الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين
أهلا وسهلا بكم
إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"
اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور
اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله
اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب
يارب يارب يارب
KEMASKINI
_
ILMU MANTIQ : PERKEMBANGANNYA
Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-,
Aristoteles adalah ikon rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir
yang tersusun dalam premis-premis, dan kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa
yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika. Bangsa Yunani yang dahulu
diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan terhipnotis dengan karya
Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia,
Philip) dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum,
menjadikan pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani.
Sampai pada tingkatan tertentu, logika Aristoteles
mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan.
Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan
dalam “dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas
bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar
sebelumya, Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap
Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu
meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah
kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya
demokrasi dalam politik.
Logika akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat
relevan terhadap segala perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika
menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu
melakukan pendekatan rasional. Hal ini tercermin dari setiap karyanya. Bahkan
alam semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh hal-hal yang serba kebetulan.
Gerakan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris
dan landasan-landasan logis harus dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap
aspek dunia secara sistematis. Dengan ‘dogma’ inilah budaya Eropa mulai
bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik dan takhayul menuju rasio.
Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai
dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi
bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia
mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau
tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah
yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang
dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa
al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23).
Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk
berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami esensi
di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah
konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang
membawa petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks
interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang
dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik.
Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari
eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi
(tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.
Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum
berpikir dengan tepat harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu
sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika
sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang
didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena kekuatan pikir kita
sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada
kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah
representasi dari segala kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan
‘ke-independensian’ logika, apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau
hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan?
Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar,
yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka
mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda
dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang
memisahkan logika sebagai ilmu independen sekaligus sebagai pengantar. Dalam
hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum
yang independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan
Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada
logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum
diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang
mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja yang membuat
seakan berbeda.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama
ilmu murni-independen (’ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang
mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup
fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu
murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar
ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap
ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi
ilmu independen. Karena jika tidak demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut
akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian
ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang lebar terhadap ilmu pengantar inilah
yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam perkembangan selanjutnya, hanya
ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai ilmu. Sedangkan ilmu perantara
bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa dikatakan tujuan
sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak hukum berpikir melainkan
berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.
Logika dan Perkembangannya
Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan.
Setiap argumen dapat diuji keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan
argumen yang baik dan benar perlu menguasai logika. Dalam pembacaan ini,
penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan logika yang diusung Aristoteles
sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru yang berupa
dialektita atau logika. Karena korelasi sebuah pernyataan dan jawaban yang
logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan penyimpulan
ditemukan ketika tidak menggunakan hukum, prinsip dan metode berpikir.
Berangkat dari upaya pencarian kebenaran tersebut ilmuwan Yunani seperti
Socrates, Plato dan Aristoteles semakin gencar untuk merumuskan perangkat
metode berpikir yang rasional.
Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk
logika formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar
klasik dan modern. Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah
Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda dengan logika formal
modern. Pada hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang pada awalnya
merupakan sebuah pemahaman sehingga akan mewujudkan ‘thing’ (sesuatu). Tetapi
pakar modern mengawali dari sesuatu sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal
logika Yunani adalah kalam yang kemudian dimaknai sebagai
akal, pikiran dan burhan.
Baru sekitar abad ke-2 M bangsa Arab mengadopsinya dan
diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu kalam dan talaffud tanpa
menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang digunakan di Yunani ketika itu.
Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai peninggalan
karya-karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun mencatat,
banyak karya Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria,
Arab, Persia dan India. Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’
merasuki hampir di segala cabang ilmu pengetahuan.
Ada enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu,
“Categoria Seu Praediecamenta” (al-Maqqûlât), “Perihermenias Seu de
Interpretatione” (al-‘Ibârah), “Analytica Priora” (al-Tahlîlât al-Ulâ),
“Analytica Posteriora” (al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis
Communis” (al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis” (al-Safsathâ’i). Seiring dengan
perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak mengalami perubahan, yaitu
dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal), ‘Retorika’ (al-
Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang banyak
berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ” Mafâtîh
al-‘Ulûm” juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema tersebut. Lain
halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang tidak mengkategorikan
‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.
Sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal dari
penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai Khalifah Al-Ma’mun (masa penerjemahan
terhadap karya pemikir Yunani dimulai pada masa Khalifah al-Mansur) dari
Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan Aristoteles.
Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber kebenaran adalah akal. Segera
Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari ilmu yang banyak
berkembang dan tersimpan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Yahya
bin Khalid bin Barmak adalah ‘Sang Hero’ pada masa itu, karena dia telah
berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para intelektual Yunani dari
genggaman Romawi. Hal yang ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para
intelektual Yunani adalah ketika buku-buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya
dan mulai tersebar maka agama Nasrani kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan
kembali pada agama Yunani. Ilmu asing yang diadopsi Arab
diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang
ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah Ayyub bin al-Qasim
al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani ke Arab yang pada awalnya
telah diadopsi dari Madrasah Iskandaria.
Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak
pengaruh dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan
logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan
kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai
proaktif dalam mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina
(1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang
mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian
ikut andil dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu Islam
termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik
dengan ilmu kalam pada periode selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali
dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini
mendapatkan cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur
mempunyai pengaruh penting dalam pola berpikir manusia sehingga mengembangkan
metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir baik secara deduktif dan
induktif.
Rasionalitas Eropa Klasik-Modern
Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris
yang sangat berbalik arah dengan perkembangan mantik di Arab-Islam. Pertemuan
pemikiran Aristoteles dengan iman kristiani menghasilkan banyak pemikir dan
filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua ordo baru yang lahir
dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan. Aliran ini dinamai
sebagai filsafat Skolastik (dari kata Latin “scholasticus” yang berarti
“guru”). Tema-tema pokok dari ajaran mereka antara lain hubungan iman-akal
budi, eksistensi dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Mereka
berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling
dalam dari manusia. Dan pada masa ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah
biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat internasional.
Berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia Islam, sebagaimana
pendapat Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama mempunyai persamaan,
yaitu sama-sama melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi dan mempunyai tujuan
puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger de Brabant menyatakan
bahwa agama lebih benar dari pada akal,
karena betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat
melampaui posisi agama. Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat persuatif
sedangkan agama lebih ke imajinatif.
Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa
secara periodik terbagi tiga, yaitu pada permulaan abad Masehi (sekitar abad
ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada pertengahan abad (sekitar abad ke-13 hingga
abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-19 M. Yang perlu ditekankan di sini, bahwa
otoritas gereja pada pertengahan abad sangat menghegemoni hampir semua wilayah
Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai titik tolak pemikiran. Sehingga
wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal.
Nah, hal inilah yang menimbulkan perpecahan dalam gereja.
Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang
berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori
penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi dan filsafat. Buku
filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’ karya Ibnu Sina (1037 M.)
yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi
dan Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya tersebut didukung dengan hadirnya
Madrasah Paris yang sedang naik daun sekaligus mendapat ‘restu’ dari Raja
Philip dan Agustus. Penyelaman terhadap karya sarjana muslim tidak berjalan
mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang
masih fundamentalis.
Karena banyak berlawanan dengan hasil konsensus gereja, maka
secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan terhadap karya
Aristoteles pada tahun 1210 M. Maka, langkah selanjutnya yang diambil adalah
menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari buku Yunani, dan hal itulah yang
banyak membantu Thomas Aquinas dalam pembaruan gereja. Di sinilah awal
permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu
madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.
Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan
terpisahkan, karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal sehat dengan melepas
subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah kekuatan iman, bukan
akal. Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam pertengahan abad
pertama, yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang menyatakan tidak adanya
filsafat dalam agama karena itu sangat mustahil. Melihat tujuan utama agama
nasrani adalah “fikratul khallash”, yang menurut sebagian tokoh gereja tidak
ada sangkut-pautnya dengan filsafat.
Dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan
keputusan gereja. Berbeda dengan pemikiran Agustine yang
banyak menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas. Dalam
bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta akan
kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yang menyatu dalam tubuh al-Masih.
Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena
nasrani adalah agama yang rasional. Agustine sedikit menjelaskan korelasi
antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio
antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan
tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya wajib agar akal
digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik benang merah
bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan
berakidah untuk berpikir.
Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas
(1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah.
Pemisahan rasionalitas dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki
Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah
yang terjaga, maka ketika membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada
proses penalaran yang berangkat dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal,
tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama akan bervarian selaras dengan
perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.
Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang
menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern
sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.),
Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik
Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan
filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian
pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang
manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
Descartes sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan Prancis
abad pertengahan (1596-1650 M.) memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang berlawanan
filsafat klasik tetapi justru mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik “apakah
asal-muasal pengetahuan manusia itu?” diselaraskan dengan pertanyaan “bagaimana
saya tahu?” adalah hepotesa aktif yang menuntut akal untuk proaktif dalam
melihat sesuatu. Pengaruh besar yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman
tentang fisik alam semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia-
bekerja secara mekanis. Oleh karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan
dari sebab
musabab mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan
astrologi, magis dan takhayul, yang berarti juga menolak penjelasan teologis.
Dia berpendapat seharusnya para ilmuwan menjauhkan diri dari hal-hal yang
bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara matematis. Dia menyusun suatu
sistem filsafat dengan metode matematika.
Perkembangan baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang biasa
disebut masa enlightment atau Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis
dari rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke (1632-1704
M.), di Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778 M.) dan di Jerman ada Immanuel
Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme, empirisme dan idealisme, Barat
sampai saat ini mempunyai banyak aliran filsafat, yang kebanyakan hanya
berkutat pada satu negara dan kebudayaan.
Nalar Arab-Islam
Terdapat banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari
Yunani ke Arab. Ada yang mengatakan bahwa penerjemahan itu terjadi pada masa
kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada juga yang berpendapat pada awal Daulah
Abbasiyah. Al-Syahrastani sepakat bahwa mantik lebih dulu memasuki wilayah Arab
sebelum zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8 M. Proses
penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani didukung oleh upaya ekspansi umat
Islam ke beberapa wilayah asing. Namun, mantik dalam masa ini belum menemukan
perkembangan pesat, bisa jadi keadaan sosial masyarakatnya memang belum butuh
atau aksi pencekalan oleh ulama salaf yang begitu menghegemoni. Sebagian dari
ahli sejarah mengatakan, bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam pemikiran Arab
pada abad ke-7 M ketika masa penerjemahan Khalifah Ma’mun.
Menurut Deboura, belum tersebarnya mantik secara meluas
disebabkan karena hilangnya beberapa dokumentasi terjemahan buku-buku mantik
sebelum abad ke-8 M. Tetapi pendapat ini banyak disangkal oleh sejarawan lain,
karena justru pada masa sebelumnya telah muncul ilmu nahwu yang banyak
berdialog dengan mantik. Bahkan ulama nahwu dari Basrah ketika itu mendapatkan
julukan ahli mantik, karena dalam metodenya banyak menggunakan rasio. Hal tersebut
sangat didukung oleh kondisi sosial politik Basrah yang terus berkecamuk,
sehingga aksi perlawanan dan pertentangan dari tiap kelompok tak dapat
dihindari. Akibatnya, mantik digunakan sebagai senjata perlawanan untuk adu
argumentasi. Nah, hal ini sangat berbeda dengan ulama Nahwu Kufah yang
cenderung kurang rasionalistik.
Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462
H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah
awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu,
Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry. Hunain
bin Ishaq, salah satu ahli bahasa, juga berpartisipasi dalam menerjemahkan
berbagai disiplin ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga ikut
menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby
dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah awal penerjemahan buku-buku Yunani,
hingga wafatnya murid dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak
membantu proses penerjemahan.
Organon adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke Arab.
Orang-orang Nasrani ketika itu juga banyak membantu dalam proses penerjemahan,
yang secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya
dalam kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh wilayah
teologi Kristen. Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan dalam penertiban ilmu
antara filsafat Suryani dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran
utama dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad
ke-9 hingga abad ke-11 M. yang diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis
penerjemah ilmu kedokteran dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan
hadirnya madrasah di Jundisapur (Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan
dari teks Yunani pada awal abad pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka
tak bisa dipungkiri lagi, bahwa dari sinilah lahir sarjana muslim yang
berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali dst.
Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia,
Al-Kindi mulai memberanikan diri untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang
sekaligus mendapat persetujuan dari Khalifah al-Ma’mun (850-873 M). Kemudian
mantik mulai berdialektika dan mempengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya,
termasuk nahwu. Mantik dalam hal ini digunakan sebagai rumusan metode dalam
pengambilan hukum gramatikal bahasa, terlebih lagi dalam hal silogisme. Pada
saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai merayap dan terus berkembang di
tangan Qadariyah, baru diwariskan ke Mu’tazilah sebagai titisan golongan
rasionalis. Pertemuan umat Kristen dengan logika menuntut cendekiawan muslim
untuk lebih giat mempelajari mantik sebagai upaya dalam menjaga teologi Islam.
Pada dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam budaya
Arab kurang lebih satu setengah abad. Penolakan terhadap filsafat termasuk
logika Yunani baru terjadi pada masa Imam al-Asy’ari abad keempat Hijriah.
Menurut beberapa penulis, penolakan yang sesungguhnya baru terjadi pada masa
al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut al-Falâsifah pada pertengahan kedua
abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi ada faktor-faktor positif yang
terdapat pada logika Yunani sehingga dapat diterima di dunia Islam, di
antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang memberikan kontribusi
luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya, filsuf dan teolog muslim
mempercayai akurasi dan kebenaran logika, bahkan sampai memasuki wilayah ketuhanan
(metafisika). Kekaguman akan logika terjadi karena, dulunya, Islam yang hanya
mengenal segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah, kemudian
mulai beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah Islam
sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min al-Dhalâl.
Logika Aristoteles memberikan perubahan besar dalam dinamika
sosial masyarakat Arab, terlebih dalam urusan administrasi negara serta dalam
sistem politik sekalipun. Mantik, pada masa itu juga digunakan sebagai piranti
tata letak kota, karena Islam sebagai negara sangat membutuhkan sistem baru
untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide materialisme yang diusung Aristoteles juga
berperan dalam problematika pimikiran Arab-Islam, meskipun kontradiksi dalam
hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika Aristoteles dapat disimpulkan dalam
tiga hal; yaitu sebagai perangkat praktis dan media berargumen yang marak dalam
berbagai perdebatan ideologi. Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu
langkah kesuksesan pola pikir Arab-Islam, sehingga dengan mantik peran akal
menjadi primer demi mencapai tingkat keyakinan. Dan terakhir, bahwa logika
dijadikan sebagai media (wasîlah) untuk menyatukan berbagai ideologi dan
pimikiran menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu sumber kebenaran dan
pengetahuan.
Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari
ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi kala itu tak dapat
dihindari. Karena menurut mereka belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu
yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan
mantik adalah bagian dari perbuatan setan. Imam al-Syafi’i banyak mengeluarkan
hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya
berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai
meninggalkan bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat
Aristoteles”. Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i banyak menggunakan metode
eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum. Ada pula riwayat yang
berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum
zindiq”. Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist lainnya yang menyatakan
pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh
Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.
Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika
Al-Mutawakkil mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang
terbesar terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama
Al-Ghazali (1059-1111 M). Perlawanan tersebut meluas dari wilayah timur hingga
barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh akan hal ini karena mayoritas
bermadzhab Maliki yang tidak lain adalah salafi. Mantik dan filsafat terus
dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir
besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut
al-Tahâfut. Yang juga menjadi komentator atas aliran Aristoteles –selain Ibnu
Sina dan Ibn Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”,
yang berisikan kritikan terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme
yang dianut oleh aliran Stoicisme.
Meski demikian, perlawanan terus berlanjut bahkan sampai
puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf
muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul dua penentang papan atas
yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah
melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan
predikat ‘kafir’ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ”
(terbitan Kairo, hal 138). Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat.
Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan
terhadap perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang
dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci
al-Qur’an dan Hadist.
Dalam tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke dunia
Arab melalui jalur kedokteran, dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya
dengan ilmu kalam oleh Ghazali (al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd). Menurut Ibnu
Taimiyah, sarjana muslim pertama yang banyak berbicara logika serta
menghubungkannya dengan ilmu Islam lain adalah al-Ghazali, maka tak heran jika
ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah tidak dalam bentuknya yang dulu (ala
Yunani),
melainkan mulai disusupi nilai-nilai keislaman. Dialektika
mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak, bahkan ketika nahwu
dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa, maka mantik juga merupakan ‘bahasanya’ akal.
Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk memutuskan yang baik dan
buruk.
Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia dijadikan
sebagai pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam
mantik, berakhirnya madrasah Bagdad menjadikan mantik lebih dewasa, artinya
yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus
karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya sekitar ke-13 dan ke-14
M., karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada karya Aristoteles. Di sisi lain,
sekitar 970-1030 M. muncul jamaah Ikhawan al-Shafa dengan basis terbesarnya di
Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi lebih condong
kepada Neoplatonisme, terlebih dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku mantik
yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka, khususnya al-Farabi dalam
mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran Arab Islam.
Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia
dari abad ke-12 hingga abad ke-13 M. dengan style baru yang mulai terbebaskan
dari filsafat. Ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat,
Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa mantik secara perlahan
memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh dan ilmu sosial. Karena logika
adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-problem teologis dan
filsafat saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim untuk mempelajari
logika dalam kapasitasnya sebagai kewajiban komunal (fardhu kifâyah). Terlebih
lagi, buku-buku mantik karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi menjadi
pedoman penting dalam kajian mantik sekaligus menjadi rujukan bagi para sarjana
muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd dalam mengeleminasi logika Yunani ternyata
menuai hasil yang tidak mengecewakan.
Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya
Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering
jika hanya berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif,
sehingga butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu
menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua, yaitu
mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan
mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu
Khaldun, logika
empirik (mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai
bagian dari mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan. Dalam relasinya
dengan ilmu kalam, al-Ghazali lebih mengunggulkan metode analogi (qiyâs)
daripada eksplorasi (istiqrâ’) karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan,
terwujud dari ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita. Syahdan,
ilmu Kalam yang diusung al-Ghazali bukan dalam artian harfiahnya (yaitu:
pembicaraan), melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan
menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.
Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami
perkembangan signifikan pada abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa setelah
hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan sebagai masa melangsungkan kembali kritikan-kritikan
beserta ulasannya dari golongan rasionalis sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan
Sa’aduddin Al-Taftazani. Dalam beberapa kurun waktu selanjutnya merupakan masa
kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami soal-soal akidah,
salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al- Qaym.
Nah, baru ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa
penertiban materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah
abad pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam
memperjelas mantik. Maka standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad ke-15
M. sampai sekarang.
Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan
terlebih di Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu
mengatasnamakan akal. Model penalaran al-Asy’ari dapat dikategorikan sebagai
‘orthodox style’, karena lebih setia dengan teks suci agama dibandingkan dengan
mu’tazilah dan filsuf. Meskipun masih dalam lingkaran Islam, tapi penalaran
yang dipakai mu’tazilah dan filsuf kebanyakan produk Yunani, sehingga mulai
melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap kalam Tuhan,
yang mereka anggap “mutasyabihât”. Nah, hal ini disebabkan kuatnya peranan
unsur mantik serta dialektika. Maka sistem ini dinamakan ilmu kalam atau
teologi rasional. Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah dan filsuf