sampai ahli
ahli fikir merasa ta'ajub"
Betapa cemerlang otak manusia sekalipun ia tidak akan mampu
sampai kepada al Quran tanpa mengikuti pimpinan ilmu dan menggunakan penerangan
cahaya al Quran itu sendiri. Sesungguhnya dalam al Quran banyak ilmu ilmu selain
ilmu ilmu tersebut, maka jangan dilewatkan dia.
Dan yang sudah jelas juga, bahawa al Quran banyak menampilkan
manifestasi alam raya ini, termasuk di dalamnya tentang kejadian manusia,
pembuatan bumi dan langit, perputaran matahari dan bulan, perjalanan planet,
bintang dan orbit, gumpalan awan sampai kepada turunnya hujan, guruh dan kilat,
pertumbuhan nabati dengan ragamnya, keindahan laut dan tanda tanda lintasannya,
gunung-gunung yang menjulang di permukaan bumi, perkembangan janin dalam
kandungan ibu dan lain lain ilmu yang oleh ahli ahli pengetahuan alam dipelajari
dengan cermat dan teliti. Tetapi al-Quran itu sendiri tidak menjadi fokus
analisis mereka dan pusat perhatian serta ujikaji mereka.
Banyak sekali ayat ayat yang ditutup dengan suatu seruan
untuk berfikir, melihat dan merenungkan sebagai suatu isyarat bahawa al-Quran
itu tidak bermaksud menampilkan ketetapan pokok pokok atau cabang cabang ilmu
pengetahuan tersebut. Tetapi al Quran hanya dimaksud sebagai hidayah dan
mengarahkan pandangan dan jiwa guna mengenal al Khalik dan dan tujuan penciptaan
makhluk, dengan memperlihatkan tanda tanda itu.
Tetapi satu hal yang tidak dapat dipertentangkan lagi, iaitu
bahawa ketika al Quran mengisyaratkan kepada hukum hukum alam dan manifestasi
alam raya ini adalah dengan menggunakan ungkapan yang sangat halus sekali dengan
gambaran gambaran yang meyakinkan sehingga sama sekali tidak mungkin akan
terjadi percanggahan dengan penemuan akal manusia dalam seluruh perkembangan
ilmu. Ini, lebih lebih kalau kita mahu memperhatikan bahawa ketetapan ketetapan
pengetahuan terbahagi kepada dua bahagian :
-
Ilmu yang didasarkan atas data data dan alasan alasan yang
kuat sehingga hampir hampir mendekati kepada ketepatan
-
Pengetahuan yang masih terus memerlukan analisis analisis
ilmiah. Semua pengetahuan yang kini berada di tangan ahli ahli kosmografi
masih serba diraba, yang perlu kepada beberapa data vang tidak mungkin dapat
sampai kepada tingkatan pendapatan yang tepat atau alasan alasan yang pasti.
Dalam bahagian pertama tidak dapat disangkal lagi bahawa apa
yang diisyaratkan al Quran dalam pengetahuan tersebut seratus peratus sesuai
dengan apa yang dikenal oleh ahli ahli kosmografi. Sehingga tidak salah kalau
orang mengatakan bahawa ini salah satu kemu'jizatan al Quran yang dibawa oleh
seorang ummi yang tidak pernah merasakan bangku sekolah dan tidak pernah duduk
dalam perguruan tinggi mana pun.
Salah satu contoh isyarat al Quran itu ialah tentang
perkembangan janin, pengawinan angin terjadinya awan dan hubungannya dengan
angin dan sebagainya.
Sedang dalam bahagian kedua, adalah termasuk perbuatan yang
mempersiakan kenyataan usaha menyamakan pengetahuan dengan apa yang dibawa oleh
al Quran.
Kita bersama sama nantikan sehingga pengetahuan alam merasa
puas dengan menjangkau apa yang ada di hadapannya, dan akal manusia dapat
menerima hasil jangkauan itu. Kemudian kita lihat dengan kaca mata iman nas nas
al Quran, maka tidak akan kita temuinya melainkan keduanya itu saling membantu
memperkukuh sendi sendi kebenaran.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda tanda
kekuasaan Karni di cakerawala dan di diri diri mereka sendiri, sehingga akan
jelas bagi mereka bahawa al Quran itu memang benar : apakah tidak cukup
menunjukkan bahawa Tuhanmu itu memang Maha Mmenyaksikan atas segala sesuatu?"
(Fussilat: 53)
Hubungan kejadian manusia dengan hakikat hidup dan permulaan
kejadian dan hubungan langit dengan bumi adalah bukti bukti keajaiban al Quran,
bahawa sehingga dalam persoalan kaitan seperti ini al Quran membawakannya dengan
suatu ungkapan yang indah dan mengkagumkan serta kehalusannya sehingga selalu
dapat mengikuti perkembangan pemikiran manusia dalam setiap waktu dan tempat.
Selanjutnya renungkanlah ungkapan al Quran tentang akan
berakhirnya dunia material ini yang dinamakannya "kiamat" serta
pengaruh-pengaruhnya, maka engkau akan mengetahui bahawa al-Quran membawakan
persoalan ini dengan seindah indahnya!
Di sini ada kesalahan, iaitu banyak daripada kalangan penulis
dan pengamat erti erti ini menulis dan mengamati kemudian mereka beriman dan
benar benar yakin akan kebenaran penyelidikan ilmiah ini dan mereka menilainya
sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak ada kekurangan dan tidak perlu
diperdebatkan.
Tetapi kekeliruan mereka iaitu mereka tidak mahu mencurahkan
dirinya untuk mengamati dengan cermat akan nas nas al Quran dan kehalusan
rangkuman ungkapan serta rahsia penggunaan kata-katanya sehingga terdapat
percanggahan, pada satu saat mereka tidak terlibat dalam kebingungan dan pada
saat lain mendustakan.
Bagi mereka, apa yang dikatakan oleh Darwin bahawa manusia
ini berevolusi daripada binatang lain, dianggapnya suatu hal yang benar dan
seolah olah al Quran tidak pernah menguraikan asal kejadian manusia itu daripada
tanah atau tembikar. Sehingga dengan berpendirian demikian, maka tidak akan
terjadi percanggahan antara al Quran itu dengan penemuan penemuan ilmiah.
Tetapi mereka sendiri tidak menguasai teori Darwin itu,
bahkan tidak juga membaca tulisan tulisan lawan teorinya yang menghentam dan
membatalkannya, khususnya di segi ini; dan tidak juga membaca teori yang
menentang teori Darwin yang ditulis oleh 'ulama' Islam. Kecuali itu, mereka pun
tidak menguasai rahsia ungkapan al Quran yang mengatakan :
"Zat yang membaguskan tiap tiap sesuatu ialah yang
membuatnya, dan Ia memulai membuat manusia daripada tanah liat, kemudian Ia
menjadikan keturunannya daripada mani, iaitu air yang lemah; kemudian Ia
sempurnakannya dan ditiupkan sebahagian daripada Ruh-Nya, dan Ia menjadikan
buat kamu pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi sedikit sekali kamu yang
mahu berterima kasih." (Sajdah: 7-9)
"Mengapakah kamu tidak mahu mengharapkan penghormatan
kepada Allah, padahal la telah menjadikan kamu dengan bertahap"
(Nuh: 13-14)
Seharusnya mereka menerima ayat ayat ini dengan penuh
keyakinan, dan menanti sampai ke mana batas kemampuan pengetahuan manusia.
Itulah yang baik dan sopan.
Sesudah itu kemudian mereka mahu melihat apa yang dikatakan
Allah bahawa :
“Allah adalah sangat berkuasa atas urusanNya "
(Yusuf: 21)
"Kamu tidak diberi pengetahuan, tentang ruh melainkan
hanya sedikit sekali" (Al-Isra’: 85)
Ini semua adalah isyarat yang menjurus kepada pokok persoalan
yang dimaksud yang insya' Allah akan diperjelas dalam bahagian tersendiri.
6.3 Tentang Perkara Ghaib dan
Sifat Sifat Allah
Yang ada hubungannya dengan masalah ini dan mirip dengan apa
yang tertera dalam al Quran, iaitu yang disebut dalam istilah ahli penyelidik
dan pengarang dengan "perkara ghaib" seperti : Jin, Malaikat, hal ehwal orang
yang telah meninggal, alam kubur, kebangkitan dan balasan amal, syurga, neraka
dan seterusnya. Dan termasuk juga sifat sifat Allah swt.
Dalam persoalan ini al Quran telah menyebutkan di beberapa
ayat dengan tegas dan terurai. Misalnya tentang jin ia tuturkan dalam beberapa
rangkaian dan disifatinya mereka itu dengan : mengerti, faham dan iman serta ada
kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia dalam beberapa hal.
Dan tentang malaikat al Quran mensifatkannya dalam beberapa
ayat dengan beberapa sifat.
Kemudian tentang mati dan keadaannya serta apa yang terjadi
sesudah itu misalnya : bangkit, hidup kembali, hisab dan balasan, al-Quran telah
menghuraikannya secara jelas. Di antaranya ialah seperti tersebut di bawah ini:
"Barangsiapa beramal baik sekalipun seberat zarah, Allah
akan mengetahuinya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan sekalipun seberat zarah,
Allah akan mengetahuinya juga" (Al-Zalzalah: 7-8)
Selanjutnya tentang sifat sifat Allah, al Quran menyifatkan
Nya dengan seluruh kesempurnaan dan sekali bersih daripada segala sifat
kekurangan, serta jauh dari kesamaan dengan makhluk Nya.
Firman Allah yang mafhumnya :
"Tidak ada satu pun (makhluk) yang seperti Dia : Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (Al-Syura: 11)
"Tidak ada satu pun (makhluk) yang menyamai Dia "
(Al-Ikhlas: 4)
Satu hal yang tidak diragukan lagi bahawa apa yang dituturkan
oleh al Quran tentang hal ehwal alam matafizikal ini yang di dalamnya termasuk
sifat sifat Allah, semuanya ini tidak masuk dalam batas-batas hukum material
serta kaedah kaedah alamnya. Sedang otak manusia sampai sekarang be1um juga
mampu menguasai seluruh tenaga dan rahsia yang terkandung dalam dunia material
itu sendiri, apa lagi alam matafizikal.
Di sinilah terdapat kesalahan, iaitu banyak orang orang yang
melihat beberapa erti ayat yang dianggapnya berat untuk diterima wujudnya,
kerana pemikirannva tidak mampu sampai kepada suatu realiti. Apakah jin yang
hingga kini hakikatnya masih selalu tersembunyi itu? Apakah malaikat yang tidak
dapat kita ketahui kenyataannya itu? Bagaimana mungkin terjadi kebangkitan
setelah unsur material itu bertentangan, mungkinkah dikembalikan kepada bentuk
aslinya? Bagaimana bentuk ruh yang dianggapnya ada dalam tubuh ini, sedang kita
tidak pernah merasakan melainkan.dengan alat alat material yang berada di badan
kita? Dingin menyusahkan kita, panas pun demikian, racun dapat mematikan kita,
sedang makanan menguatkan kita dan udara menyegarkan kita. Semua ini adalah alam
material.
Mereka banyak yang tergelincir dalam pandangan yang sempit
ini. Sehingga sebahagian mereka ada yang sama sekali tidak mempercayainya; ada
pula yang menta'wil kemudian tidak percaya terhadap wujud hakikinya dan mereka
menganggapnya hanya sebagai tamsil atau khayal.
Kedua duanya sama sekali tidak benar dan jauh tersesat
daripada jalan yang lurus.
Seandainya mereka sedar nescaya mereka akan mengakui bahawa
salah satu kecerdikan seorang alim ialah mengakui kelemahan dan keterbatasannya
terhadap sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh ilmunya. Sebab sesungguhnya apa
yang kini telah disingkap oleh pemikiran manusia kalau dibandingkan dengan
besarnya rahsia alam yang hingga kini belum didapat adalah sangat kecil sekali,
tak ubahnya hanya bagaikan sebuah pulau kecil ditengah tengah samudera luas. Hal
ini telah diakuinya sendiri oleh kebanyakan ahli pengetahuan alam terkemuka dan
ini akan diikuti oleh yang lain pula, sehingga sebahagian mereka ada yang
berkata :
“Sesungguhnya salah satu ciri seorang alim moden, ialah
tunduk dan berani. la tunduk kerana pemikirannya tidak dapat menjangkau rahsia
yang dikandung oleh aIam ini. la berani kerana kejahilan yang di hadapannya
tidak akan dapat dijangkau kecuali dengan keberanian "
Mendustakan perkara perkara ghaib kerana semata mata
pemikiran manusia tidak dapat menjangkaunya sehingga mereka berada dalam
kebingungan, adalah suatu sikap zalim dan sesat. Sedang ta'wil adalah suatu
beban yang tidak tuntut. Oleh kerana itu percaya kepada itu semua tanpa memaksa
diri untuk mengetahui hakikatnya adalah satu satunya jalan yang paling betul.
Adapun gambaran gambaran khurafat yang tersebut dalam
sebahagian buku dan fikiran sebahagian orang, termasuk juga kisah-kisah khayal
dan dongengan sama sekali tidak terdapat dalam al-Quran mahupun hadith Nabi
s.a.w. dengan jalan yang sah.
Oleh kerana itu tinjauan seperti ini sama sekali tidak baik
dan sudah sewajarnya kalau setiap muslim tidak menjadikannya sebagai standard
dan tidak membangga-banggakannya.
Sebahagian orang ada juga yang berusaha untuk mendekatkan
erti-erti ini ke dalam hati orang orang yang masih meragukan yang hatinya belum
mendapat pancaran iman, sehingga mereka menta'wil dan membuat gambaran yang
salah. Bagi orang yang berbuat demikian seharusnya menyertakan suatu keterangan
yang kiranya dapat menyempurnakan keyakinan mereka terhadap dunia yang disebut
dalam al Quran itu, dan hendaknya dia dapat memberikan penjelasan sesudah
menginjak langkah yang pertama itu supaya mereka dapat mengerti dan mendekat
sehingga mereka tidak terhenti di tengah jalan.
Cara seperti ini sebenarnya bukan perkara baru dalam
pembahasan Islam tetapi sekadar mengulang, sejak buku buku falsafah Yunani itu
disalin dan sesudah ilmu ini bercampur dengan pengetahuan Islam hingga hari ini.
Oleh kerana itu, orang yang benar benar mendapat taufiq ialah
orang yang hatinya telah dibuka oleh Allah. Dialah orang yang benar-benar berada
dalam nur Ilahi.
7.0 Tafsir yang Paling Baik dan
Jalan yang Paling Dekat untuk Memahami al Quran
Salah seorang rakan bertanya kepada saya tentang gerangan
apakah tafsir yang lebih baik dan jalan yang paling dekat untuk memaham
Kitabullah? Maka jawab saya singkat : "Kalbumu!" Mengapa? Sebab kalbu seorang
mu'min tidak diragukan lagi adalah tafsir Kitabullah yang paling baik dan jalan
yang paling dekat untuk memahaminya. Iaitu dengan cara membacanya dengan
tadabbur dan khusyu', memohon hidayah daripada Allah, menumpukan fikiran ketika
membaca al Quran, memadukannya dengan sirah Nabi s.a.w., lebih-lebih sunnah yang
berkenaan dengan asbab al nuzul serta kaitannya dengan permasalahan. Cara
semacam ini besar sekali pertolongannya untuk memaham al Quran dengan benar.
Maka apabila dia membaca kitab kitab tafsir, kemudian berhenti pada satu makna
yang sangat halus sekali atau susunan yang belum jelas maksudnya atau tambahan
pengetahuan yang dapat menolong memahamkan Kitabullah, semuanya itu merupakan
bantuan untuk memahaminya. Dan kalau sudah faham, maka sinar al Quran itu akan
memancar dalam lubuk hati.
Kerana itu salah satu wasiat Ustadh al Iman Syeikh Muhammad 'Abduh
kepada salah seorang muridnya ialah :
“Biasakanlah membaca al Quran, dan fahamlah larangan dan
perintah perintahNya, serta nasihat dan 'ibrahnya, sebagaimana Quran itu
pernah dibacakan di hari turunnya wahyu. Kemudian berhati hatilah dalam
melihat bermacam-macam tafsir hanya sekadar untuk memaham kata yang tidak
diketahuinya seperti apa yang dimaksud oleh orang Arab, atau hubungan satu
kata dengan lain yang tidak kamu ketahuinya. Kemudian teruskanlah kepada
pembentukan keperibadian al Quran dan bawalah dirimu kepada arah yang dituju
oleh Quran."
Tidak diragukan lagi, bahawa barangsiapa yang mengambil al
Quran dengan cara demikian, maka pada satu waktu dia akan mendapatkan
pengaruhnya dalam jiwanya yang mampu memberikan pengertian terhadap jiwa al
Quran, dan akan merupakan cahaya yang dapat menyinarinya, di dunia ini sampai di
akhirat kelak.