الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين
أهلا وسهلا بكم
إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"
اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور
اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله
اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب
يارب يارب يارب
KEMASKINI
_
Ihya Ramadhan (6) : MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIK
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
RIFQON AHLASSUNNAH BI AHLISSUNNAH [Menyikapi Fenomena
TAHDZIR & HAJR]
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam
kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”
Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika
menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i
menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata
hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak
akan membawa mudharat, maka silahkan dia
berbicara. Akan tetapi, jika
diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa
mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama
berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang
mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada
berbicara”.
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya
Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya
lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang
menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang
paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya
senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.
Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal
seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia
perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya
satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali
orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara
diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan
yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah
terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara
maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak
sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.
Halaman
1/2
Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal
berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan
bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat
bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia
akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya.
Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang
tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya
no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan
suatu perkataan yang tidak dipikirkan
apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang
dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”
Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi
wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang
sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut
Rasulullah bersabda.
“Artinya : Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke
dalam neraka selain buah lisannya ?”
Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas
pertanyaan Mu’adz.
“Artinya : Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab
atas apa yang kita katakan ?”
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab
Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah
balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap
orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan
perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan
menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari
ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya,
barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka
kelak akan menuai penyesalan”.
Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal
ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan
senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa
yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai,
mengontrol dan mengatur semua urusannya”.
Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin
Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering
saya dapati baik amalan-amalannya”.
[Disalin dari buku Rifqon
Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 22-41, Terbitan Titian Hidayah
Ilahi] _________
Foote Note
[3] Tetapi lafaz hadits tersebut adalah yang terdapat dalam
riwayat muslim