الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين
أهلا وسهلا بكم
إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"
اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور
اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله
اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب
يارب يارب يارب
KEMASKINI
_
MUTIARA-MUTIARA AKHLAK YANG TELAH HILANG
Al Ustadz Ja’far Umar Thalib
Akhlaq itu maknanya ialah perangai atau
sikap zahir ataupun batin pada diri manusia. Sedangkan perangai atau sikap itu
baik dhahir maupun batin berkaitan dengan apa yang diistilahkan dengan hablum minallah (hubungan dengan Allah
Ta’ala) dan hablum minan nas
(hubungan dengan sesama manusia). Allah
Ta’ala telah menegaskan prinsip akhlaq dalam kerangka hablum minallah dan hablum minan nas ini dalam firman-Nya sebagai berikut: (ayat)
“Mereka telah ditimpa kehinaan di mana pun mereka berada,
kecuali bila mereka menyambung hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan dengan sesama manusia (hablum minannas). Dan mereka juga ditimpa dengan kemurkaan dari
Allah dan ditimpa pula oleh kemiskinan. Yang demikian itu karena mereka
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi-nabi dengan tidak benar.
Yang demikian itu karena akibat dari kedurhakaan yang mereka lakukan dan mereka
adalah orang yang melampaui batas.” (Ali
Imran: 112)
Ayat ini memberitakan berbagai malapetaka yang telah
menimpa Bani Israil sebagai akibat dari berbagai kedurhakaan mereka kepada
Allah dan kepada para Nabi-NabiNya, sehingga mereka harus mengalami malapeteka
kehinaan, kemiskinan, dan kemurkaan dari Allah. Maka telah diberitakan oleh-Nya
bahwa jalan keluar dari segala malapetaka yang mengepung mereka itu adalah
dengan membangun kembali hablum minallah
dan hablum minan-nas. Sehingga
jadilah keduanya sebagai kerangka akhlaq dalam membangun kehidupan yang
seutuhnya bagi masyarakat manusia di dunia ini. Oleh karena itu kita harus
mengerti apa sesungguhnya hablum minallah dan hablum minan nas itu, untuk mengerti kerangka akhlaqul karimah (akhlaq yang mulia) dan kemudian kriterianya pula
yang kita pahami dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus
Shalih.
PENGERTIAN HABLUM MINALLAH DAN HABLUM MINAN-NAS
Kalau dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah hubungan
dengan Allah dan hablum minan-nas
adalah hubungan dengan manusia. Akan tetapi dalam pengertian istilah syari’ah maknanya adalah sebagai
berikut:
1). Hablum minallah,
maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan
Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk
kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana
yang diatur oleh Syari’ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang
menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya
sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di
akhirat. (Lihat Tafsir AtThabari, Tafsir Al-Baghawi, dan Tafsir Ibnu Katsir
tentang pengertian surat Ali Imran 112).
2). Hablum minan-nas,
maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi
orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum Mukminin melalui
pemerintahnya untuk hidup sebagai warga
negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah
dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya
hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari’at Allah Ta’ala.
Dengan demikian, akhlaqul
karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian
yang diatur dalam Syari’at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak
Allah Ta’ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban
menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari
kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul
karimah. Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik,
mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid’ah
(yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi
akhlaqul karimah, yang kemudian dari
prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta’ala dalam
firman-Nya:
(ayat)
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang
agung.” (AlQalam: 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia
itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi
wa alihi wa sallam, pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama
ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” (Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai
penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam AlQur’an, sebagaimana
hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radliyallahu `anha:
(hadits1)
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab
Asy-Syar’iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan
A’isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab
yang diajarkan oleh Al-Qur’an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga
segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari
kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” (Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah,
jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
(hadits2)
“Sesungguhnya seorang Mu’min itu akan bisa mencapai derajat
amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A’isyah radliyallahu `anha).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim
Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul
Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di
atas:
“Orang Mu’min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi
keutamaan yang besar seperti ini, karena
memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang
berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik
terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya
juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan
tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus
berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan
demikian, Mu’min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang
dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam.
Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih
tinggi.” (Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154). Juga
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi
wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu’min yang mempunyai akhlaq
yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:
(hadits3)
“Sesungguhnya orang
yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha’ wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035
dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
BEBERAPA AKHLAQ YANG TERCELA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Setelah kita mengerti kerangka dan
kriteria akhlaqul karimah, kita perlu
mengerti pula kerangka dan kriteria akhlaqudz
dzamimah (yakni akhlaq yang tercela). Agar kita dapat lebih dalam lagi
memahami akhlaqul karimah, sehingga
dapat lebih mudah lagi mengamalkannya. Akhlaq yang tercela telah dipaparkan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits, adalah dalam rangka menimbulkan perasaan anti pati
dalam diri kita terhadapnya.
Adapun akhlaqudz dzamimah, tumbuh dalam kerangka perbuatan kemusyrikan dan
kebid’ahan dan dalam rangka mengekor kepada hawa nafsu. Karena itu kita dapati,
bahwa Islam amat mencela perbuatan syirik, bid’ah dan mengekor kepada hawa
nafsu. Segala kerusakan akhlaq, adalah bersumber dari ketiganya. Hal ini
dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan AlHadits sebagai
berikut:
1). Syirik sebagai kedhaliman yang paling besar dan
menumbuhkan mental penakut:
(ayat)
“Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar.” (Luqman: 13).
Allah Ta’ala menegaskan pula tentang mental penakut pada
orang yang berbuat syirik:
(ayat)
“Kami akan memasukkan rasa takut yang dahsyat dalam hati
orang-orang kafir akibat perbuatan mereka menyekutukan Allah dengan yang
lain-Nya yang tidak diperintahkan oleh-Nya. Dan tempat kembali mereka itu
adalah neraka, sebagai tempat kembali yang sejelek-jeleknya bagi orang-orang
yang berbuat dhalim.” (Ali Imran:
151).
2). Bid’ah sebagai sumber kesesatan dan penyimpangan agama,
sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam: (hadits4)
“Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang dibikin-bikin
dalam agama, karena semua yang dibikin-bikin itu adalah bid’ah dan semua yang
bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud
dan At-Tirmidzi dalam Sunan
keduanya).
3). Hawa nafsu, sebagai sebab terbesar terjadinya
kemusyrikan dan kebid’ahan serta segala penyimpangan lainnya. Allah Ta’ala
menegaskan tentang betapa jahatnya orang yang selalu menuruti hawa nafsunya:
(ayat)
“Tidakkah engkau melihat orang-orang yang telah menjadikan
hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah engkau akan menjadi pembela
terhadap mereka ini? Apakah engkau menyangka bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar dan memikirkan apa yang engkau sampaikan, mereka itu tidak lain
keadaannya seperti binatang ternak atau bahkan lebih rendah.” (Al-Furqan: 43 – 44).
Menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan itu maknanya ialah
menuruti selera hawa nafsu itu apapun yang dimaukannya. (Lihat Tafsir
At-Thabari tentang ayatayat tersebut).
Dari tiga akhlaq yang tercela ini,
muncullah berbagai pelanggaran akhlaq, karena dengan ketiganya disingkirkanlah
otoritas agama sebagai pengatur dan pembimbing kehidupan di dunia ini. Sehingga
muncullah segala malapetaka pada segenap aspek kehidupan ummat manusia seperti
sekarang ini.
MUTIARA-MUTIARA AKHLAQ YANG TELAH HILANG
Dalam rangka otokritik (kritik kepada kalangan sendiri), tulisan ini disajikan
kepada segenap pembaca yang budiman. Sebagai upaya kita berjihad memperbaiki
nasib Ummat Islam yang semakin terpuruk dari
masa ke masa dalam pergaulan universal. Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan kemestian problem solving bagi ummat ini:
(hadits5)
“Tidak akan menjadi baik urusan ummat ini kecuali dengan
yang telah memperbaiki pendahulunya.”
Pendahulu ummat ini adalah para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sedangkan
yang telah memperbaiki nasib penduhulu ummat ini adalah ketika mereka beriman
dan beramal dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah yang terus kita
perjuangkan dan berikut ini kita berusaha mengenali kekurangan diri kita
sendiri agar kita berpeluang memperbaikinya. Yaitu mutiara-mutiara akhlaq yang
hilang dari pergaulan kita. Semoga dengan kita menyadari kehilangan barang
berharga tersebut, kita akan berusaha menemukannya kembali, dan mutiara itu
bersinar lagi dalam pergaulan kita. Inilah data barang hilang itu:
1). Al-Ikhlas,
yaitu kemurnian tauhid dari segala noda syirik dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala. Noda syirik itu dengan segenap jenisnya akan merusakkan keikhlasan kita
dalam beribadah kepada-Nya. Sedangkan jenis-jenis syirik itu adalah:
a). Syirik akbar
atau syirik besar, yaitu mempersembahkan amalan ibadah kepada selain Allah
disamping mempersembahkannya kepada Allah. Syirik
akbar ini membatalkan keislaman pelakunya dan tentu membatalkan
keikhlasannya pula. Syirik akbar ini
contohnya ialah sujud dan ruku’ kepada selain Allah, berdoa kepada selain-Nya,
thawaf mengelilingi tempat yang dikeramatkan selain Ka’bah seperti thawaf di
kuburan wali dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi contoh perbuatan syirik akbar.
b). Syirik asghar
atau syirik kecil, yaitu mempunyai niat amalan shalih selain untuk Allah juga
untuk yang selain-Nya. Atau menyandarkan diri dalam upaya mencapai
keberuntungan dan juga usaha untuk menghindarkan diri dari mara bahaya kepada
selain Allah di samping kepada Allah. Contohnya seperti riya’ (yakni diniatkan amalannya untuk dilihat atau dipuji orang),
juga meyakini keselamatan rumahnya dari pencuri karena ada anjing penjaga
padanya atau ada angsa yang selalu bersuara keras bila ada orang yang tidak
dikenalnya. Dan termasuk dalam katagori syirik
asghar, ialah bila seseorang beramal dengan amalan akhirat, tetapi dia
niatkan dengannya untuk mendapatkan kepentingan dunia. Semua itu adalah syirik asghar yang merusakkan keikhlasan
pelakunya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh amalan syirik asghar selain apa yang tersebut di atas.
c). Syirik khafi atau
syirik yang tersembunyi, yaitu amalan syirik yang tersamar pada kebanyakan
orang karena tampaknya seolah-olah perbuatan itu ikhlas untuk Allah semata
padahal ada niat sampingan yang tersembunyi untuk selain Allah. Hal ini
disadari oleh sedikit orang yang dirahmati Allah dan segera dia bertaubat
kepada-Nya untuk memurnikan kembali keihkhlasannya yang telah dirusak oleh syirik khafi tersebut. Tetapi kebanyakan
orang amat sulit merasakannya dan baru dia mengerti setelah adanya penyimpangan
yang jauh dari niat ikhlasnya untuk Allah dan sulit untuk memurnikan kembali
niatnya karena telah terkait dengan kepentingan dunia amalan ibadahnya dan
hancurlah keikhlasannya untuk Allah karenanya. Kebanyakan syirik khafi ini dimulai dari syirik
asghar dan kemudian berkembang sampai pada tingkat syirik akbar. Contohnya ialah seorang yang berdakwah menyeru
manusia kepada agama Allah. Tetapi diam-diam dia mempunyai agenda tertentu
untuk meraih keuntungan dunia melalui jalan dakwah. Atau orang yang berjihad di
jalan Allah, disamping niatnya untuk meraih keridlaan Allah juga mempunyai niat
lain dari kepentingan dunia. Sehingga akhirnya sampai pada tingkat tujuannya
mencapai kepentingan dunia mengalahkan niatnya untuk meraih ridla Allah.
Demikian bahayanya syirik itu dalam merusakkan atau bahkan
menghancurkan samasekali keikhlasan seorang mukmin dalam beribadah atau beramal
shalih. Semakin tersembunyinya syirik itu bagi kebanyakan orang, maka semakin
besar pula bahayanya. Tetapi sayang, di hari ini semua jenis syirik yang tiga
itu telah mewabah pada kebanyakan kaum Muslimin. Bahkan telah mendominasi
kehidupan mereka. Sehingga kaum Muslimin tidak ada lagi wibawanya di hadapan
musuh-musuhnya. Karena yang muncul di
tengah-tengah kaum Muslimin adalah orang-orang oportunis yang membonceng kepada kepentingan agama demi mencapai
kepentingan dunia. Sedikit sekali orang yang benar-benar ikhlas karena Allah
dalam beragama ini. Karena memang perbuatan ikhlas itu telah menjadi amalan
yang amat berat dalam kehidupan ummat ini di masa kini. Lebih jelasnya, makna
ihklas itu telah amat sulit diterapkan pada ummat ini. Karena telah sedikit
sekali orang yang mengerti makna ikhlas dengan lengkap dikarenakan semakin
malasnya ummat ini untuk belajar agama. Al-Imam Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah telah menerangkan dengan
lengkap tentang makna ikhlas yang sesungguhnya sebagai berikut:
“Makna sesungguhnya keikhlasan itu ialah bila seorang
Muslim dalam beramal shalih, selalu mengabaikan penglihatan makhluk terhadap
amalan itu karena terusmenerus menumpahkan perhatian kepada penglihatan
Al-Khaliq (sang Pencipta). Dan ikhlas itu ialah bila engkau beramal shalih,
hatimu menginginkan ridla Allah semata dari amalan, ilmu serta dari perbuatan
itu. Karena engkau takut kemurkaan Allah dengan sebab ilmu yang ada padamu dan
Allah terus-menerus melihat engkau. Sehingga dengan itu akan hilanglah dari
hatimu riya’. Kemudian engkau selalu ingat berbagai kenikmatan Allah atasmu,
karena Dia telah memberimu taufiq (bimbingan) untuk kamu memilih amalan itu
sehingga hilanglah rasa ‘ujub (yakni rasa bangga diri) dari hatimu. Dan
kemudian engkau menggunakan kelembutan dalam beramal itu sehingga hilanglah
dari hatimu ketergesa-gesaan. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
(hadits 6)
“Tidaklah Allah jadikan kelembutan pada sesuatu kecuali
akan memperindah sesuatu itu dan tidaklah Ia mencabut kelembutan itu dari
sesuatu, kecuali akan memburukkannya.”
Selanjutnya Abu Utsman menerangkan: “Dan ketergesa-gesaan
itu adalah sikap orang yang mengikuti hawa nafsu, sedangkan kelembutan itu
adalah sikap orang yang mengikuti sunnah (yakni ajaran Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam). Bila
engkau telah selesai menjalankan amalanmu dengan cara demikian, hatimu terasa
penuh ketakutan dari kemungkinan Allah menolak amalanmu dan tidak menerimanya.
Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya: (ayat)
“Dan
orang-orang yang bila mengerjakan suatu amalan, hati mereka akan penuh
ketakutan karena mereka yakin akan kembali ke Tuhan mereka.” (Al-Mu’minun: 60).
Kemudian Abu Utsman menegaskan: “Barang siapa yang
mengumpulkan empat perkara ini dalam amalannya, maka sungguh dia adalah orang
yang berbuat ikhlas dalam amalannya insya Allah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman jilid 5 halaman 348
riwayat ke 6885 – 6886)
Empat perkara yang merupakan ciri keikhlasan seseorang yang
bisa dirasakan oleh orang yang sedang beramal itu sendiri sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abu Utsman Sa’ied bin Ismail tersebut di atas, bila
diringkaskan adalah sebagai berikut:
a). Ar-Ru’yah,
yakni merasa yakin bahwa amalannya sedang dilihat dan diawasi oleh Allah
Ta’ala.
b). Ar-Raja’ ,
yakni mengharapkan ridla Allah semata untuk menerima amalan itu dan memberinya
pahala.
c). Ar-Rifeq,
yakni kelembutan dan kehati-hatian dalam menjalankan amalan itu dan tidak
tergesa-gesa.
d). Al-Khauf,
yakni takut kalau amalannya itu tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Betapa jarangnya kaum Muslimin yang memenuhi hatinya dengan
empat perkara tersebut ketika beramal shalih. Bahkan sebaliknya, yang
diharapkan ialah pengakuan manusia, yang ditakutinya ialah kemarahan atau
pengucilan handai taulan karib kerabat terhadapnya, cenderung kasar dan
tergesa-gesa membikin keputusan, serta penuh rasa ujub (bangga diri) dalam
beramal dan mengharapkan acungan jempol banyak orang.
Jadi, mutiara ikhlas telah hilang dari kita dan gantinya
adalah kemunafikan dalam bentuk sikap beragama dua muka yang berbeda antara
satu muka dengan muka yang lainnya. Tampaknya sedang beramal dengan amalan
shaleh untuk Allah, tetapi hatinya penuh agenda tersendiri untuk meraih
kedudukan di sisi manusia. Hal ini telah dikeluhkan oleh para Shahabat Nabi di
jaman Ta’biin (yaitu zaman sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam tetapi para shahabat beliau masih
hidup). Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu
anhu menjelaskan tentang sikap dua muka orang munafiq itu, dalam riwayat
berikut ini:
Dari Abi Yahya mengatakan: Pernah Hudzaifah ditanyai:
“Apakah yang dinamakan munafiq itu?” Beliau menjawab: “Munafiq itu adalah orang
yang berbicara tentang Islam tetapi dia tidak beramal dengannya.” (Riwayat Ibnu
Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman
296 riwayat ke 928).
Ini menunjukkan bahwa si munafiq itu ketika berbicara
tentang Islam, sama sekali tidak ada keikhlasan untuk merasa terikat dengannya
sehingga Islam hanya dibibirnya saja tetapi tidak ada realisasinya dalam
amalannya.
Kemudian Hudzaifah memperingatkan: “Akan datang suatu masa
pada kaum
Muslimin, dimana pada waktu itu bila engkau melempar anak
panah di hari Jum’at (yaitu ketika
banyak orang berkumpul di masjid untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at),
maka anak panah itu tidak mengena kecuali orang kafir atau orang munafiq.”
(Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 1 halaman
179 riwayat ke 9).
Yakni mayoritas orang yang ada di masjid-masjid pada hari
Jum’at itu adalah orangorang Islam yang telah batal keislamannya karena
berbagai kemusyrikan yang dilakukannya sehingga jadilah dia kafir karenanya.
Atau kalau tidak demikian maka yang paling ringan adalah orang Islam yang tidak
lagi mempunyai keyakinan dan keikhlasan dalam beragama sehingga jadilah dia
sebagai orang munafiq karenanya. Masyarakat Muslimin yang telah kehilangan
mutiara-mutiara akhlaq dan juga amat rendah pengetahuannya serta pengamalannya
tentang agama. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang munafiq itu tidak akan
mempunyai perangai yang mulia dan tidak akan pula mengerti ilmu agama. Hal ini
telah diberitakan olehnya dalam sabdanya:
(hadits7)
“Dua perkara yang tidak mungkin ada pada orang munafiq,
yaitu perangai yang baik dan paham agama.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 2684 dari Abi
Hurairah).
Ini menunjukkan bahwa akhlaq yang mulia akan hilang dengan
hilangnya keikhlasan dan munculnya kemunafikan. Demikian pula akan terjadi
sikap ummat Islam yang mengabaikan ilmu agama ketika tumbuh subur di kalangan
mereka mental munafiq. Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhuma menyatakan: “Sesungguhnya seorang Muslim masuk
ke rumah penguasa dalam keadaan masih ada Iman dan Islam pada dirinya, tetapi
ketika dia keluar dari padanya dalam keadaan tidak lagi tersisa padanya
agamanya sedikit pun.” Ditanyakan kepada beliau: “Mengapa demikian wahai Abu
Abdur Rahman?” Beliau menjawab: “Karena dia di hadapan penguasa itu berusaha
menyenangkannya dengan perkara yang dibenci oleh Allah.” (Riwayat Ibnu Batthah
Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 694 riwayat ke 924).
Demikianlah kenyataannya, dunia politik praktis sering
mendidik kaum Muslimin melakukan basa-basi politik atau tegasnya sikap menjilat
kepada penguasa sehingga kosong dari keikhlasan. Bahkan sikap menjilat itu
dilakukan dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau dengan tenang
menginjak-nginjak hukum Allah demi mendapatkan restu penguasa itu. Yang
demikian itu adalah kemunafikan yang menghancurkan keikhlasannya dalam
beragama.
Pernah pula ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang
orang yang menemui penguasa dan di hadapan penguasa itu dia memuji-mujinya.
Tetapi ketika dia keluar dari tempat kediaman penguasa itu, dia mencaci-maki
penguasa tersebut. Bagaimana perbuatan orang yang demikian ini? Beliau
menjawabnya: “Kami para shahabat Nabi menganggap perbuatan yang demikian ini di
zaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagai
kemunafikan.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam AlIbanah Al-Kubra jilid 2
hal. 693 – 694 riwayat ke 921).
Semuanya telah terjadi di hadapan kita dan di masyarakat
kita dan mutiara ikhlas itu memang telah hilang dari kita.
Syaikh Abdurrahman bin Al-Hasan bin Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahumullah dalam Fathul
Majid halaman 185 jilid ke 2 menukil omongan kakeknya (yaitu Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah):
“Diperingatkan agar orang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah
harus menjaga keikhlasannya. Karena banyak orang yang tampaknya menyeru kepada
kebenaran, kemudian ternyata dia menyeru orang untuk memuliakan si juru da’wah
itu sendiri.” Orang-orang yang beramal shalih tetapi mempunyai niat bercabang
antara niat untuk Allah dan juga untuk yang lain-Nya, akan berhadapan dengan
pengadilan Allah di hari Mahsyar di hari kiamat dan di sana Allah menyatakan
menolak sama sekali semua amalan yang niatnya bercabang seperti itu. Hal ini
telah diberitakan oleh Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:
(hadits8)
“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili perkaranya
oleh Allah di hari kiamat adalah seorang pria yang syahid (terbunuh dalam
pertempuran membela agama Allah), kemudia orang itu didatangkan di hadapan
Allah dan kemudian diperkenalkan kepadanya segenap nikmat-Nya yang dilimpahkan
kepadanya dan dia mengakui semua nikmat itu. Kemudian ditanyakan kepadanya:
“Apa yang telah engkau amalkan dengan nikmat itu?” Dia menjawab: “Aku berperang
di jalan-Mu dan aku terbunuh sebagai syahid.” Allah menyatakan kepadanya:
“Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau telah berperang agar engkau
dikatakan sebagai pemberani. Dan sungguh telah dikatakan demikian.” Kemudian
diperintahkan agar diseret orang tersebut pada wajahnya sehingga dilemparkan ke
neraka. Kemudian didatangkan pula seorang yang belajar ilmu agama dan
mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an untuk dihadapkan kepada Allah.
Diperkenalkanlah kepadanya berbagai kenikmatan-Nya kepadanya dan dia mengakui
segala limpahan kenikmatan itu dari-Nya. Allah menanyakan kepadanya: “Apa yang
engkau telah lakukan dengannya?” Orang ini pun menjawab: “Aku telah belajar
ilmu agama dan aku mengajarkannya dan aku membaca Al-Qur’an semata-mata
untuk-Mu.” Maka Allah menjawabnya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau
belajar agama agar engkau dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan memang
telah dikatakan demikian. Dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan sebagai
ahli baca AlQur’an, dan memang telah dikatakan demikian.” Maka Allah
perintahkan agar orang ini diseret pada wajahnya dan kemudian dia dilemparkan
ke neraka. Didatangkan pula pada waktu itu seorang yang dilapangkan rizkinya
oleh Allah dan diberi limpahan harta dengan segala jenisnya. Orang tersebut dihadapkan
kepada Allah dan dikenalkan kepadanya berbagai kenikmatan-Nya yang telah
dilimpahkan kepadanya, dan dia mengakuinya. Maka Allah tanyakan kepadanya: “Apa
yang telah engkau lakukan dengan berbagai kenikmatan itu?” Diapun menjawab:
“Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang Engkau senangi, kecuali aku selalu
belanjakan hartaku padanya untuk-Mu.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah
berdusta. Engkau lakukan semua itu adalah untuk engkau dikatakan dermawan dan
memang telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan untuk orang ini
diseret pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim dalam Shahihnya hadits nomor
1905 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu
juz 13 hlm. 44 bab Man Qotala li
ar-Riya’i wash Shum’ati istahaqqon-nari).
Demikianlah, betapa celakanya orang yang beramal shalih
dengan amalan-amalan yang besar tetapi niatnya tidak ikhlas karena Allah Ta’ala
bahkan niatnya bercabang dengan berbagai niat yang lainnya. Maka “ikhlas” itu
sebagai mutiara akhlaq yang dapat ditumbuhsuburkan melalui pembekalan ilmu
Tauhid dengan mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya dan
mempersembahkan segenap amalan shalih hanya untuk Allah semata serta
membersihkan Tauhid dari segenap noda syirik.
2). As-Shidqu,
yakni kejujuran. Yaitu kejujuran dalam menyatakan iman kepada Allah dan
Rasul-Nya serta kejujuran dalam segala perkara yang diwajibkan oleh agama kita.
Kejujuran yang dimaksud di sini ialah samanya pernyataan lisan dengan apa yang
diyakini oleh hati dan sama antara keadaan tersembunyi dengan keadaan di
hadapan orang ramai. Kalau lawan daripada Al-Ikhlash
adalah An-Nifaq (yakni kemunafikan),
maka lawan dari As-Shidqu adalah Al-Kadzib (yakni kedustaan). AsShidqu itu adalah sumber segala amalan
baik, sedangkan Al-Kadzib itu adalah
sumber segala amalan jahat. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam
sabda beliau sebagai berikut:
(hadits9)
“Sesungguhnya As-Shidqu
itu membimbing orang kepada amalan shalih dan amalan shalih membimbing
pelakunya kepada surga. Dan sesungguhnya seorang itu terusmenerus berbuat shidiq (yakni jujur) sehingga ditulis di
sisi Allah sebagai shiddiq (yakni
orang yang selalu berbuat jujur). Dan sesungguhnya dusta itu membimbing orang
kepada amalan jahat, dan sesunguhnya amalan jahat itu membimbing pelakunya ke
neraka. Dan seseorang itu terus-menerus berdusta, sehingga ditulis di sisi
Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari
dan Muslim dalam kitab Shahih
keduanya dari Abdullah bin Mas’ud).
Diberitakan pula oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam tentang ciri-ciri as-shidqu itu adalah ketentraman pada
pelakunya dan sebaliknya ciri-ciri kedustaan itu ialah kebimbangan pada
pelakunya:
(hadits10)
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan berpeganglah dengan
apa yang tidak meragukan kamu, karena As-Shidqu
(kejujuran) itu menyebabkan ketentraman pada pelakunya dan dusta itu
menyebabkan kebimbangan pada pelakunya.” (HR. AtTirmidzi dalam Sunannya dari Al-Hasan bin Ali).
Al-`Allamah Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits ini sebagai berikut:
“Maknanya ialah: Tinggalkanlah apa yang engkau ragu padanya
baik dari perkataan maupun dari perbuatan, ragu apakah ia terlarang ataukah ia
tidak terlarang, apakah ia sunnah ataukah ia bid’ah. Tinggalkanlah yang
demikian keadaannya dan condonglah kamu kepada apa yang engkau tidak ragu
padanya. Yang dimaksud dengan perintah ini ialah bahwa setiap mukallaf
hendaknya membangun keyakinan agamanya di atas keyakinan ilmiah setelah
melakukan upaya penelitian dalil untuk mencapai kepastian. Dan hendaknya setiap
orang itu di atas ilmu dalam beragama.” (Tuhfatul Afwadzi bi Syarah Jami’it Tirmidzi jilid 7 hal. 221).
Demikianlah mestinya sikap shidiq dalam beragama, sehingga akan menimbulkan ketenangan di hati
dalam meyakini agamanya dan akan mantap dan penuh semangat dalam
mengamalkannya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai akhlaq shidiq dalam beragama, dan banyak
bermain-main dengan kedustaan dalam beragama, maka sungguh dia akan hanya
menimbulkan fitnah belaka dalam mengamalkan agama. Karena pengamalannya tidak
konsisten pada satu sikap, akan tetapi mudah sekali berubah-rubah dari satu
sikap kepada sikap yang lainnya tanpa alasan yang jelas. Baru saja orang-orang diperingatkan
untuk jangan dekat-dekat dengan si fulan. Alasannya bahwa si fulan itu membawa
pemahaman yang sesat. Kemudian dalam tempo sebulan atau dua bulan, sudah
berubah lagi dengan seruan untuk mengupayakan ishlah (kerukunan) kembali dengan si fulan yang dituduh sesat itu.
Bila ditanyakan, apa alasannya kok terjadi perubahan sikap yang secepat itu?
Jawabnya: “Masih menunggu keterangan Ulama’.” Sementara para pendusta yang
sedang mempermainkan ummat dengan kedustaannya, terus-menerus berpindahpindah dari
satu Ulama’ kepada Ulama’ yang lainnya untuk memperoleh pembenaran terhadap
kedustaannya dengan melakukan penipuan kepada para Ulama’ tersebut. Bila
mendapat jawaban dari seorang Ulama’ yang tidak sesuai dengan manuver
kedustaannya, maka tentunya jawaban itu segera disembunyikan atau tidak
berselera untuk menyebarkannya. Akan tetapi bila dia berhasil mendapatkan
jawaban yang sesuai dengan hawa nafsu kedustaannya, segeralah jawaban itu
disebarluaskan ke semua pihak disertai dengan anjuran untuk mengikuti Ulama’.
Betapa celakanya ummat ini ketika dakwah kepada sunnah (ajaran) Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dijadikan
bulan-bulanan permainan kotor para pendusta.
Inilah kenyataan pahit yang sedang berlangsung di generasi
kita. Dan mutiara AsShidqu adalah
mutiara akhlaq yang telah hilang dari kehidupan kita. Sehingga yang sedang
mewabah adalah Al-Kadzib.
Quo vadis Ummat
Islam, barangkali inilah yang sangat dikuatirkan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah (beliau adalah Imam dari
kalangan tabi’it tabi’in) sebagai mana yang telah diceritakan oleh murid beliau
yang bernama Al Faryabi rahimahullah sebagai berikut ini:
“Sufyan Ats-Tsauri bila melihat orang-orang An-Nabath (yakni orang-orang asli Irak
tidak punya nasab dan tidak terdidik dalam keluarga yang mulia) mencatat ilmu
di majlis ilmu, wajah beliau berubah karena tidak senang. Maka aku pun
menanyakannya: “Wahai Aba Abdillah, aku melihat engkau amat keberatan bila
melihat orang-orang itu menulis ilmu (yakni ilmu agama), mengapa?” Beliau pun menjawab:
“Ilmu agama ini dulunya ada di tangan orang-orang Arab dari kalangan
orang-orang mulia. Maka bila ilmu ini telah keluar dari tangan mereka dan
berpindah tangan kepada orang-orang nabathi
itu dan di tangan orang-orang yang rendah budi pekertinya, maka akan rusaklah
agama ini.” (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilmi wa Fadl-lihi
jilid 1 hal 620 – 621, riwayat ke 1072)
Maka untuk membangun kembali akhlaq shidiq pada ummat ini, haruslah dibangkitkan keimanan mereka kepada
ancaman adzab Allah di dunia dan akhirat terhadap para pendusta. Agar orang
yang beriman itu terus-menerus mendidik dirinya untuk selalu bersikap shidiq. Ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa
alihi wa sallam yang menganjurkan sikap shidiq dan mengancam orang yang
selalu berdusta, tidak akan bermanfaat bagi orang yang tidak beriman kepada
kengerian adzab Allah bagi orang yang berdusta dan tidak beriman pula kepada
janji kemuliaan dari-Nya bagi orang yang berbuat shidiq.
3. Al-Amanah,
yaitu menunaikan kepercayaan pihak lain kepadanya. Seseorang bila telah
dipercaya oleh satu pihak dengan satu perkara, maka orang yang dipercaya
tersebut telah mendapat beban amanah yang harus ditunaikan.
Pihak pemberi amanah
yang paling tinggi dan paling besar adalah Allah Ta’ala. Hal ini telah
diberitakan oleh-Nya dalam Al-Qur’an
surat Al-Ahzab 72: (ayat)
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah ini kepada langit
yang tujuh dan kepada bumi serta gunung-gunung, tetapi semuanya tidak mau
menerima tawaran untuk menunaikan amanah itu karena merasa berat untuk
memikulnya. Tetapi manusia justru menerimanya. Sesungguhnya manusia itu memang
sangat dhalim dan sangat bodoh.” (Al-Ahzab:
72)
Amanah yang Allah tawarkan itu ialah satu ketentuan yang
menyatakan: “Barang siapa menunaikan kewajiban mentaati-Nya maka dia akan
mendapatkan pahala dariNya dan barang siapa yang tidak menunaikan kewajiban itu
maka akan disiksa olehNya.” (Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat ini).
Adapun pihak yang diberi amanah yang paling mulia adalah
para Nabi dan para Rasul, sebagaimana hal ini telah diberitakan oleh Allah
Ta’ala dalam firman-Nya di Al-Qur’an surat An-Nahl 36:
(ayat)
“Dan sungguh Kami telah utus pada setiap ummat seorang
Rasul yang mengajarkan perintah-Nya agar kalian beribadah hanya kepada Allah
dan menjauhkan diri dari para thaghut
(yakni segala sesembahan selain Allah). Maka sebagian manusia ada yang
mendapatkan petunjuk Allah untuk menunaikan ajaran para Rasul itu dan ada pula
dari mereka telah ditentukan atasnya kesesatan. Oleh karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibatnya orang yang mendustakan
ajaran para Rasul itu.” (An-Nahl:
36)
Kemudian setelah kedudukan para Nabi dan para Rasul itu
sebagai penerima amanah yang termulia, ialah para Ulama’ dan para da’i yang menyeru manusia kepada agama
Allah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya
di dalam Al-Qur’an surat Fushshilat 33: (ayat)
“Dan siapakah yang lebih baik omongannya dari orang yang
menyeru manusia kepada agama Allah dan beramal shalih dan menyatakan:
Sesungguhnya aku termasuk dari golongan orang-orang yang tunduk kepada agama
Allah.” (Fushshilat: 33)
Setelah kedudukan para ulama’ dan da’i itu, pihak termulia
yang mendapat amanah Allah adalah
segenap kaum Mukminin. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta’ala
dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran 110:
(ayat)
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang diciptakan untuk
kebaikan bagi manusia untuk menunaikan misi tugas kalian yaitu menyeru manusia
kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dan kalian beriman kepada
Allah.” (Ali Imran: 110)
Sedangkan perkara paling mulia yang diamanahkan kepada kita
adalah Islam dan Iman. Tentang keduanyalah kita akan dimintai
pertanggungjawaban di hari kiamat kelak, yaitu
sejauh mana kita menunaikan kewajiban menuntut ilmu agama Allah dan
sejauh mana kita beramal dengan ilmu tersebut. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Fathir
32: (ayat)
“Kemudian Kami amanahkan Kitab ini (yakni ilmu yang Allah
turunkan kepada RasulNya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada orang-orang
yang Kami pilih. Dari mereka yang diberi amanah itu ada yang dhalim terhadap
diri mereka sendiri dan dari mereka ada yang sedang (yakni tidak dhalim dan
tidak pula lebih baik), ada pula dari mereka yang melampaui yang lainnya dalam
kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah keutamaan yang besar dari
Allah.” (Fathir: 32)
Demikianlah amanah yang termulia itu, ia datang dari
pemberi amanah yang termulia, yaitu Allah Ta’ala. Diberikan amanah itu kepada
makhluq Allah termulia, yaitu para Nabi dan para Rasul. Disampaikanlah amanah
itu dari mereka kepada orang-orang yang termulia setelah para Nabi dan para
Rasul, yaitu para ulama’ dan para da’i.
Dipercayakan untuk pengamalannya kepada ummat terbaik, yaitu segenap
kaum Mukminin yang menjalankan kewajiban amar
ma’ruf dan nahi munkar serta
beriman kepada Allah Ta’ala dengan cara yang benar menurut-Nya.
Maka bila amanah yang termulia ini ditunaikan dengan baik,
penduduk bumi akan hidup dalam kesejahteraan dhahir maupun batin. Akan tetapi
bila amanah ini dikhianati, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi baik
dhahir maupun batin. Dan segala amanah yang lainnya akan dikhianati dengan
ditelantarkan segala kemestiannya, sehingga yang merajalela di muka bumi adalah
mental khianat dan pada saat itu hilanglah akhlaq menunaikan amanah. Semua
malapetaka ini telah diperingatkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
(hadits11)
Seorang Arab dari gunung datang ke majlis Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan
bertanya: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Ialah bila
diterlantarkannya amanah, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu masih
bertanya lagi: “Bagaimana amanah itu dikatakan telah diterlantarkan?” Beliau
menjawab: “Bila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah terjadinya
hari kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya
bab Kitabul Ilmi hadits ke 59 hari
Abi Hurairah).
Begitulah bahayanya kerusakan amanah, yaitu dengan
diserahkannya perkara agama ini sebagai amanah yang termulia kepada orang-orang
yang bukan ahlinya. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam memberitakan tentang keadaan yang paling genting
menjelang datangnya hari kiamat ketika amanah menjaga agama Allah telah
diabaikan:
(hadits12)
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, dia menceritakan: Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, kapan kita meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, padahal keduanya adalah amalan yang pokok bagi
orang-orang baik?” Beliau pun menjawab: “Apabila tampak pada kalian apa yang
pernah nampak pada Bani Israil ummat sebelum kalian.” Akupun bertanya lagi:
“Apakah yang pernah tampak pada mereka?” Beliau menjawab: “Apabila orang-orang
baik dari kalian berbasa-basi dengan orang-orang jahat dari kalian dalam
kemaksiatan, dan fiqih (yakni ilmu agama) di tangan orang-orang yang paling
jahat dari kalian (yaitu orang yang berilmu agama tetapi suka melakukan
kemaksiatan), dan negara dipimpin oleh orang-orang kerdil pikirannya (yakni
orang-orang yang lemah akal), maka ketika itulah fitnah akan terus-menerus
meliputi kalian, dan kalian akan menyerang dan diserang.” (HR. At-Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Ausath jilid 1 hal. 51 – 52 riwayat ke 144).
Terhadap hadits ini Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Majma’uz
Zawa’id jilid 7 hal. 286 melemahkan sanadnya. Tetapi hadits ini
diriwayatkan melalui banyak sanad sehingga menjadi hasan karenanya. Adapun berbagai sanad tersebut adalah sebagai
berikut ini:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dari Anas bin Malik dalam Jami’
Bayanul Ilmi Wa Fadl-lih jilid 1 dengan membawakan beberapa sanad di
halaman 610 – 612, riwyat ke 1048 hingga 1050.
Juga Ibnu Majah dalam Sunannya dari Anas bin Malik hadits
ke 4015. Al-Hafidh Abu Nu’aim Al-Asfahani meriwayatkan hadits ini dari Anas bin
Malik pula dalam Al-Hilyah jilid 5 hal 185.
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan hadits ini dari A’isyah Ummul Mukminin
dalam Kitabul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar riwayat ke 27. Abu
Ja’far At-Thahawi meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik dalam Musykilul
Atsar juz 4 hal 216 riwayat ke 3658. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya
dari Anas bin Malik dalam Musnad beliau jilid 3 halaman 187.
AlHindi membawakan riwayat ini dalam Kanzul Ummalnya jilid 3 halaman 685
riwayat ke 8458 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir
dan Ibnu An-Najjar dari Anas bin Malik.
Maka telah jelaslah bagi kita, bahwa
bila amanah telah hilang dari akhlaq ummat Islam, kondisi ummat Islam akan
sangat terpuruk. Masyarakat cenderung
berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri dan amar makruf nahi munkar telah
mandek. Tawashaw bil haq watawashaw bis
shabr (yakni saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati
kepada kesabaran) telah ditinggalkan. Karena ummat Islam telah hilang
kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, bahkan saling mencurigai di antara
sesamanya. Ummat Islam terkotak-kotak dalam bebagai golongan, lengkap dengan
pemahamannya masing-masing terhadap agamanya. Inilah perpecahan yang amat
dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dan dengan sebab ini
Allah mengutuk ummat Islam sebagaimana Ia mengutuk
ummat-ummat Yahudi dan Nashara. Sehingga musuh-musuh ummat Islam menjadi berani
melecehkan dan menghinakan mereka, bahkan mereka dijadikan sebagai
bulan-bulanan kejahatan orang-orang Yahudi, Nashara dan musyrikin.
Untuk membangun kembali harga diri dan
kewibawaan ummat Islam, haruslah diupayakan dan dipelopori pendidikan agama
bagi ummat ini dengan menekankan pada upaya menumbuhkan kepribadian al-amanah bersamaan dengan kepribadian al-ihkhlas dan as-shidiq.
PENUTUP
Demikianlah keresahanku sebagai da’i,
aku kemukakan kepada pembaca sekalian sebagai upaya pencerahan terapi penyakit
ummat Islam untuk mendapat perhatian semua pihak guna menanggulanginya lebih
serius. Agar energi perjuangan ummat Islam lebih efisien lagi karena lebih
fokus pada sasarannya yang lebih tepat. Tidak ada alasan bagi para pejuang
Islam untuk pesimis ataupun putus asa dalam menatap masa depan perjuangan ini.
Estafet perjuangan harus terus-menerus diwariskan kepada anak cucu dengan bara
api semangat perjuangan yang tak kunjung padam. Kemenangan dari Allah pasti
akan datang di suatu saat yang dikehendaki-Nya. Dia sedang memilih, siapakah
dari ummat ini yang paling pantas dilimpahi amanah kemenangan yang agung dari
Dzat Yang Maha Agung itu. Berlombalah kita untuk memperbaiki diri agar dipilih
oleh Allah Ta’ala menjadi orang yang pantas dilimpahi amanah kemenangan
dari-Nya. Kita perbaiki keikhlasan, hiasi diri dengan kepribadian As-Shidqu, dan kita tumbuhkan akhlaq Al-Amanah pada diri kita. Berjuanglah
terus, jangan berhenti dan jangan ragu dengan janji Allah. Fajar kemenangan
akan terbit sebentar lagi.