ضَرَبَ اللَّـهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ
 كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا 
فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّـهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا 
النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِي
 
Allah menjadikan isteri Nuh
 dan isteri Luth menjadi perumpamaan bagi orang-orang yang ingkar. 
Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang soleh di antara
 hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri 
itu berkhidmat kepada kedua 
suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit 
pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya).” Masuklah ke 
neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”  
(At-Tahrim: 10)
Dalam perjalanan hidup 
seorang nabi, apabila ia mendapati kebenaran yang datang dari Allah, 
keluarga terdekatnyalah yang terutama mesti ia seru terlebih dahulu. 
Orang yang paling dekat dengannya tentu saja memperoleh kesempatan 
paling besar untuk menerima seruannya. Akan tetapi, tidak demikian 
halnya dengan isteri Nuh dan anaknya. Meskipun keduanya adalah 
orang-orang yang paling dekat dengan beliau, mereka termasuk golongan 
yang ingkar akan kebenaran Allah dengan enggan beriman.
Begitu pula wanita yang 
satu ini, isteri salah seorang dari nabi Allah, yakni isteri Luth as. 
Luth adalah seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada kaumnya
 di Sadom, sebuah negeri besar yang mempunyai banyak kota, sedangkan 
penduduknya tenggelam dalam arus kemaksiatan. Rakyat Negeri Sadom ketika
 itu berserikat dan bahu-membahu dalam perbuatan dosa yang mengaibkan.
Nabi Luth diperintahkan 
oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya itu, termasuk 
kepada isterinya sendiri. 
 
 
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ الْعَالَمِي
 
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ 
Berkata Nabi Luth kepada mereka seraya 
mengingatkan: “Mengapa kamu melakukan perbuatan tercela itu, yang belum 
pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini sebelummu? Kamu 
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita. Bahkan 
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 80-81)
Memang, kaum Nabi Luth 
ketika itu berada pada tingkat kebinatangan yang paling rendah, 
kebejatan akhlak yang paling parah, dan tidak ada manusia seburuk mereka
 sebelumnya. Mendengar seruan Nabi Luth, seruan seorang nabi Allah yang 
juga pernah didengar oleh kaum-kaum lain sebelum mereka, rakyat Negeri 
Sadom merasa terusik kesenangannya. Mereka tidak tinggal diam setelah 
mendengar seruan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth. Mereka terus
 berfikir, mencari jalan bagaimana agar Nabi Luth tidak dapat 
mengumandangkan seruannya kembali. Ketika, mereka tengah duduk berfikir,
 tiba-tiba datang seorang perempuan tua menghampiri mereka. Sebenarnya, 
sudah lama perempuan tua itu mendengar rencana kaum Luth itu, dan ia 
tersenyum bangga mendengar rencana itu.
“Akan kutunjukkan kepada
 kalian, suatu lubang yang dapat menghalangi seruan Luth,” ujar 
perempuan tua itu dengan wajah penuh keyakinan. “Lubang yang mana itu?” 
tanya mereka dengan keinginan yang penuh harap.
“Tidak akan kukatakan hal itu, kecuali aku mendapat sekeping perak sebagai upahnya,” sahut si perempuan tua.
Tak seorangpun dari 
keturunan kaum Luth itu yang merasa marah atau heran mendengar ucapan 
perempuan tua yang terkenal mata duitan dan sifat lobanya itu. Salah 
seorang dari mereka memasukkan tangannya ke dalam sakunya; kemudian 
mengambil sekeping perak dan diberikannya kepada perempuan tua itu. 
Dengan senyum kemenangan, perempuan tua itu cepat mengambil dan 
menyembunyikan kepingan perak itu di dadanya. “Kalian dapat membatalkan 
seruan Luth melalui isterinya!” Kata perempuan itu kemudian.
Terbelalaklah mata kaum 
Luth ketika mendengar ucapan itu. Mereka semakin mendekatkan telinga 
masing-masing ke mulut perempuan penipu itu dengan penuh harapan.
“Bagaimana caranya?” Tanya mereka serentak.
“Kalian harus bekerjasama dengan isteri Luth untuk menghentikan seruannya kepada kalian.”
Dengan kesal, salah seorang dari mereka berteriak. “Kami tidak ada urusan dengan isteri Luth!”
Dengan wajah marah, perempuan tua itu kembali berkata: “Aku lebih mengerti hal itu daripada kalian!”
“Kalau begitu,” sela salah seorang yang lain. “Apa peranan isteri Luth dalam hal ini?”
“Dengar baik-baik. Peranan isteri Luth sama seperti perananku bagi kalian sekarang ini,” jawabnya.
“Jadi, apakah kamu 
berharap agar isteri Luth dapat menunjuki kami, siapa orang-orang yang 
dapat memenuhi keinginan kami, sebagaimana yang engkau lakukan kini?” 
tanya salah seorang dari mereka. Dengan kedua mata yang bersinar, 
disertai kegembiraan haiwani, perempuan tua berlalu sambil bergumam, 
“Ya… ya…”
Isteri Nabi Luth sedang 
menyelesaikan sebahagian pekerjaannya ketika terdengar pintu rumahnya 
diketuk orang. Segera ia berlari, membukakan pintu. Dan seorang 
perempuan tua tiba-tiba berada di hadapannya. Dengan tergopoh-gopoh 
perempuan tua itu lalu berkata: “Hai, anakku, adakah seteguk air yang 
dapat menghilangkan dahaga yang kurasakan ini?”
“Silakan masuk dahulu,” jawab Wa’ilah, isteri Nabi Luth, dengan lembut.” Akan kuambilkan air untukmu.”
Perempuan tua itu 
kemudian duduk menunggu, sementara Wa’ilah masuk ke dapurnya. Tak lama 
kemudian, Wa’ilah kembali dengan membawa bekas yang penuh berisi air 
untuk tamunya itu. Dengan lahap, si perempuan tua segera meneguk habis 
air di bekas tersebut, dan kemudian melepas nafas dengan lega.
“Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan itu kemudian 
memalingkan wajahnya ke sekeliling rumah yang kecil itu, lalu 
menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang 
dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua 
itu berkata: “Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?”
“Aku tidak sengsara, 
bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku
 makan dan minum bersama kedua puteriku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan tua penipu itu
 lebih mendekat kepada isteri Nabi Luth sambil berkata: “Dapatkah 
ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau
 rasakan ini disebut makanan atau minuman?”
Wa’ilah terpegun 
mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian
 bertanya. “Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?”
Cepat-cepat perempuan 
tua itu berkata: “Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah 
kedudukanku seperti ibu saudaramu?” Kemudian ia menyambung lagi. 
“Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang 
membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah
orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan 
mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan…? Kamu berparas 
cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam 
kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sedari bahwa kamu tidak mempunyai 
anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila 
suamimu meninggal dunia?”
Wa’ilah, isteri Nabi 
Luth, mendengarkan dengan saksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, 
ucapan itu telah membuatnya terlena sambil merenung atap rumahnya. 
Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya 
yang penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba 
Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.
Ketika perempuan tua itu
 menghentikan pembicaraannya, isteri Nabi Luth memandang kepadanya 
sambil berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi 
si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berfikir, bahkan ia 
mulai menyambung pembicaraannya dengan berkata: “Hai, anakku, apakah 
yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri 
Sadom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?
Sesungguhnya orang-orang
 di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai
 dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat 
menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mahu membantu 
mereka. Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak
 ini! Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah 
kuperolehi. Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah 
`cantik’ yang datang dari kota. Sedangkan kamu… di rumahmu sering datang
 beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu.
Ya, suamimu yang 
seruannya diperolok-olok oleh kaum kita. Pekerjaan semacam ini 
sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang puterimu 
menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki 
tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau 
perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Bukankah 
pekerjaan itu amat mudah bagimu? Dengan itu, engkau bersama 
puteri-puterimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian
 kehendaki.”
Sambil mengakhiri 
ucapannya, perempuan tua itu meletakkan dua keping perak di tangan 
Wa’ilah, dan kemudian segera keluar. Isteri Nabi Luth duduk sambil 
merenungkan peristiwa yang baru terjadi itu tentang keadaan pekerjaan 
yang dicadangkan oleh si perempuan tuan. Dan… ia kebingungan sambil 
berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih 
terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselit dua 
keping perak. Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja
 saranan perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti 
tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahwa isteri seorang yang 
mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong
 kaumnya dalam melakukan kebatilan.
Tiba-tiba datang suara 
yang membisikkan ke telinganya: “Perempuan tua itu telah menasihatimu. 
Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. 
Kamu tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan 
lagi pekerjaan yang dicadangkan perempuan tua itu sama sekali tidak 
memberatkanmu. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan 
tamu-tamu suamimu, Luth. Lekaslah… lekaslah… nanti akan kukatakan… 
lekas, supaya engkau memperoleh kekayaan dan kenikmatan… Cepatlah…!” Dan
 tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: “Baiklah, kuterima…”
“Kalau begitu, selamat 
kuucapkan kepadamu,” demikian Iblis membisikkan kepadanya.” Sesudah ini 
engkau akan merasakan kenikmatan di dalam kehidupanmu…”
Nabi Luth kembali kepada
 penduduk desa yang berada di sekitar Sadom untuk menyerukan kebenaran 
Ilahi sesuai dengan perintah Allah kepadanya. “Mengapa kalian 
mengerjakan perbuatan tercela itu, yang belum pernah diperbuat oleh 
seorangpun di dunia ini sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi 
lelaki untuk melepaskan nafsu kalian bukan kepada wanita, bahkan kalian 
ini adalah kaum yang melampaui batas.”
Perlawanan penduduk 
Sadom terhadap dakwah kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth kepada 
mereka membuat kesedihan dan kedukaan di hati Nabi Luth sendiri. Betapa 
kaumnya tidak mahu menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka 
bersih dari perangai yang hina dan merusakkan itu.
Hari demi hari berlalu. 
Setiap isteri Nabi Luth melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia 
segera memberi tahu kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang 
dibawanya sampai kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan
 membawa sepotong perak seraya berkata: “Jika engkau selalu menolong 
kami, nescaya engkau akan dapatkan terus sekeping perak, sementara 
suamimu tidak dapat menyeru kepadanya.” Wajah perempuan tua itu tertawa 
seperti tawa syaitan, kemudian pergi…
Sementara itu, seruan 
Nabi Luth kepada kaumnya tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan 
kesombongan. Mereka tetap selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan 
mereka terus-menerus melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth 
memperingatkan akan datangnya seksa Allah atas mereka apabila mereka 
tidak mahu berhenti dari kesesatannya. Mereka malah menentang Nabi Luth 
dengan berkata: “Datangkanlah kepada kami azab dari Allah, jika kamu 
termasuk orang-orang yang benar.” Maka, Nabi Luth pun memohon kepada 
Allah, agar Allah menolongnya dari kaumnya.
  
قَالَ رَبِّ انصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ
Nabi Luth berdoa: “Ya, 
Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat 
kerusakan itu.” (Al-Ankabut: 30) Allah memperkenankan doa Nabi Luth as, 
dan mengutus Jibril as. untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke 
Negeri Sadom dengan menyerupai dua orang lelaki yang tampan. 
  
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَـٰذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“Dia (Luth)
 merasa susah dan sempit dadanya karena kedatangan mereka. Dan ia 
berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.” (Hud: 77)
Nabi Luth as. cemas 
memikirkan apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui 
kedatangan tamu lelaki yang berwajah `cantik’ di rumahnya. Bagaimana ia 
dapat mempertahankan dan memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya? Ah,
 bukankah tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia 
sendiri, dan kedua puterinya? Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth
 itu merupakan kesempatan bagi isterinya untuk menambah 
kepingan-kepingan perak yang biasa ia perolehi dari si wanita tua. 
Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada kaumnya untuk memberitahu 
mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi 
kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth. Karena keinginannya yang 
mendesak, isteri Luth akhirnya memberi isyarat kepada salah seorang 
puterinya untuk mendekat. Kemudian ia membiisikkan beberapa kalimat ke 
telinga anak perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang puteri segera 
keluar rumah untuk memberitahu kaumnya, sebagaimana biasa.
Di tengah-tengah 
kerumunan orang ramai anak Nabi Luth melihat seorang perempuan tua 
melambaikan tangan sambil mengisyaratkan panggilan kepadanya. Segera ia 
mendekati perempuan itu dan memberitahu tentang dua lelaki tampan yang 
datang ke rumahnya.
Perempuan tua itu 
kemudian menyuruh ia cepat pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri
 seraya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada berita baru?” Wajah 
si perempuan tua menampakkan senyum tipuan sambil berkata: “Kali ini 
tidak kurang dari empat potong emas harus kuterima.”
Dengan bersemangat kaumnya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?”
Perempuan itu berkata 
kepada mereka, sementara ia membuka matanya lebar-lebar disertai 
syaitan. “Kalian akan memperoleh apa yang kalian kehendaki, iaitu dua 
orang lelaki yang berwajah `tampan’. Dengan wajah buas dan bernafsu, 
mereka bertanya dengan tidak sabar. “Di mana mereka? Di mana lelaki 
berwajah `tampan’ itu?
“Berikan harta kepadaku 
terlebih dahulu, barulah kuberi tahu kalian!” Katanya. Sebahagian dari 
mereka menyahut: “Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah 
kenyang!” Dan sebahagian yang lain berkata: “Inilah harta untukmu, 
tetapi cepat katakan, di mana lelaki yang berwajah `tampan’ itu?” 
Setelah tangannya menggenggam emas, berkatalah perempuan tua itu kepada 
mereka. “Mereka ada di rumah Luth…” Hampir-hampir kaumnya tidak 
mendengar ucapan perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat 
kemudian, mereka berlumba-lumba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth. 
Masing-masing ingin memperoleh kepuasan dari dua lelaki `tampan’ yang 
ada di rumah Luth. Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi
 Luth tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak. 
“Bukakan, Luth bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan 
memecahkannya!” Isteri Nabi Luth mencuba menemui suaminya yang ternyata 
telah meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar, sementara ia sendiri 
mendekati pintu rumahnya yang tertutup dan memisahkan dia dengan 
sekumpulan kaumnya. Isteri Nabi Luth mengintai dari balik tirai. Hatinya
 melonjak kegirangan. Sebentar lagi ia bakal memperoleh sepotong perak 
dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah berlangsung 
selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin bakal 
memperoleh pula sepotong emas sebagai bonus. Teriakan kaum Luth 
bertambah keras dan garang. Mereka tak sabar dan ingin memecah pintu 
agar dapat masuk dan menemui tamu-tamu Nabi Luth. Apakah yang akan 
dikatakan oleh Nabi Luth atas tindakan kebengisan yang diperbuat oleh 
naluri haiwan kaumnya yang rendah itu?
Nabi Luth pun berdiri 
terpaku; hanya pintu yang memisahkannya dari kaum durjana itu. Sesaat 
kemudian, Nabi Luth berkata kepada mereka demi menenangkan keadaan: 
“Hai, kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka, 
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan namaku di 
hadapan tamuku. Tidak adakah di antaramu seorang yang dapat menbedakan 
baik dan buruk. Ya, orang-orang yang berakal ketika itu telah dihinggapi
 fikiran-fikiran hewan yang rendah, sehingga nafsu mereka sulit 
dibendung.
Luth kemudian kembali 
menegaskan permohonannya kepada kaumnya itu, sedangkan isterinya 
mengintip tidak jauh dari situ. Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk
 mengawini puteri-puterinya, tetapi dengan serentak mereka menjawab: 
“Sesungguhnya engkau telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan 
terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa 
yang sebenarnya kami kehendaki.” Sampai di sini, dialog antara Nabi Luth
 dan kaumnya terputus. Nabi Luth kemudian berfikir, apakah yang akan ia 
lakukan jika kaumnya memecah pintu rumahnya dan masuk untuk melampiaskan
 nafsu syaitannya kepada dua orang tamunya. Ia berdiri kebingungan, 
sedangkan isterinya memandangnya dengan pandangan khianat. Tiba-tiba 
tamu Nabi Luth berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami adalah 
utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu 
engkau.” Kalau begitu, tamu-tamu Nabi Luth adalah utusan-utusan Allah 
yang datang untuk menimpakan azab kepada penduduk Negeri Sadom yang 
berbuat kerusakan itu. Mendengar semua itu, isteri Nabi Luth merasa 
khuatir, karena ia akan gagal memperoleh harta yang selalu diingininya 
itu. Kebatilan dan pelakunya memang tidak akan pernah kekal, dan kini 
seksa sedang menghampiri mereka. Berkata utusan-utusan Allah itu kepada 
Nabi Luth: “Bukakan pintu, dan tinggalkan kami bersama mereka!”
Maka, Nabi Luth pun 
membuka pintu rumahnya. Isteri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat 
serombongan kaumnya menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera 
menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth. Ketika itulah, Jibril menunjukkan 
kelebihannya. Ia mengembangkan kedua sayapnya dan memukul orang-orang 
durjana itu. akhirnya, mata mereka, tanpa kecuali, buta seketika. Dengan
 berteriak kesakitan, mereka semua menghendap-hendap dan bingung, kemana
 mereka harus berjalan. 
Bertanyalah Nabi Luth 
kepada Malaikat Jibril: “Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?” 
Malaikat Jibril memberitahu bahwa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi 
Luth pada waktu Subuh nanti. Mendengar itu, Nabi Luth segera berfikir, 
bukankah waktu Subuh sudah dekat. 
Jibril memerintahkan 
Nabi Luth agar pergi dengan membawa keluarganya pada akhir malam nanti. 
Semua keluarga Nabi Luth pada malam itu pergi bersamanya ke luar kota, 
kecuali Wa’ilah. Isterinya itu bukan lagi termasuk keluarganya yang 
beriman kepada risalah Allah yang dibawanya. Sebaliknya, Isteri Nabi 
Luth justeru telah membantu orang-orang yang berbuat kerosakan, dan ia 
harus menerima akibatnya. Maka, turunlah azab atas dirinya, bersama 
semua kaum Nabi Luth yang ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh 
Allah dalam Kitab Suci Al-Quran: “Maka, tatkala datang azab Kami, Kami 
balikkan (kota itu), dan Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) 
tanah liat dibakar bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan seksaan 
itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” Maha Benar Allah lagi 
Maha Agung.