ضَرَبَ اللَّـهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ
كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا
فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّـهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا
النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِي
Allah menjadikan isteri Nuh
dan isteri Luth menjadi perumpamaan bagi orang-orang yang ingkar.
Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang soleh di antara
hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri
itu berkhidmat kepada kedua
suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit
pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya).” Masuklah ke
neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”
(At-Tahrim: 10)
Dalam perjalanan hidup
seorang nabi, apabila ia mendapati kebenaran yang datang dari Allah,
keluarga terdekatnyalah yang terutama mesti ia seru terlebih dahulu.
Orang yang paling dekat dengannya tentu saja memperoleh kesempatan
paling besar untuk menerima seruannya. Akan tetapi, tidak demikian
halnya dengan isteri Nuh dan anaknya. Meskipun keduanya adalah
orang-orang yang paling dekat dengan beliau, mereka termasuk golongan
yang ingkar akan kebenaran Allah dengan enggan beriman.
Begitu pula wanita yang
satu ini, isteri salah seorang dari nabi Allah, yakni isteri Luth as.
Luth adalah seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada kaumnya
di Sadom, sebuah negeri besar yang mempunyai banyak kota, sedangkan
penduduknya tenggelam dalam arus kemaksiatan. Rakyat Negeri Sadom ketika
itu berserikat dan bahu-membahu dalam perbuatan dosa yang mengaibkan.
Nabi Luth diperintahkan
oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya itu, termasuk
kepada isterinya sendiri.
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ الْعَالَمِي
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
Berkata Nabi Luth kepada mereka seraya
mengingatkan: “Mengapa kamu melakukan perbuatan tercela itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini sebelummu? Kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita. Bahkan
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 80-81)
Memang, kaum Nabi Luth
ketika itu berada pada tingkat kebinatangan yang paling rendah,
kebejatan akhlak yang paling parah, dan tidak ada manusia seburuk mereka
sebelumnya. Mendengar seruan Nabi Luth, seruan seorang nabi Allah yang
juga pernah didengar oleh kaum-kaum lain sebelum mereka, rakyat Negeri
Sadom merasa terusik kesenangannya. Mereka tidak tinggal diam setelah
mendengar seruan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth. Mereka terus
berfikir, mencari jalan bagaimana agar Nabi Luth tidak dapat
mengumandangkan seruannya kembali. Ketika, mereka tengah duduk berfikir,
tiba-tiba datang seorang perempuan tua menghampiri mereka. Sebenarnya,
sudah lama perempuan tua itu mendengar rencana kaum Luth itu, dan ia
tersenyum bangga mendengar rencana itu.
“Akan kutunjukkan kepada
kalian, suatu lubang yang dapat menghalangi seruan Luth,” ujar
perempuan tua itu dengan wajah penuh keyakinan. “Lubang yang mana itu?”
tanya mereka dengan keinginan yang penuh harap.
“Tidak akan kukatakan hal itu, kecuali aku mendapat sekeping perak sebagai upahnya,” sahut si perempuan tua.
Tak seorangpun dari
keturunan kaum Luth itu yang merasa marah atau heran mendengar ucapan
perempuan tua yang terkenal mata duitan dan sifat lobanya itu. Salah
seorang dari mereka memasukkan tangannya ke dalam sakunya; kemudian
mengambil sekeping perak dan diberikannya kepada perempuan tua itu.
Dengan senyum kemenangan, perempuan tua itu cepat mengambil dan
menyembunyikan kepingan perak itu di dadanya. “Kalian dapat membatalkan
seruan Luth melalui isterinya!” Kata perempuan itu kemudian.
Terbelalaklah mata kaum
Luth ketika mendengar ucapan itu. Mereka semakin mendekatkan telinga
masing-masing ke mulut perempuan penipu itu dengan penuh harapan.
“Bagaimana caranya?” Tanya mereka serentak.
“Kalian harus bekerjasama dengan isteri Luth untuk menghentikan seruannya kepada kalian.”
Dengan kesal, salah seorang dari mereka berteriak. “Kami tidak ada urusan dengan isteri Luth!”
Dengan wajah marah, perempuan tua itu kembali berkata: “Aku lebih mengerti hal itu daripada kalian!”
“Kalau begitu,” sela salah seorang yang lain. “Apa peranan isteri Luth dalam hal ini?”
“Dengar baik-baik. Peranan isteri Luth sama seperti perananku bagi kalian sekarang ini,” jawabnya.
“Jadi, apakah kamu
berharap agar isteri Luth dapat menunjuki kami, siapa orang-orang yang
dapat memenuhi keinginan kami, sebagaimana yang engkau lakukan kini?”
tanya salah seorang dari mereka. Dengan kedua mata yang bersinar,
disertai kegembiraan haiwani, perempuan tua berlalu sambil bergumam,
“Ya… ya…”
Isteri Nabi Luth sedang
menyelesaikan sebahagian pekerjaannya ketika terdengar pintu rumahnya
diketuk orang. Segera ia berlari, membukakan pintu. Dan seorang
perempuan tua tiba-tiba berada di hadapannya. Dengan tergopoh-gopoh
perempuan tua itu lalu berkata: “Hai, anakku, adakah seteguk air yang
dapat menghilangkan dahaga yang kurasakan ini?”
“Silakan masuk dahulu,” jawab Wa’ilah, isteri Nabi Luth, dengan lembut.” Akan kuambilkan air untukmu.”
Perempuan tua itu
kemudian duduk menunggu, sementara Wa’ilah masuk ke dapurnya. Tak lama
kemudian, Wa’ilah kembali dengan membawa bekas yang penuh berisi air
untuk tamunya itu. Dengan lahap, si perempuan tua segera meneguk habis
air di bekas tersebut, dan kemudian melepas nafas dengan lega.
“Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan itu kemudian
memalingkan wajahnya ke sekeliling rumah yang kecil itu, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang
dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua
itu berkata: “Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?”
“Aku tidak sengsara,
bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku
makan dan minum bersama kedua puteriku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan tua penipu itu
lebih mendekat kepada isteri Nabi Luth sambil berkata: “Dapatkah
ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau
rasakan ini disebut makanan atau minuman?”
Wa’ilah terpegun
mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian
bertanya. “Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?”
Cepat-cepat perempuan
tua itu berkata: “Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah
kedudukanku seperti ibu saudaramu?” Kemudian ia menyambung lagi.
“Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang
membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah
orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan
mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan…? Kamu berparas
cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam
kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sedari bahwa kamu tidak mempunyai
anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila
suamimu meninggal dunia?”
Wa’ilah, isteri Nabi
Luth, mendengarkan dengan saksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya,
ucapan itu telah membuatnya terlena sambil merenung atap rumahnya.
Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya
yang penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba
Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.
Ketika perempuan tua itu
menghentikan pembicaraannya, isteri Nabi Luth memandang kepadanya
sambil berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi
si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berfikir, bahkan ia
mulai menyambung pembicaraannya dengan berkata: “Hai, anakku, apakah
yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri
Sadom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?
Sesungguhnya orang-orang
di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai
dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat
menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mahu membantu
mereka. Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak
ini! Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah
kuperolehi. Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah
`cantik’ yang datang dari kota. Sedangkan kamu… di rumahmu sering datang
beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu.
Ya, suamimu yang
seruannya diperolok-olok oleh kaum kita. Pekerjaan semacam ini
sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang puterimu
menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki
tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau
perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Bukankah
pekerjaan itu amat mudah bagimu? Dengan itu, engkau bersama
puteri-puterimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian
kehendaki.”
Sambil mengakhiri
ucapannya, perempuan tua itu meletakkan dua keping perak di tangan
Wa’ilah, dan kemudian segera keluar. Isteri Nabi Luth duduk sambil
merenungkan peristiwa yang baru terjadi itu tentang keadaan pekerjaan
yang dicadangkan oleh si perempuan tuan. Dan… ia kebingungan sambil
berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih
terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselit dua
keping perak. Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja
saranan perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti
tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahwa isteri seorang yang
mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong
kaumnya dalam melakukan kebatilan.
Tiba-tiba datang suara
yang membisikkan ke telinganya: “Perempuan tua itu telah menasihatimu.
Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu.
Kamu tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan
lagi pekerjaan yang dicadangkan perempuan tua itu sama sekali tidak
memberatkanmu. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan
tamu-tamu suamimu, Luth. Lekaslah… lekaslah… nanti akan kukatakan…
lekas, supaya engkau memperoleh kekayaan dan kenikmatan… Cepatlah…!” Dan
tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: “Baiklah, kuterima…”
“Kalau begitu, selamat
kuucapkan kepadamu,” demikian Iblis membisikkan kepadanya.” Sesudah ini
engkau akan merasakan kenikmatan di dalam kehidupanmu…”
Nabi Luth kembali kepada
penduduk desa yang berada di sekitar Sadom untuk menyerukan kebenaran
Ilahi sesuai dengan perintah Allah kepadanya. “Mengapa kalian
mengerjakan perbuatan tercela itu, yang belum pernah diperbuat oleh
seorangpun di dunia ini sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi
lelaki untuk melepaskan nafsu kalian bukan kepada wanita, bahkan kalian
ini adalah kaum yang melampaui batas.”
Perlawanan penduduk
Sadom terhadap dakwah kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth kepada
mereka membuat kesedihan dan kedukaan di hati Nabi Luth sendiri. Betapa
kaumnya tidak mahu menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka
bersih dari perangai yang hina dan merusakkan itu.
Hari demi hari berlalu.
Setiap isteri Nabi Luth melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia
segera memberi tahu kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang
dibawanya sampai kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan
membawa sepotong perak seraya berkata: “Jika engkau selalu menolong
kami, nescaya engkau akan dapatkan terus sekeping perak, sementara
suamimu tidak dapat menyeru kepadanya.” Wajah perempuan tua itu tertawa
seperti tawa syaitan, kemudian pergi…
Sementara itu, seruan
Nabi Luth kepada kaumnya tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan
kesombongan. Mereka tetap selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan
mereka terus-menerus melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth
memperingatkan akan datangnya seksa Allah atas mereka apabila mereka
tidak mahu berhenti dari kesesatannya. Mereka malah menentang Nabi Luth
dengan berkata: “Datangkanlah kepada kami azab dari Allah, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.” Maka, Nabi Luth pun memohon kepada
Allah, agar Allah menolongnya dari kaumnya.
قَالَ رَبِّ انصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ
Nabi Luth berdoa: “Ya,
Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat
kerusakan itu.” (Al-Ankabut: 30) Allah memperkenankan doa Nabi Luth as,
dan mengutus Jibril as. untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke
Negeri Sadom dengan menyerupai dua orang lelaki yang tampan.
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَـٰذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“Dia (Luth)
merasa susah dan sempit dadanya karena kedatangan mereka. Dan ia
berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.” (Hud: 77)
Nabi Luth as. cemas
memikirkan apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui
kedatangan tamu lelaki yang berwajah `cantik’ di rumahnya. Bagaimana ia
dapat mempertahankan dan memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya? Ah,
bukankah tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia
sendiri, dan kedua puterinya? Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth
itu merupakan kesempatan bagi isterinya untuk menambah
kepingan-kepingan perak yang biasa ia perolehi dari si wanita tua.
Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada kaumnya untuk memberitahu
mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi
kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth. Karena keinginannya yang
mendesak, isteri Luth akhirnya memberi isyarat kepada salah seorang
puterinya untuk mendekat. Kemudian ia membiisikkan beberapa kalimat ke
telinga anak perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang puteri segera
keluar rumah untuk memberitahu kaumnya, sebagaimana biasa.
Di tengah-tengah
kerumunan orang ramai anak Nabi Luth melihat seorang perempuan tua
melambaikan tangan sambil mengisyaratkan panggilan kepadanya. Segera ia
mendekati perempuan itu dan memberitahu tentang dua lelaki tampan yang
datang ke rumahnya.
Perempuan tua itu
kemudian menyuruh ia cepat pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri
seraya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada berita baru?” Wajah
si perempuan tua menampakkan senyum tipuan sambil berkata: “Kali ini
tidak kurang dari empat potong emas harus kuterima.”
Dengan bersemangat kaumnya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?”
Perempuan itu berkata
kepada mereka, sementara ia membuka matanya lebar-lebar disertai
syaitan. “Kalian akan memperoleh apa yang kalian kehendaki, iaitu dua
orang lelaki yang berwajah `tampan’. Dengan wajah buas dan bernafsu,
mereka bertanya dengan tidak sabar. “Di mana mereka? Di mana lelaki
berwajah `tampan’ itu?
“Berikan harta kepadaku
terlebih dahulu, barulah kuberi tahu kalian!” Katanya. Sebahagian dari
mereka menyahut: “Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah
kenyang!” Dan sebahagian yang lain berkata: “Inilah harta untukmu,
tetapi cepat katakan, di mana lelaki yang berwajah `tampan’ itu?”
Setelah tangannya menggenggam emas, berkatalah perempuan tua itu kepada
mereka. “Mereka ada di rumah Luth…” Hampir-hampir kaumnya tidak
mendengar ucapan perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat
kemudian, mereka berlumba-lumba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth.
Masing-masing ingin memperoleh kepuasan dari dua lelaki `tampan’ yang
ada di rumah Luth. Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi
Luth tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak.
“Bukakan, Luth bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan
memecahkannya!” Isteri Nabi Luth mencuba menemui suaminya yang ternyata
telah meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar, sementara ia sendiri
mendekati pintu rumahnya yang tertutup dan memisahkan dia dengan
sekumpulan kaumnya. Isteri Nabi Luth mengintai dari balik tirai. Hatinya
melonjak kegirangan. Sebentar lagi ia bakal memperoleh sepotong perak
dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah berlangsung
selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin bakal
memperoleh pula sepotong emas sebagai bonus. Teriakan kaum Luth
bertambah keras dan garang. Mereka tak sabar dan ingin memecah pintu
agar dapat masuk dan menemui tamu-tamu Nabi Luth. Apakah yang akan
dikatakan oleh Nabi Luth atas tindakan kebengisan yang diperbuat oleh
naluri haiwan kaumnya yang rendah itu?
Nabi Luth pun berdiri
terpaku; hanya pintu yang memisahkannya dari kaum durjana itu. Sesaat
kemudian, Nabi Luth berkata kepada mereka demi menenangkan keadaan:
“Hai, kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka,
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan namaku di
hadapan tamuku. Tidak adakah di antaramu seorang yang dapat menbedakan
baik dan buruk. Ya, orang-orang yang berakal ketika itu telah dihinggapi
fikiran-fikiran hewan yang rendah, sehingga nafsu mereka sulit
dibendung.
Luth kemudian kembali
menegaskan permohonannya kepada kaumnya itu, sedangkan isterinya
mengintip tidak jauh dari situ. Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk
mengawini puteri-puterinya, tetapi dengan serentak mereka menjawab:
“Sesungguhnya engkau telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan
terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa
yang sebenarnya kami kehendaki.” Sampai di sini, dialog antara Nabi Luth
dan kaumnya terputus. Nabi Luth kemudian berfikir, apakah yang akan ia
lakukan jika kaumnya memecah pintu rumahnya dan masuk untuk melampiaskan
nafsu syaitannya kepada dua orang tamunya. Ia berdiri kebingungan,
sedangkan isterinya memandangnya dengan pandangan khianat. Tiba-tiba
tamu Nabi Luth berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami adalah
utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu
engkau.” Kalau begitu, tamu-tamu Nabi Luth adalah utusan-utusan Allah
yang datang untuk menimpakan azab kepada penduduk Negeri Sadom yang
berbuat kerusakan itu. Mendengar semua itu, isteri Nabi Luth merasa
khuatir, karena ia akan gagal memperoleh harta yang selalu diingininya
itu. Kebatilan dan pelakunya memang tidak akan pernah kekal, dan kini
seksa sedang menghampiri mereka. Berkata utusan-utusan Allah itu kepada
Nabi Luth: “Bukakan pintu, dan tinggalkan kami bersama mereka!”
Maka, Nabi Luth pun
membuka pintu rumahnya. Isteri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat
serombongan kaumnya menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera
menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth. Ketika itulah, Jibril menunjukkan
kelebihannya. Ia mengembangkan kedua sayapnya dan memukul orang-orang
durjana itu. akhirnya, mata mereka, tanpa kecuali, buta seketika. Dengan
berteriak kesakitan, mereka semua menghendap-hendap dan bingung, kemana
mereka harus berjalan.
Bertanyalah Nabi Luth
kepada Malaikat Jibril: “Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?”
Malaikat Jibril memberitahu bahwa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi
Luth pada waktu Subuh nanti. Mendengar itu, Nabi Luth segera berfikir,
bukankah waktu Subuh sudah dekat.
Jibril memerintahkan
Nabi Luth agar pergi dengan membawa keluarganya pada akhir malam nanti.
Semua keluarga Nabi Luth pada malam itu pergi bersamanya ke luar kota,
kecuali Wa’ilah. Isterinya itu bukan lagi termasuk keluarganya yang
beriman kepada risalah Allah yang dibawanya. Sebaliknya, Isteri Nabi
Luth justeru telah membantu orang-orang yang berbuat kerosakan, dan ia
harus menerima akibatnya. Maka, turunlah azab atas dirinya, bersama
semua kaum Nabi Luth yang ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah dalam Kitab Suci Al-Quran: “Maka, tatkala datang azab Kami, Kami
balikkan (kota itu), dan Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti)
tanah liat dibakar bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan seksaan
itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” Maha Benar Allah lagi
Maha Agung.