"Malu yang di dalam diri kita itu malu yang
seperti apa? Jangan-jangan malu kita adalah kesombongan"
"Rasa malu adalah sebahagian dari iman", kalimah ini adalah sebagian dari sabda Nabi s.a.w.
Namun terkadang kita mungkin sering salah dalam memahami dan menempatkan
perasaan malu kepada keadaan yang sebenarnya.
Sebagai contoh, kita merasa malu kerana
berpakaian yang tidak berjenama dan mahal, kenderaan yang sudah uzur,
talifon
bimbit yang tidak berjenama dan ketinggalan, tetapi pernahkah kita bertanya
kepada hati kecil kita, apakah ini rasa
malu yang dimaksud oleh Rasulullah s.a.w?.
Padahal sesungguhnya rasa malu yang kita rasakan ketika ini bukanlah malu yang
diinginkan Rasulullah s.a.w sepertimana yang banginda nyatakan di dlam
cabang-cabang keimanan, tetapi rasa malu yang kita rasakan adalah suatu kesombongan dan
ketakaburan. Kita selalu ingin dan harus dianggap mempunyai kelas, selalu
berkeinginan dianggap sebagai orang yang lebih, dan memiliki keistimewaan di
atas orang lain. Maka pada hakikatnya ini adalah kesombongan dan bukan malu yang
diinginkan oleh Rasulullah s.a.w.
Malu sepertimana yang disabdakan Rasulullah S.a.w
adalah “Istahyu minallahi haqqol hayaa", yang mengandung makna "Malulah engkau kepada Allah, dengan malu yang
sesungguhnya". Kemudian para sahabat
mengatakan; "Kami semua juga malu, Ya
Rasulullah". Sepertinya, apa yang difahami sahabat
Rasulullah S.a.w, sama seperti yang pernah kita fahami, yaitu malu karena makan
sederhana, malu punya pekerjaan sederhana.
Dikatakan oleh Rasulullah, "Laisa dzaalikum" (bukan itu yang namanya malu). Kemudian Rasulullah
s.a.w menjelaskan:
"Sesungguhnya rasa malu itu (yang
merupakan sebahagian daripada iman) adalah, pertama iaitu jika engkau
menjaga kepalamu dan apa yang dikandungnya, (menjaga
mata, menjaga lidah, dan telinga), kemudian
yang kedua, jika engkau menjaga perutmu dan apa yang di sekitarnya". (menjaga apa yang akan masuk ke dalam perut kita dan
menjaga apa yang disekitar perut, iaitu kemaluan kita dari melakukan sesuatu
yang keji).
Maka
sesungguhnya malu yang
dimaksudkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w itu bukanlah malu dipandang orang, tetapi malu dipandang
oleh Allah.
"Apakah yang kita lakukan saat ini Allah Ridha
atau tidak? Apakah Allah Cinta atau tidak?"Itulah malu yang sesungguhnya. Dan saat inilah
waktunya kita untuk koreksi diri. Malu yang di dalam diri kita itu malu yang
seperti apa? Jangan-jangan malu kita adalah kesombongan yang justru akan
menjerumuskan kita ke dalam kehinaan.
Oleh itu marilah kita bermuhasabah dan
memuupuk serta menumbuh suburkan rasa malu kita kepada Allah. Jikalau memang
kita harus malu kepada sesama manusia, itupun boleh maka batas itu tidak
menjadikan Allah murka.
Maka hiduplah secara sederhana, kerana orang yang sentiasa
berpegang kepada kesederhanaan, ia akan dapat menerima apa adanya dan mudah untuk
mensyukuri nikmat Allah.
والله تعالى اعلم