Aqidah Imam Empat, Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad. Adalah
yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para
sahabat dan tabi’in. Tidak
ada perbedaan di
antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat
untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk
dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam,
seperti kelompok Jahmiyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani
dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah menuturkan, “… Namun
rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan
umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli
kalam seperti kelompok Jahmiyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada
sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama
salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat,
al-Qur’an adalah kalam Allah
bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan
lisan.1
Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan, para imam
yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka
mengatakan bahwa al-Qur’an
itu kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat.
Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga
madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam
ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.2
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang
aqidah Imam Syafi’i. Jawab
beliau, “Aqidah Imam Syafi’i
dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam
al-Auza’i, Imam Ibnu
al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti
aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhail bin
‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman
ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda
pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, Aqidah
tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar, dan sebagainya adalah sama dengan
aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan
aqidah para sahabat dan Tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.3
Aqidah inilah yang dipilih oleh
al-‘Allamah Shidiq Hasan
Khan, di mana beliau berkata: “Madzhab kami adalah madzhab ulama salaf, yaitu
menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk
dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Madzhab tersebut adalah madzhab
imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam ats-Tsauri, Imam Ibnu
al-Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam
masalah ushuluddin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan
para imam di atas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh
al-Qur’an dan
as-Sunnah.” 4
1 Kitab al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Ta’liq Muhammad al-Harras
2 Manhaj as-Sunnah, II/106
3 Majmu’
al-Fatawa, V/256
4 Qathf ats-Tsamar, hal.47-48
1. Tauhid
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang
Tauhid
Pertama :
Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah)
dan tentang tawassul syar’i
serta kebatilan tawassul bid’i.
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan
asma’ Allah. Adapun
do’a yang diizinkan dan
diperintahkan adalah keterangan yang terambil dari firman Allah :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ
بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Bagi Allah ada nama-nama yang bagus
(al-asma’ul-husna), maka
bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al-A’raf:180)1
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon kepadamu
berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabi-Mu, atau berdasarkan
hak al-Bait al-Haram dan al-Masy’ar al-Haram.2
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut
asma’ Allah. Dan saya tidak
suka bila ada orang berdo’a
seraya menyebutkan ‘dengan
sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’3 ,
atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’.4
Kedua :
Pendapat Imam Abu Hanifah رحمه الله tantang penetapan sifat-sifat
Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka
dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui
keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak
dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu
pahala-Nya.
Kita menyifati Allah sebagaimana Allah
menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba
memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang
menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah
di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan
Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah
makhluknya.”5
- Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah, dan diri seperti
disebutkan sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah
tentang wajah, tangan, dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang
tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan
Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti
meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar
dan golongan Mu’tazilah.”6
- Imam Abu Hanifah رحمه الله juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk bebicara
tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang
disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan
pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.7
- Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah
رحمه الله menjawab,“Allah
itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunnya makhluk.”8
- Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan
do’a ke atas, bukan ke
bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah
sedikitpun.9
- Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat
disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu
pahala-Nya.”10
- Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan
makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki
nama-nama dan sifat-sifat-Nya.11
- Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan
sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya
makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya)
makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah itu
mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara
tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.”12
- Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan
sifat-sifat makhluk.”13
- Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat
manusia, maka ia telah kafir.”14
- Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm
(mengetahui) sama’ (mendengar), basher (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat
fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi
rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan. Allah
tetap dan selalu memiliki asma’-asma, dan sifat-sifat-Nya.”15
- Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan
melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah
Allah yang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk dan perbuatan Allah bukanlah
makhluk.”16
- Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di
langit atau di bumi’, maka
orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku
itu di atas ‘Arsy. Tetapi
saya tidak tahu ‘arsy itu di
langit atau di bumi.”17
- Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan
Anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di
bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman
وَهُوَ مَعَكُمْ (Allah itu
bersama kamu)?”18 Beliau menjawab: “Ungkapan
itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”,
padahal kamu jauh darinya.”19
- Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas
tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul, tangan Allah itu
tidak sama dengan tangan makhluk.”20
- Beliau juga berkata: “Allah سبحانه و
تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada
orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, “Allah itu
bersamamu.”21 Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada
seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”22
- Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman
kepada Nabi Musa ‘alaihis
salam.”23
- Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah
sifat azali.”24
- Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak seperti
berbicaranya kita.”25
- Kata beliau: “Nabi Musa ‘alaihis salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri
oleh Allah26: “ وكلم الله موسى تكليما ” (Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa). Allah
telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada
Nabi Musa saja.”27
- Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushhaf dan tersimpan (terjaga)
di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi
Muhammad.”28
- Kata beliau lagi: “Al-Qur’an itu bukan makhluk.”29
1 ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/ 396-397
2 Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin,
II/ 285, Syarah al-Fiqh al-Akbar, hal.108
3 Imam
Abu Hanifah رحمه الله dan
Imam Muhammad bin Hasan tidak suka apabila seseorang berdo’a dengan menyebutkan, “Wahai Allah, saya
mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari ‘arsy-Mu.” Karena do’a seperti ini tidak ada petunjuk
tekstual (nash) yang membolehkan.
Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan
do’a seperti itu, karena
menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana
Nabi berdo’a, “Wahai Allah,
saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di ‘arsy-Mu dan puncak rahmat dari
kitab-Mu.”
Hadits ini ditulis Imam al-Baihaqi dalam
kitabnya, ad-Da’-wat
al-Kabirah, ditulis dalam kitab al-Binayah, IX/ 382, dan kitab Nasb ar-Rayah,
IV/ 272. Di sanadnya terdapat 3 hal yang dapat menyacatkan hadits :
- Daud bin Abu ‘Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas’ud.
- Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan
kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
- Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnu
al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, al-Binayah, IX/ 382, bahwa
hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti
anda lihat. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III/198, VI/405, VII/501 Tarqib
at-Tadhzib, I/520
4 at-Tawassul wa al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh al-Fiqh
al-Akbar, hal. 198
5 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
6 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
7 Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, II/ 427, Editor Dr. At-Turki, Jala
‘al-‘Ainain, hal. 368
8 Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits, hal. 42, Dar as-Salafiyah.
Al-Baihaqi, al-Asma’ wa
as-Sifat, hal. 456, Syarh al-Aqidah ath Thahawiyah,hal. 245. Takhrij al-Albani.
al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 60
9 al-Fiqh al-Absath, hal. 51
10 Ibid, hal. 56
11 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
12 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
13 al-Fiqh al- Absath, hal. 56
14 al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan komentar al-Albani, hal.
25
15 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
16 Ibid
17 al-Fiqh al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/ 48. Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 139.
Adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw,
hal. 101-102. Ibnu Qadamah dalam al-‘Uluw, hal, 116. Dan Ibnu Abi al-‘Izz dalam Syarh al-Aqidah
ath-Thahawiyah. Hal. 301
18 Surah al-Hadid, ayat 4
19 al-Asma wa ash Shifat, hal. 429
20 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
21 Surah al-Hadid, ayat 4
22 al-Asma’ ash
shifat, II/ 170
23 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
24 Ibid, hal. 301
25 Ibid, hal. 302
26 Surah an-Nisa’
, ayat 164
27 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
28 Ibid, hal. 301
29 Ibid
Pendapat Imam Malik Tentang Tauhid
- Al-Harawi meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa Imam Malik رحمه الله pernah ditanya tentang Ilmu
Tauhid. Jawab beliau: “Sangat tidak mungkin bila ada orang menduga bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasalam mengajari umatnya tentang cara-cara bersuci
tetapi tidak mengajari
masalah tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Nabi صلي الله عليه وسلم, “Saya diperintahkan
untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah (tidak ada
Tuhan selain Allah).”1
Maka sesuatu yang dapat menyelamatkan harta
dan nyawa (darah) maka hal itu adalah tauhid yang sebenarnya.2
- Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari al-Wahid bin Muslim, katanya:
“Saya bertanya kepada Malik رحمه الله, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan al-Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat Allah. Mereka
menjawab: “Jalankanlah (baca dan pahami) seperti apa adanya.”3
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar juga menuturkan, bahwa Imam Malik رحمه
الله pernah ditanya: “Apakah Allah dapat dilihat pada
hari kiamat?” Beliau menjawab: “Ya, dapat dilihat. Karena Allah berfirman
:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا
نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah orang mukmin itu pada hari kiamat
berseri-seri, kepada Tuhannya wajah-wajah itu melihat.” (Al-Qiamah, 22-23)
Dan Allah telah berfirman tentang golongan
lain:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
“Tidak demikian. Mereka (orang-orang kafir)
itu pada hari kiamat benar-benar terhalang hijab (tabir), tak dapat melihat
Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin, 15)
Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan dalam kitab Tartib al-Madarik, II/42, dari
Ibn Nafi’4 dan Asyhab5, keduanya
berkata, “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله-, apakah benar orang-orang yang
mukmin dapat melihat Allah ?”. “Ya, dengan kedua mata ini”, jawab Imam Malik.
Kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Ada sementara orang yang
berkata bahwa Allah itu tidak dapat dilihat. Kata ناظرة dalam ayat itu yang secara
kebahasaan berarti “melihat” maksudnya adalah “menunggu pahala”. Imam Malik
رحمه الله menjawab: “Tidak
benar mereka”. Yang benar adalah Allah dapat dilihat. Apakah kamu tidak membaca
firman Allah tentang Nabi Musa :
رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ
“Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku, agar
dapat melihat-Mu.” (Al-A’raf : 143)
Apakah kamu kira Nabi Musa itu memohon sesuatu
yang mustahil dari Tuhannya? Allah kemudian menjawab:
قَالَ لَنْ تَرَانِي
“Kamu tidak akan dapat melihat Aku.”
(Al-A’raf : 143)
Maksudnya, Nabi Musa tidak dapat melihat Allah
di dunia, karena dunia itu tempat kehancuran, dan tidak mungkin sesuatu yang
kekal dapat dilihat dengan sesuatu yang dapat hancur. Apabila manusia sudah
sampai ke Akhirat (tempat yang kekal), maka mereka dapat melihat sesuatu yang
kekal (Allah) dengan sesuatu yang dikekal-kan (tubuh manusia di
Akhirat).
- Abu Nu’aim juga
menuturkan dari Ja’far bin
Abdillah, katanya: “Kami berada di rumah Malik رحمه
الله bin Anas. Kemudian ada orang yang datang dan
bertanya: “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله- Allah ar-Rahman bersemayam
(istawa) di atas ‘Arsy.
Bagaimana Allah bersemayam?”
Mendengar
pertanyaan itu, Imam Malik رحمه الله marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau
melihat ke tanah sam-bil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau
mengangkat kepala beliau dan melempar kayu tersebut, lalu berkata, “Cara Allah
beristiwa’ tidaklah dapat
dicerna de-ngan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri dapat
dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu
adalah bid’ah. Dan saya kira
kamulah pelaku bid’ah itu.
Ke-mudian Imam Malik رحمه الله menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah
beliau.”6
- Iman Abu Nu’aim
meriwayatkan dari Yahya bin ar-Rabi, katanya: “Saya berada di rumah Malik
رحمه الله, kemudian ada
seorang datang dan bertanya, “Wahai Abdillah -panggilan akrab Imam Malik
رحمه الله- apa pendapat Anda
tentang orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk?”
Imam Malik رحمه
الله menjawab: “Dia itu kafir zindiq, bunuhlah dia.”
Orang tadi bertanya lagi, “Wahai Abdillah, saya hanya sekedar menceritakan
pendapat yang pernah saya dengar.” Imam Malik رحمه
الله menjawab: “Saya tidak pernah mendengar pendapat
itu dari siapa pun. Saya hanya mendengar itu dari kamu.”7
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik رحمه
الله bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa
Al-Qur’an itu makhluk dia
harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.”8
- Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik رحمه الله berkata, ‘Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan)
Allah meliputi setiap tempat.”9
1 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, III/262. Imam Muslim,
I/51. Imam an-Nasa’i, V/14,
dan Imam Abu Daud, III/101
2 Dzam
al-Kalam, lembar 210
3 Ad-Daruquthni. Ash-Shifat, hal. 75. al-Ajiri, asy-Syari’ah, hal. 314. al-Baihaqi,
al-I’tiqad, hal.
118
4 Ada
dua orang yang bernama Ibn Nafi’, dua-duanya meriwayatkan dari Imam Malik. Yang pertama bernama
Abdullah bin Nafi’ bin
Tsabit az-Zubairi (wafat 216 H). Yang kedua adalah Abdullah bin Nafi’ bin Abu Nafi’ al-Makhzumi (wafat 206 H), Tahdzib
at-Tahdzib, VI/50-51
5 Asyhab bin ‘Abd
al-‘Aziz bin Daud al-Qaisi
(wafat 204 H), Ibid, I/359
6 Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, ‘Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, hal.
17-18. Ibn ‘Abd al-Bar,
at-Tam-hid, VII/151, al-Baihaqi, al-‘Asma’ wa
ash-Shifat, hal. 408. Ibn Hajar, Fath al-Bari, xiii/ 406-407
7 Al-Hilyah, VI/325. Al-Lalukai, Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wal Jama’ah, I/249. Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik,
II/44
8 al-Intiqa’,
hal.35
9 Abu
Daud, Masail al-Imam Ahmad, hal.263. Abdullah bin Ahmad, as Sunnah, hal.11 Ibn.
Abd al-Bar, at-Tamhid, VII/138
Pendapat Imam Syafi’i Tentang
Tauhid
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam
Syafi’i رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa yang
bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah عزّوجلّ,
kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah
dengan menyebutkan selain Allah عزّوجلّ, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu,
maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”
Begitu pula apabila ia bersumpah dengan
mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffara. Namun, bersumpah dengan menyebut
selain Allah عزّوجلّ adalah
haram, dan dilarang berdasarkan Hadits
Nabi صلي الله
عليه وسلم, “Sesungguhnya Allah عزّوجلّ melarang kami untuk bersumpah
dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka
bersumpahlah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, atau lebih baik diam saja.”
1
Imam Syafi’i رحمه
الله beralasan bahwa asma’-asma’ Allah عزّوجلّ itu bukan makhluk, karenanya
siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah عزّوجلّ,
kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.2
- Imam Ibn al-Qayyim رحمه الله menuturkan dalam kitabnya Ijtima’
al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i رحمه
الله, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah
yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat
dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah
iqrar seraya bersaksi bahwa
tidak ada tuhan selain Allah عزّوجلّ, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah عزّوجلّ, serta bersaksi bahwa Allah
عزّوجلّ di atas 'Arsy di
langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ itu turun ke langit terdekat
kapan saja Allah عزّوجلّ
berkehendak.” 3
- Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani رحمه الله, katanya: “Apabila ada orang
yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam
hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i رحمه الله.”
Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan
beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek
yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang
tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya
yang ada pada diri Anda?
Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya:
“Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini
adalah tempat di mana Allah عزّوجلّ menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم pernah menyuruh
bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para
sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”,
jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak
tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya,
kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak
tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu,
ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu
Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.
Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang
masalah wudhu’, ternyata
jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah,
ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata:
“Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi
kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah عزّوجلّ ketika hal itu berbisik dalam
hatimu. Kembali saja kepada firman Allah عزّوجلّ :
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu.
Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)
“Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i رحمه
الله, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas
kekuasaan Allah عزّوجلّ, dan
janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat
dicapai oleh akalmu.” 4
- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya: “Apabila kamu mendengar ada
orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu
itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir
zindiq”
- Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i
رحمه الله berkata: “Segala
puji bagi Allah عزّوجلّ yang
memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang
disifati oleh makhluk-Nya.”
- Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar
A’lam an Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i رحمه
الله, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah
عزّوجلّ ini sebagaimana
disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلي الله عليه
وسلم, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya), sebagaimana
Allah عزّوجلّ juga
meniadakan tasybih itu dalam
firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.”
(Asy-Syura : 11)5
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه
الله berkata tentang firman Allah عزّوجلّ :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada
hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan
mereka.” (al-Muthaffifin : 15)
“Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari
Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah
عزّوجلّ dengan jelas.”
6
- Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam
Syafi’i رحمه الله, ketika itu ada sebuah
pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah
عزّوجلّ dalam surat
al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka
pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.”
Imam Syafi’i رحمه
الله menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat
melihat Allah عزّوجلّ karena
dimurkai Allah عزّوجلّ, maka
ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah عزّوجلّ akan dapat melihat-Nya.”
Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat
seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada
Allah عزّوجلّ”, begitu jawab
Imam Syafi’i رحمه الله.7
- Imam Ibn ‘Abdil
Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i رحمه
الله ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin
Isma’il bin Ulayah. Kemudian
Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Saya berbeda pendapat
dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah
عزّوجلّ”. Saya tidak
berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa secara
langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa, Allah
عزّوجلّ menciptakan
ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung
(ada penghalang).” 8
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه
الله mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa
al-Qur’an itu makhluk, maka
dia telah menjadi kafir.”9
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya,
ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه
الله, “Benarkah al-Qur’an itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab
beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam
Syafi’i رحمه الله. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi
“Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله.
Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa
al-Qur’an itu bukan
makhluk?”. Imam Syafi’i
رحمه الله kemudian
mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa
al-Qur’an itu Kalam Allah
عزّوجلّ?”. “Ya, mau”, kata
orang tadi. Kemudian Imam Syafi’i رحمه الله
berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika di antara orang-orang musyrik itu
meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat
mendengar Kalam Allah عزّوجلّ.” (At-Taubah : 6)
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah عزّوجلّ telah berbicara dengan Musa
secara langsung.” (An-Nisa’ : 164)
Imam Syafi’i رحمه
الله kemudian berkata lagi kepada orang tersebut:
“Maukah kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah عزّوجلّ itu ada, sedangkan Kalam-Nya
belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah عزّوجلّ ada, begitu pula Kalam-Nya.”
Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i رحمه
الله tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang
Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui
bahwa Allah عزّوجلّ itu ada
sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya
pendapat bahwa Kalam itu Allah عزّوجلّ atau bukan Allah عزّوجلّ?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i رحمه
الله itu, orang tadi terdiam, kemudian
keluar.10
- Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang
disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i رحمه الله
dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
“Imam Syafi’i رحمه
الله pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah
عزّوجلّ, dan hal-hal yang
perlu diimani, jawab beliau, “Allah عزّوجلّ Tabaraka wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat
yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh
menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah).
Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka
kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh
hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya
itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah عزّوجلّ itu tidak mungkin dilakukan oleh
akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah
عزّوجلّ. Bahwa Allah
عزّوجلّ itu mendengar, Allah
عزّوجلّ mempunyai dua
tangan:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Tetapi kedua tangan Allah عزّوجلّ itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)
Dan Allah عزّوجلّ itu mempunyai tangan kanan:
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ
“Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah
عزّوجلّ”. (az-Zumar: 67)
Dan Allah عزّوجلّ juga punya wajah:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا
وَجْهَهُ
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah
Allah عزّوجلّ.” (al-Qashash : 88)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27)
Allah عزّوجلّ juga mempunyai telapak kaki, ini
berdasarkan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :
حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا
قَدْمَهُ
“Sehingga Allah عزّوجلّ meletakkan telapak kaki-Nya di
Jahanam.”11
Allah عزّوجلّ tertawa terhadap hamba-hamba-Nya
yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah صلي الله
عليه وسلم kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi
sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah
عزّوجلّ, dan Allah
عزّوجلّ tertawa kepadanya.”
12
Allah عزّوجلّ turun setiap malam ke langit yang
terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم tentang hal itu. Mata
Allah عزّوجلّ tidak pecak
sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad صلي الله
عليه وسلم yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak
mata-Nya.” 13
Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah
عزّوجلّ pada hari kiamat
dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah
عزّوجلّ juga punya
jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi صلي الله عليه
وسلم :
مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ
الرَّحْمَنِ
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di
antara jari-jari Allah ar-Rahman.” 14
Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah
عزّوجلّ telah mensifati
diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui
hakikatnya oleh akal dan fikiran.
Orang yang tidak mendengar keterangan tentang
hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara
langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan
sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya, sebagaimana
juga Allah عزّوجلّ tidak
menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)15
1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih
Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafi’i, I/405
2 Ibn
Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i,
hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28
3 kk
4 Siyar A’lam
an-Nubala’,
X/31
5 Siyar A’lam an
Nubula’, XX/341
6 al-Intiqa’,
hal.79
7 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sunnah, II/506
8 al-Intiqa’,
hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, I/35
9 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/252
10 Manaqib asy-Syafi’i, I/407-408
11 Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab
Al-Jannah, IV/2187
12 Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab
al-Imarat, III/1504
13 Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab
al-Fitan, IV/2248
14 Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah,
I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syari’ah hal. 317. Ibn Mandah,
ar-Radd.
15 Aqidah Imam Syafi’i رحمه الله ini
dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas
Leiden, Belanda.
Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid
- Di
dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya tentang
tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada
Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.”1
- Di
dalam kitab al-Mihnah
terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه
الله berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman.
Al-Qur’an adalah
firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan
sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.”2
- Imam Abu Ya’la
meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin
Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat
Allah, Isra’, dan kisah
‘Arsy, yang ditolak oleh
kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau,
hadits-hadits tersebut shahih, dan
beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan
jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.”3
- Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang
berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita
meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.”4
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad
رحمه الله tentang
ru’yah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban
beliau: “Hadits-Hadits mengenai ru’yah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits
yang diriwayatkan dari Nabiصلي الله عليه
وسلم dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya
dan menetapkan keshahihannya.”5
- Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin
Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad
رحمه الله berkata:
“Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati
diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk
mensifati diri-Nya sendiri.”6
- Di
dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad رحمه الله, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang
yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati
diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi
صلي الله عليه وسلم, maka
orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya).”7
- Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Dar’u
Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad رحمه الله: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan
seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh
seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah
sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya
sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.”8
- Imam Abi Ya’la
juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه
الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat
bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan
mendustakan Al-Qur’an.”9
- Imam Ibnu Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, saya pernah bertanya
kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah
berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya
berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai
apa adanya.”10
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya
mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan
janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Kalamullah
itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut
makhluk.”11
1 Thabaqat al-Hanabilah, I/416
2 as-Sunnah, hal. 68
3 Thabaqat al-Hanabilah, I/56
4 as-Sunnah, hal. 71
5 Syarah I’tiqad
Ahl as-Sunnah, II/507
6 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221
7 ar-Radd ‘ala
al-Jahmiyyah, hal. 104
8 Dar’u
Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30
9 Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145
10 Ibid, I/185
11 Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/157