Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. Al-taubah [9]: (65-66).
Diriwayatkan dalam tafsir At-Thabari, dari Ibnu Umar bahawa sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan orang munafik pada waktu perang tabuk, di mana ia berkata pada suatu majlis, “kami belum pernah melihat orang yang seperti para qari [penghafaz Al-Qur’an] kami, mereka suka makan, suka berdusta dan pengecut saat bertemu musuh”. Dan hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. maka turunlah ayat mengenai perbuatan kaum munafik ini yang sebenarnya tidak ada iman dalam hati mereka.
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahawa meskipun orang munafik itu mengatakan bahawa mereka hanya sekadar bergurau dan bermain-main saja dengan memperolok-olok kaum muslimin, tetapi mereka telah kafir kerana memperolok-olok Allah, ayat-ayat Nya dan Rasul Nya.
Ayat ini juga menunjukkan bahawa seseorang itu bisa menjadi kafir akibat perkataan yang dikatakannya atau amalan kecil yang dia lakukan tanpa ia sedari sehingga segala amal yang ia lakukan menjadi sia-sia. Allah SWT. berfirman:
Supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat [49]: 2).
Dalam ayat lain Allah SWT. menjelaskan:
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali kerana Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan kurnia Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, nescaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS. al-Taubah [9]: 74).
Maka menghina, memperolok-olokkan hukum dan ajaran Islam serta menghina dan melecehkan ulama dan orang-orang soleh yang teguh menjalankan ajaran Islam termasuk di antara perkara yang membatalkan keimanan seseorang yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam meskipun ia tidak mengakuinya.
Dan dari ayat di atas kita juga dapat mengetahui bahawa di antara sifat-sifat orang munafik adalah selalu berusaha merendahkan dan menjelek-jelekkan ajaran dan hukum Islam, menghina para ulama dan orang-orang sholeh.
Sebagai seorang mukmin yang mengaku beriman kepada Allah SWT. kita harus menjaga syahadat (persaksian kita) dengan mengetahui dan menjauhi hal-hal yang dapat membatalkan keimanan kita (nawaqidh al-iman).
Dan ketika kita duduk atau bersama orang-orang yang merendahkan dan menjelek-jelekkan agama dan hukum Allah itu, hendaklah kita meninggalkan majlis itu agar kita tidak termasuk ke dalam golongan mereka. Allah SWT. berfirman:
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Kerana sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS. Al-Nisa` [4]: 140).
Imam an-Nawawi, dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Quran, menyatakan:
Para ulama telah sepakat tentang kewajiban menjaga mushaf al-Quran dan memuliakan-nya. Para ulama Mazhab Syafii berkata, “Jika ada seorang Muslim melemparkan al-Quran ke tempat kotor maka dihukumi kafir (murtad).” Mereka juga berkata, “Haram menjadikan al-Quran sebagai bantal. Bukan hanya itu, bahkan para ulama telah mengharamkan menjadikan kitab-kitab yang penuh dengan ilmu sebagai bantal atau tempat bersandar.” Dalam rangka memuliakan al-Quran disunnahkan jika kita melihat al-Quran untuk berdiri, karena berdiri untuk menghormati ulama dan orang-orang terhormat adalah sunnah, apalagi menghormati al-Quran.
Diriwayatkan dari Ibn Abi Malikah bahwa Ikrimah bin Abi Jahal pernah meletakan al-Quran di depan wajahnya, seraya berkata, “Wahai kitab Tuhanku, wahai kitab Tuhanku.”
Maka penyebab kekufuran (murtad) bagi seorang Muslim adalah mencaci-maki dan menghinakan perkara yang diagungkan dalam agama, mencaci-maki Rasulullah saw, mencaci-maki malaikat serta menistakan mushaf al-Quran dan melemparkannya ke tempat yang kotor. Semua itu termasuk penyebab kekufuran (murtad).
Al-Qadhi Iyadh pernah berkata, “Ketahuilah bahwa siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli Ilmu.” (Asy-Syifa, II/1101).
Dalam kitab Asna al-Mathalib dinyatakan, mazhab Syafi'i telah menegaskan bahawa orang yang sengaja menghina, baik secara perbuatan, lisan mahupun dalam hati, kitab suci al-Quran atau hadis Nabi saw. dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, maka dihukumi murtad.
Dalam kitab Al-Fatawa al-Hindiyyah, mazhab Hanafi menyatakan, bahawa jika seseorang menginjakkan kakinya ke mushaf, dengan maksud menghinanya, maka dinyatakan murtad (kafir).
Dalam Hasyiyah al-‘Adawi, mazhab Maliki menyatakan, meletakkan mushaf di tanah dengan tujuan menghina al-Quran dinyatakan murtad.
Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah dinyatakan, ulama telah sepakat bahawa siapa saja yang menghina al-Quran, mushaf, satu bahagian dari mushaf, atau mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan satu saja hukum atau keterangan yang dinyatakannya, atau meragukan isinya, atau berusaha melecehkannya dengan tindakan tertentu, seperti melemparkannya di tempat-tempat kotor, maka dinyatakan kafir (murtad).
Rasulullah saw. bersabda:
Imam (khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai tempat berlindung.
(Riwayat Muslim)