الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين

أهلا وسهلا بكم

إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"



اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور

اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله


اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب

يارب يارب يارب

    KEMASKINI

    _

    _
    ALLAHUMMA YA ALLAH BERIKANLAH KEJAYAAN DUNIA AKHIRAT PADAKU , AHLI KELUARGAKU DAN SEMUA YANG MEMBACA KARYA-KARYA YANG KUTULIS KERANA-MU AAMIIN YA RABBAL A'LAMIIN “Ya Allah, maafkanlah kesalahan kami, ampunkanlah dosa-dosa kami. Dosa-dosa kedua ibu bapa kami, saudara-saudara kami serta sahabat-sahabat kami. Dan Engkau kurniakanlah rahmatMu kepada seluruh hamba-hambaMu. Ya Allah, dengan rendah diri dan rasa hina yang sangat tinggi. Lindungilah kami dari kesesatan kejahilan yang nyata mahupun yang terselindung. Sesungguhnya tiadalah sebaik-baik perlindung selain Engkau. Jauhkanlah kami dari syirik dan kekaguman kepada diri sendiri. Hindarkanlah kami dari kata-kata yang dusta. Sesungguhnya Engkaulah yang maha berkuasa di atas setiap sesuatu.”

    Ihya Ramadhan (14) 1436 H : Aqidah Imam Empat ( Terjemahan ) berkenaan Tauhid

    Aqidah Imam Empat, Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh al-Quran dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabiin. Tidak ada perbedaan di
    antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa al-Quran itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

    Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.

    Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat, al-Quran adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.1

    Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Quran itu kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabiin, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Saad, Imam al-Auzai, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Ahmad.2
    Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafii. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafii dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auzai, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhail bin Iyadh, Imam Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, Aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar, dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan Tabiin, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Quran dan as-Sunnah.3

    Aqidah inilah yang dipilih oleh al-Allamah Shidiq Hasan Khan, di mana beliau berkata: “Madzhab kami adalah madzhab ulama salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa tathil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Madzhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafii, Imam ats-Tsauri, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah ushuluddin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam di atas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Quran dan as-Sunnah.” 4



    1 Kitab al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thibaah al-Muhammadiyah, Taliq Muhammad al-Harras
    2 Manhaj as-Sunnah, II/106
    3 Majmu al-Fatawa, V/256

    4 Qathf ats-Tsamar, hal.47-48


    1. Tauhid

    Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid
    Pertama :
    Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syari serta kebatilan tawassul bidi.
    • Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali dengan asma Allah. Adapun doa yang diizinkan dan diperintahkan adalah keterangan yang terambil dari firman Allah :
    وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asmaul-husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan
    menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Araf:180)1
    • Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdoa dengan mengatakan; saya mohon kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabi-Mu, atau berdasarkan hak al-Bait al-Haram dan al-Masyar al-Haram.2
    • Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan menyebut asma Allah. Dan saya tidak suka bila ada orang berdoa seraya menyebutkan dengan sifat-sifat kemuliaan pada arsy-Mu3 , atau dengan menyebutkan dengan hak makhluq-Mu.4

    Kedua :
    Pendapat Imam Abu Hanifah رحمه الله tantang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.
    • Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah murka dan ridha. Namun tidak dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu pahala-Nya.
    Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah makhluknya.”5
    • Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah, dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam Al-Quran. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan, dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mutazilah.”6
    • Imam Abu Hanifah رحمه الله juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk bebicara tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul Alamin.7
    • Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah رحمه الله menjawab,“Allah itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunnya makhluk.”8
    • Beliau juga berkata: “Dalam berdoa kepada Allah, kita memanjatkan doa ke atas, bukan ke bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun.9
    • Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.”10
    • Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.11
    • Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya) makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.”12
    • Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.”13
    • Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.”14
    • Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan filiyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ilm (mengetahui) sama (mendengar), basher (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat filiyah Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma-asma, dan sifat-sifat-Nya.”15
    • Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah Allah yang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk dan perbuatan Allah bukanlah makhluk.”16
    • Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit atau di bumi, maka orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas Arsy. Tetapi saya tidak tahu arsy itu di langit atau di bumi.”17
    • Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan Anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman وَهُوَ مَعَكُمْ (Allah itu bersama kamu)?”18 Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”19
    • Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul, tangan Allah itu tidak sama dengan tangan makhluk.”20
    • Beliau juga berkata: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, “Allah itu bersamamu.”21 Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”22
    • Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman kepada Nabi Musa alaihis salam.”23
    • Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.”24
    • Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak seperti berbicaranya kita.”25
    • Kata beliau: “Nabi Musa alaihis salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Allah26: “ وكلم الله موسى تكليما ” (Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa). Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada Nabi Musa saja.”27
    • Beliau berkata: “al-Quran itu kalam Allah, tertulis dalam mushhaf dan tersimpan (terjaga) di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.”28
    • Kata beliau lagi: “Al-Quran itu bukan makhluk.”29


    1 ad-Durr al-Mukhtar maa Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/ 396-397
    2 Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/ 285, Syarah al-Fiqh al-Akbar, hal.108
    3 Imam Abu Hanifah رحمه الله dan Imam Muhammad bin Hasan tidak suka apabila seseorang berdoa dengan menyebutkan, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari arsy-Mu.” Karena doa seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang membolehkan.
    Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan doa seperti itu, karena menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdoa, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di arsy-Mu dan puncak rahmat dari kitab-Mu.”
    Hadits ini ditulis Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, ad-Da-wat al-Kabirah, ditulis dalam kitab al-Binayah, IX/ 382, dan kitab Nasb ar-Rayah, IV/ 272. Di sanadnya terdapat 3 hal yang dapat menyacatkan hadits :
    1. Daud bin Abu Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Masud.
    2. Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
    3. Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnu al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, al-Binayah, IX/ 382, bahwa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III/198, VI/405, VII/501 Tarqib at-Tadhzib, I/520
    4 at-Tawassul wa al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 198
    5 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
    6 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
    7 Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, II/ 427, Editor Dr. At-Turki, Jala al-Ainain, hal. 368
    8 Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits, hal. 42, Dar as-Salafiyah. Al-Baihaqi, al-Asma wa as-Sifat, hal. 456, Syarh al-Aqidah ath Thahawiyah,hal. 245. Takhrij al-Albani. al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 60
    9 al-Fiqh al-Absath, hal. 51
    10 Ibid, hal. 56
    11 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
    12 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
    13 al-Fiqh al- Absath, hal. 56
    14 al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan komentar al-Albani, hal. 25
    15 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
    16 Ibid
    17 al-Fiqh al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu al-Fatawa, V/ 48. Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 139. Adz-Dzahabi dalam al-Uluw, hal. 101-102. Ibnu Qadamah dalam al-Uluw, hal, 116. Dan Ibnu Abi al-Izz dalam Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah. Hal. 301
    18 Surah al-Hadid, ayat 4
    19 al-Asma wa ash Shifat, hal. 429
    20 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
    21 Surah al-Hadid, ayat 4
    22 al-Asma ash shifat, II/ 170
    23 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
    24 Ibid, hal. 301
    25 Ibid, hal. 302
    26 Surah an-Nisa , ayat 164
    27 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
    28 Ibid, hal. 301
    29 Ibid



    Pendapat Imam Malik Tentang Tauhid
    • Al-Harawi meriwayatkan dari Imam Syafii bahwa Imam Malik رحمه الله pernah ditanya tentang Ilmu Tauhid. Jawab beliau: “Sangat tidak mungkin bila ada orang menduga bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam mengajari umatnya tentang cara-cara bersuci
      tetapi tidak mengajari masalah tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Nabi
      صلي الله عليه وسلم, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).”1
    Maka sesuatu yang dapat menyelamatkan harta dan nyawa (darah) maka hal itu adalah tauhid yang sebenarnya.2
    • Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari al-Wahid bin Muslim, katanya: “Saya bertanya kepada Malik رحمه الله, ats-Tsauri, al-Auzai, dan al-Laits bin Saad tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: “Jalankanlah (baca dan pahami) seperti apa adanya.”3
    • Imam Ibn Abdil Bar juga menuturkan, bahwa Imam Malik رحمه الله pernah ditanya: “Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?” Beliau menjawab: “Ya, dapat dilihat. Karena Allah berfirman :
    وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

    “Wajah-wajah orang mukmin itu pada hari kiamat berseri-seri, kepada Tuhannya wajah-wajah itu melihat.” (Al-Qiamah, 22-23)
    Dan Allah telah berfirman tentang golongan lain:

    كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

    “Tidak demikian. Mereka (orang-orang kafir) itu pada hari kiamat benar-benar terhalang hijab (tabir), tak dapat melihat Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin, 15)
    Qadhi Iyadh juga menuturkan dalam kitab Tartib al-Madarik, II/42, dari Ibn Nafi4 dan Asyhab5, keduanya berkata, “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله-, apakah benar orang-orang yang mukmin dapat melihat Allah ?”. “Ya, dengan kedua mata ini”, jawab Imam Malik. Kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Ada sementara orang yang berkata bahwa Allah itu tidak dapat dilihat. Kata ناظرة dalam ayat itu yang secara kebahasaan berarti “melihat” maksudnya adalah “menunggu pahala”. Imam Malik رحمه الله menjawab: “Tidak benar mereka”. Yang benar adalah Allah dapat dilihat. Apakah kamu tidak membaca firman Allah tentang Nabi Musa :

    رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ

    “Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku, agar dapat melihat-Mu.” (Al-Araf : 143)
    Apakah kamu kira Nabi Musa itu memohon sesuatu yang mustahil dari Tuhannya? Allah kemudian menjawab:

    قَالَ لَنْ تَرَانِي

    “Kamu tidak akan dapat melihat Aku.” (Al-Araf : 143)
    Maksudnya, Nabi Musa tidak dapat melihat Allah di dunia, karena dunia itu tempat kehancuran, dan tidak mungkin sesuatu yang kekal dapat dilihat dengan sesuatu yang dapat hancur. Apabila manusia sudah sampai ke Akhirat (tempat yang kekal), maka mereka dapat melihat sesuatu yang kekal (Allah) dengan sesuatu yang dikekal-kan (tubuh manusia di Akhirat).
    • Abu Nuaim juga menuturkan dari Jafar bin Abdillah, katanya: “Kami berada di rumah Malik رحمه الله bin Anas. Kemudian ada orang yang datang dan bertanya: “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله- Allah ar-Rahman bersemayam (istawa) di atas Arsy. Bagaimana Allah bersemayam?”


    Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik رحمه الله marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sam-bil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepala beliau dan melempar kayu tersebut, lalu berkata, “Cara Allah beristiwa tidaklah dapat dicerna de-ngan akal, sedangkan istiwa (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bidah. Dan saya kira kamulah pelaku bidah itu. Ke-mudian Imam Malik رحمه الله menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.”6
    • Iman Abu Nuaim meriwayatkan dari Yahya bin ar-Rabi, katanya: “Saya berada di rumah Malik رحمه الله, kemudian ada seorang datang dan bertanya, “Wahai Abdillah -panggilan akrab Imam Malik رحمه الله- apa pendapat Anda tentang orang yang menyatakan bahwa al-Quran itu makhluk?”
    Imam Malik رحمه الله menjawab: “Dia itu kafir zindiq, bunuhlah dia.” Orang tadi bertanya lagi, “Wahai Abdillah, saya hanya sekedar menceritakan pendapat yang pernah saya dengar.” Imam Malik رحمه الله menjawab: “Saya tidak pernah mendengar pendapat itu dari siapa pun. Saya hanya mendengar itu dari kamu.”7
    • Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya: “Imam Malik رحمه الله bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluk dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.”8
    • Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya: “Imam Malik رحمه الله berkata, Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat.”9


    1 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, III/262. Imam Muslim, I/51. Imam an-Nasai, V/14, dan Imam Abu Daud, III/101
    2 Dzam al-Kalam, lembar 210
    3 Ad-Daruquthni. Ash-Shifat, hal. 75. al-Ajiri, asy-Syariah, hal. 314. al-Baihaqi, al-Itiqad, hal. 118
    4 Ada dua orang yang bernama Ibn Nafi, dua-duanya meriwayatkan dari Imam Malik. Yang pertama bernama Abdullah bin Nafi bin Tsabit az-Zubairi (wafat 216 H). Yang kedua adalah Abdullah bin Nafi bin Abu Nafi al-Makhzumi (wafat 206 H), Tahdzib at-Tahdzib, VI/50-51
    5 Asyhab bin Abd al-Aziz bin Daud al-Qaisi (wafat 204 H), Ibid, I/359
    6 Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, hal. 17-18. Ibn Abd al-Bar, at-Tam-hid, VII/151, al-Baihaqi, al-Asma wa ash-Shifat, hal. 408. Ibn Hajar, Fath al-Bari, xiii/ 406-407
    7 Al-Hilyah, VI/325. Al-Lalukai, Syarh Ushul Itiqad Ahl as-Sunnah wal Jamaah, I/249. Al-Qadhi Iyadh, Tartib al-Madarik, II/44
    8 al-Intiqa, hal.35

    9 Abu Daud, Masail al-Imam Ahmad, hal.263. Abdullah bin Ahmad, as Sunnah, hal.11 Ibn. Abd al-Bar, at-Tamhid, VII/138


    Pendapat Imam Syafi’i Tentang Tauhid
    • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafii رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma Allah عزّوجلّ, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebutkan selain Allah عزّوجلّ, misalnya, “Demi Kabah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”
    Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffara. Namun, bersumpah dengan menyebut selain Allah عزّوجلّ adalah haram, dan dilarang berdasarkan Hadits
    Nabi صلي الله عليه وسلم, “Sesungguhnya Allah عزّوجلّ melarang kami untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, atau lebih baik diam saja.” 1
    Imam Syafii رحمه الله beralasan bahwa asma-asma Allah عزّوجلّ itu bukan makhluk, karenanya siapa yang bersumpah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.2
    • Imam Ibn al-Qayyim رحمه الله menuturkan dalam kitabnya Ijtima al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafii رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah عزّوجلّ, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah عزّوجلّ, serta bersaksi bahwa Allah عزّوجلّ di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah عزّوجلّ berkehendak.” 3
    • Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani رحمه الله, katanya: “Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafii رحمه الله.”
    Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya yang ada pada diri Anda?
    Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya: “Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini adalah tempat di mana Allah عزّوجلّ menenggelamkan Firaun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya, kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.
    Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang masalah wudhu, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah عزّوجلّ ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah عزّوجلّ :

    وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

    “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu. Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)
    “Karenanya”, lanjut Imam Syafii رحمه الله, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah عزّوجلّ, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.” 4
    • Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul Ala, katanya: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq”
    • Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafii رحمه الله berkata: “Segala puji bagi Allah عزّوجلّ yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”
    • Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar Alam an Nubala menuturkan dari Imam Syafii رحمه الله, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah عزّوجلّ ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah عزّوجلّ juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

    “Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura : 11)5
    • Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafii رحمه الله berkata tentang firman Allah عزّوجلّ :
    كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

    “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin : 15)
    “Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah عزّوجلّ dengan jelas.” 6
    • Imam al-Lalakai menuturkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam Syafii رحمه الله, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah عزّوجلّ dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.”
    Imam Syafii رحمه الله menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat melihat Allah عزّوجلّ karena dimurkai Allah عزّوجلّ, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah عزّوجلّ akan dapat melihat-Nya.”
    Ar-Rabi lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah عزّوجلّ”, begitu jawab Imam Syafii رحمه الله.7
    • Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafii رحمه الله ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Ismail bin Ulayah. Kemudian Imam Syafii رحمه الله berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah عزّوجلّ”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa, Allah عزّوجلّ menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).” 8
    • Imam al-Lalakai meriwayatkan dari ar Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafii رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.”9
    • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafii رحمه الله, “Benarkah al-Quran itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Quran itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafii رحمه الله. “Apakah al-Quran itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafii رحمه الله
      Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Quran itu bukan makhluk?”. Imam Syafii رحمه الله kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Quran itu Kalam Allah عزّوجلّ?”. “Ya, mau”, kata orang tadi. Kemudian Imam Syafii رحمه الله berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:
    وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ

    “Dan jika di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah عزّوجلّ.” (At-Taubah : 6)

    وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

    “Dan Allah عزّوجلّ telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (An-Nisa : 164)
    Imam Syafii رحمه الله kemudian berkata lagi kepada orang tersebut: “Maukah kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah عزّوجلّ itu ada, sedangkan Kalam-Nya belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah عزّوجلّ ada, begitu pula Kalam-Nya.” 

    Mendengar jawaban itu Imam Syafii رحمه الله tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah عزّوجلّ atau bukan Allah عزّوجلّ?”. Mendengar penegasan Imam Syafii رحمه الله itu, orang tadi terdiam, kemudian keluar.10
    • Dalam kitab Juz al-Itiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafii رحمه الله dari riwayat Abu Thalib al-Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
    “Imam Syafii رحمه الله pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah عزّوجلّ, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau, “Allah عزّوجلّ Tabaraka wa Taala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah عزّوجلّ itu tidak mungkin dilakukan oleh akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah عزّوجلّ. Bahwa Allah عزّوجلّ itu mendengar, Allah عزّوجلّ mempunyai dua tangan:

    بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

    “Tetapi kedua tangan Allah عزّوجلّ itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)
    Dan Allah عزّوجلّ itu mempunyai tangan kanan:

    وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ

    “Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah عزّوجلّ”. (az-Zumar: 67)
    Dan Allah عزّوجلّ juga punya wajah:

    كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

    “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah عزّوجلّ.” (al-Qashash : 88)

    وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

    “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27)
    Allah عزّوجلّ juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :

    حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا قَدْمَهُ

    “Sehingga Allah عزّوجلّ meletakkan telapak kaki-Nya di Jahanam.”11
    Allah عزّوجلّ tertawa terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ tertawa kepadanya.” 12
    Allah عزّوجلّ turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم tentang hal itu. Mata Allah عزّوجلّ tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak mata-Nya.” 13
    Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah عزّوجلّ pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah عزّوجلّ juga punya jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi صلي الله عليه وسلم :
    مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ
    “Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah ar-Rahman.” 14
    Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah عزّوجلّ telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan fikiran.
    Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah عزّوجلّ tidak menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman :
    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)15


    1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafii, I/405
    2 Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafii, hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28
    3 kk
    4 Siyar Alam an-Nubala, X/31
    5 Siyar Alam an Nubula, XX/341
    6 al-Intiqa, hal.79
    7 Syarh Ushul Itiqad Ahl as Sunnah, II/506
    8 al-Intiqa, hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafii, I/35
    9 Syarh Ushul Itiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, I/252
    10 Manaqib asy-Syafii, I/407-408
    11 Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab Al-Jannah, IV/2187
    12 Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab al-Imarat, III/1504
    13 Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab al-Fitan, IV/2248
    14 Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah, I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syariah hal. 317. Ibn Mandah, ar-Radd.

    15 Aqidah Imam Syafii رحمه الله ini dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas Leiden, Belanda.


    Pendapat ImamAhmad Tentang Tauhid
    • Di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya tentang tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.”1
    • Di dalam kitab al-Mihnah terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman. Al-Quran adalah firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.”2
    • Imam Abu Yala meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat Allah, Isra, dan kisah Arsy, yang ditolak oleh kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau,
      hadits-hadits tersebut shahih, dan beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.”
      3
    • Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.”4
    • Imam al-Lalakai meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad رحمه الله tentang ruyah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban beliau: “Hadits-Hadits mengenai ruyah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dari Nabiصلي الله عليه وسلم dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya dan menetapkan keshahihannya.”5
    • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri.”6
    • Di dalam kitab ar-Radd ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad رحمه الله, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, maka orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).”7
    • Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Daru Taarud al-Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad رحمه الله: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.”8
    • Imam Abi Yala juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan mendustakan Al-Quran.”9
    • Imam Ibnu Abi Yala juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai apa adanya.”10
    • Imam al-Lalakai meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Quran adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Quran itu bukan makhluk, karena Kalamullah itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut makhluk.”11


    1 Thabaqat al-Hanabilah, I/416
    2 as-Sunnah, hal. 68
    3 Thabaqat al-Hanabilah, I/56
    4 as-Sunnah, hal. 71
    5 Syarah Itiqad Ahl as-Sunnah, II/507
    6 Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221
    7 ar-Radd ala al-Jahmiyyah, hal. 104
    8 Daru Taarudh al-Aql wa an-Naql, II/30
    9 Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145
    10 Ibid, I/185

    11 Syarh Ushul Itiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, I/157

    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

    SOLIDARITI MENERUSKAN PERJUANGAN

    INI ZAMANNYA