الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين
أهلا وسهلا بكم
إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني"
اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور
اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله
اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب
يارب يارب يارب
KEMASKINI
_
فتاوى مهمة تتعلق بالصلاة
Fatwa-fatwa penting tentang shalat
]
Indonesia [
فتاوى
مهمة تتعلق بالصلاة
[ اللغة الأندونيسية ]
ABDUL AZIZ BIN
ABDULLAH BIN BAZ
عبدالعزيز بن عبدالله بن باز
Penerjemah: Abdullah
Haidir
ترجمة: عبد الله حيدر
Murajaah: DR.MUH.MU’INUDINILLAH
BASRI, MA
ERWANDI TARMIZI
مراجعة: د.
محمد معين بصري - إيرواندي ترمذي
Maktab
Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 20
SYARAT-SYARAT
SHALAT
1.
Pada sebagian wilayah terdapat siang atau malam yang berlalu dalam waktu sangat
lama, ada juga yang berlalu sangat singkat sekali sehingga tidak cukup waktu
untuk melakukan shalat lima waktu, bagaimana penduduk wilayah tersebut
melakukan shalatnya ?
Jawab:
Merupakan kewajiban bagi penduduk suatu daerah yang siang atau malamnya sangat
panjang untuk melakukan shalat lima
waktu berdasarkan perkiraan, jika disana tidak terdapat tergelincir atau
terbenamnya matahari dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Terdapat riwayat
yang shahih dari Rasulullah
berdasarkan hadits Nawwas bin Sam’an dalam shahih Muslim tentang hari
pada saat datangnya Dajjal yang digambarkan bagaikan setahun, sahabat bertanya
kepada Rasulullah r tentang hal tersebut, maka beliau bersabda: “Perkirakanlah ukuran
(waktunya)” demikian pula dengan hari yang keduanya, yaitu sehari bagaikan
sebulan. Demikian pula yang seharinya bagaikan seminggu. Adapun wilayah yang
siangnya sangat pendek atau siangnya sangat panjang atau sebaliknya maka
hukumnya jelas, yaitu mereka shalat sebagaimana pada hari-hari umumnya meskipun siang atau malamnya sangat
pendek berdasarkan umumnya dalil.
2.
Sebagian orang ada yang shalat fardhu
dalam keadaan terbuka kedua bahunya,
khususnya pada saat pelaksanaan ibadah haji, yaitu saat mengenakan pakaian ihram. Apakah hukumnya?
jawab: jika dia tidak mampu menghindarinya,
maka tidak mengapa baginya hal yang
demikian itu berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Bertakwalah
kalian semampu kalian” (At-Taghabun 16 )
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r, dari Jabir bin Abdullah y :
(( إِنْ
كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ )) متفق عليه.
“Jika bajunya lebar maka
berselimutlah dengannya dan jika bajunya sempit maka jadikanlah sebagai kain
sarung” (Muttafaq Alaih)
Adapun jika dia mampu untuk menutup
kedua bahunya atau salah satu diantara keduanya, maka wajib baginya untuk
menutup keduanya atau salah satu diantara keduanya menurut salah satu pendapat
ulama yang lebih kuat, jika hal tersebut dia abaikan maka shalatnya tidak sah,
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( لاَ
يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ
)) متفق عليه.
“Janganlah salah seorang
diantara kalian shalat dengan mengenakan satu baju yang tidak terdapat diatas
bahunya sesuatu apapun “ (Muttafaq alaih)
3.
Sebagian orang ada yang terlambat shalat Fajar (Shubuh) hingga waktu Isfar
(mendekati terbitnya matahari) dengan alasan bahwa hal tersebut berdasarkan
hadits:
أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
“Lakukanlah (shalat)
Fajar pada saat mendekati terbitnya matahari, karena sesungguhnya hal tersebut
sangat besar pahalanya
"Apakah hadits tersebut shahih? dan bagaimana menggabungkannya dengan hadits: “(Amal yang paling utama adalah
shalat pada waktunya) “?
Jawab: Hadits yang disebutkan adalah
hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang
shahih dari Rafi’ bin Khudaij t, dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hadits shahih yang
menunjukkan bahwa Rasulullah r shalat Shubuh pada saat hari masih gelap, begitu juga tidak bertentangan
dengan hadits “(amal yang paling utama adalah) shalat pada waktunya” , akan
tetapi makna yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah, menunda shalat fajar
sampai jelas datangnya waktu fajar, kemudian dilaksanakan sebelum hilangnya
kegelapan sebagaimana dahulu Rasulullah r melakukannya, cuma saja saat di Muzdalifah (saat melaksanakan
ibadah haji) diutamakan untuk melakukannya lebih cepat, yaitu saat terbitnya
fajar, sebagaimana perbuatan Rasulullah r pada saat haji Wada’.
Dengan demikian hadits-hadits yang
shahih tersebut dapat digabungkan tentang saat pelaksanakan shalat Fajar, akan
tetapi semua itu hanyalah masalah keutamaan (afdhaliah).
Dan boleh mengakhirkan shalat shubuh
sampai sesaat sebelum terbitnya matahari, sebagaiman hadits Rasulullah r:
(( وَقْتُ
الْفَجْرِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ ))
“Waktu (shalat) Fajar adalah sejak
terbitnya fajar selama belum terbitnya matahari" (Riwayat Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Amr bin
‘Ash).
4. Kami menyaksikan sebagian orang ada
yang memendekkan bajunya (gamisnya) dan memanjangkan celananya, bagaimanakah
pendapat syaikh?
Jawab: Berdasarkan sunnah maka
hendaknya (ujung) pakaian yang dikenakan antara setengah betisnya hingga mata
kakinya dan tidak boleh menurunkannya hingga kebawah mata kaki, berdasarkan
hadits Rasulullah r:
(( مَا
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَهُوَ فِي النَّارِ ))
“Pakaian yang (menjulur)
ke bawah mata kaki, maka dia berada dalam neraka" (Riwayat Bukhari dalam As-Shahih)
Tidak ada bedanya antara celana dan
kain, kemeja dan gamis, Rasulullah r menyebutkan kain (إزار) dalam hadits tersebut sebagai perumpamaan saja bukan sebagai
pengkhususan, yang utama hendaknya pakaian yang dikenakan hanya sampai setengah
betisnya, berdasarkan hadits Rasulullah r :
“Pakaian seorang mu’min
adalah (sampai) setengah betisnya"
5. Apakah hukumnya jika diketahui
kemudian bahwa shalat yang dilakukannya tidak menghadap kiblat setelah dia
berijtihad? Apakah ada bedanya antara jika hal tersebut terjadi di negri kafir
dan negri muslim atau di tengah padang
pasir?
Jawab: Jika seorang berada dalam sebuah
perjalanan atau berada di tempat yang tidak mudah baginya untuk mengetahui arah
kiblat maka shalatnya sah, jika dia telah berijtihad untuk menetapkan arah
kiblat, dan ternyata setelah itu tidak menghadap kearah kiblat.
Adapun jika dia berada di negri muslim,
maka shalatnya tidak sah, karena memungkinkan baginya untuk bertanya siapa saja
yang dapat menunjukinya arah kiblat, sebagaimana mungkin baginya untuk
mengetahuinya dengan melihat masjid.
6. Kami mendengar banyak orang yang
melafazkan (mengucapkan) niat saat hendak shalat, apa hukumnya? apakah
perbuatan tersebut ada landasan syar’inya?
Jawab: Tidak terdapat dalil dalam
syariat tentang mengucapkan niat, tidak juga terdapat riwayat dari Nabi r dan dari para shahabat bahwa mereka mengucapkan niat saat hendak
shalat. Tempat niat hanyalah di hati, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ باِلنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ))
“Sesungguhnya setiap
amalan berdasarkan niatnya, dan
bagi setiap orang (dibalas sesuai) apa yang dia niatkan“(Muttafaq alaih, dari hadits Amirul Mukminin Umar bin Khattab t ).
7. Kami menyaksikan sebagian orang yang
berdesak-desakan di Hijir Ismail agar dapat shalat didalamnya, apa hukum
melakukan shalat didalamnya? apakah terdapat keistimewaan pada perbuatan
tersebut?
Jawab: Shalat di Hijir Ismail termasuk
sunnah, karena dia bagian dari Ka’bah, dan terdapat riwayat shahih dari Nabi r, bahwa beliau masuk kedalam Ka’bah pada saat terjadinya Fathu
Makkah dan shalat didalamnya dua raka’at” (Muttafaq alaih ).
Juga terdapat riwayat dari Rasulullah r bahwa dia berkata kepada Aisyah radhialluanha, saat hendak
memasuki Ka’bah “Shalatlah dalam Hijir (Ismail), karena dia termasuk Ka’bah
".
Adapun tentang pelaksanaan shalat
fardhu, maka sebagai tindakan yang lebih hati-hati (ihtiyath) tidak
dilaksanakan didalam Ka’bah atau dalam Hijir Isma’il, karena Rasulullah r tidak melakukan hal tersebut, bahkan sebagian ulama ada yang
berkata, perbuatan tersebut tidak sah karena dia termasuk Baitullah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa
pelaksanaan shalat fardhu hendaknya dilakukan di luar Ka’bah dan Hijir Ismail,
sebagai tindakan mencontoh Rasulullah r dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama yang mengatakannya
tidak sah. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
8. Sebagian wanita tidak dapat
membedakan antara darah haidh dan istihadhah, sebab kadang-kadang darah
tersebut keluar secara terus menerus, maka dia berhenti shalat selama keluarnya
darah tersebut, bagaimanakah hukum yang demikian itu?
Jawab: Haidh adalah darah yang Allah
tetapkan untuk kaum wanita setiap bulan pada umumnya, sebagaimana riwayat yang
terdapat dalam hadits shahih.
Adapun bagi wanita yang mendapatkan
istihadhah, ada tiga kondisi:
Pertama: Jika dia baru pertama kali
mengalami hal tersebut, maka hendaknya
setiap bulan -selama darah itu ada- tidak melakukan shalat, puasa dan
bersetubuh dengan suaminya sehingga datangnya masa suci, jika kondisi tersebut
(keluarnya darah) berlangsung selama lima belas hari atau kurang menurut jumhur
ulama.
Kedua: Jika keluarnya darah secara
terus menerus lebih dari lima belas hari, maka hendaknya dia menganggap dirinya
haid selama enam atau tujuh hari dengan membandingkan wanita lain yang lebih
mirip dengannya (usia atau fisiknya) dari kerabatnya jika dia tidak dapat
membedakan antara darah haid atau yang lainnya, tetapi jika dia mampu
membedakannya, maka dia tidak boleh shalat dan puasa serta bersetubuh dengan
suaminya selama mendapati darah yang dapat dibedakannya karena warnanya yang
hitam atau bau, dengan syarat, hal tersebut tidak berlangsung lebih dari lima
belas hari.
Ketiga: Jika dia memiliki waktu haid
tertentu, maka dia hitung masa haidnya selama waktu tersebut, dan setelah
berakhir dia mandi dan berwudhu setiap kali masuk waktu shalat jika darahnya
masih tetap keluar dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya sampai datang
waktu haid berikutnya pada bulan kemudian.
Inilah ringkasan dari beberapa hadits
nabi tentang wanita mustahadhah, dan telah diterangkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitabnya Bulughul Maram dan Ibnu Taimiyah rahimahumallah
dalam kitab Al Muntaqa.
9. Jika seseorang tidak melakukan
shalat pada waktunya -zuhur misalnya-, kemudian dia baru ingat saat shalat Ashar sedang dilaksanakan, apakah dia
ikut berjamaah dengan niat Ashar atau
dengan niat Zuhur? Atau shalat Zuhur sendirian dahulu kemudian shalat Ashar?
Apakah
maksudnya ucapan para fuqaha' “Jika dikhawatirkan shalat yang sedang ada
waktunya tidak dapat dilakukan maka gugurlah urutannya” apakah kekhawatiran
tidak mendapatkan jama’ah menggugurkan urutan shalat?
Jawab: Yang benar menurut syariat bagi
orang yang mengalami hal tersebut, hendaknya dia shalat bersama jamaah dengan
niat shalat Zuhur, kemudian setelah itu shalat Ashar, karena wajibnya menjaga
urutan shalat (Zuhur didahulukan dari Ashar dan seterusnya), dan hal tersebut
tidak gugur hanya karena khawatir tidak mendapatkan jamaah.
Adapun ucapan para fuqaha' -rahimahumullah-
“jika dikhawatirkan keluarnya waktu shalat yang ada maka gugurlah urutannya”
maksudnya adalah: Bagi orang yang
terlewat dari waktu shalat tertentu, maka (jika ingin mengqadanya), dia harus
melakukannya sebelum melakukan shalat yang sedang ada waktunya, tetapi jika
waktu shalat tersebut sempit maka shalat yang sedang ada waktunya tersebut dia
dahulukan, misalnya: Seseorang belum melakukan shalat Isya, dan dia baru ingat sesaat sebelum terbitnya
matahari padahal saat itu dia belum shalat Shubuh, maka dia shalat Shubuh
dahulu sebelum hilang waktunya, karena waktu tersebut telah ditetapkan untuk
shalat Shubuh, setelah itu dia mengqadha shalatnya.
10. Banyak wanita yang menganggap remeh
saat melakukan shalat, ada yang tampak pergelangan tangannya atau sedikit
darinya, begitu juga dengan kakinya, bahkan kadang sebagian betisnya, apakah
shalat seperti itu sah?
Jawab: Wajib bagi seorang wanita merdeka dan baligh untuk menutup
seluruh badannya dalam shalat, kecuali wajah dan telapak tangannya, sebab semua
itu adalah aurat, jika seorang wanita shalat sementara ada yang tampak sedikit
dari auratnya, seperti betisnya, kakinya atau sebagian kepalanya maka shalatnya
tidak sah, berdasarkan hadits nabi r:
“Allah tidak menerima
shalatnya wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan khimar (penutup
kepala/jilbab)” (Riwayat Ahmad dan ahlussunan kecuali
An-Nasai dengan sanad yang shahih). Yang dimaksud wanita yang sudah haidh (حائض) adalah wanita baligh.
Juga berdasarkan hadits Rasulullah r
((
الْـمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ))
“Wanita adalah aurat "
Juga berdasarkan riwayat Abu Daud rahimahullah
dari Ummu Salamah radhiyallahuanha, dari Rasulullah r, dia (Ummu Salamah) bertanya kepada Rasulullah r tentang wanita yang shalat dengan mengenakan baju dan kerudung
tanpa mengenakan kain, maka beliau bersabda: “jika bajunya lebar dan menutup kedua kakinya (maka
shalatnya sah)”, Al Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Bulughul Maram, para
imam menshahihkan mauqufnya hadits ini kepada Ummu Salamah. Jika terdapat orang
yang bukan mahram didekatnya maka dia wajib juga menutup wajah dan kedua
telapak tangannya.
11. Jika seorang wanita
suci dari haidh pada waktu Ashar atau Isya, apakah dia juga harus shalat Zuhur
(bersama shalat Ashar) dan shalat Maghrib (bersama shalat Isya), dengan dasar
bahwa masing-masing shalat tersebut dapat dijama’?
Jawab: Jika seorang wanita suci dari haidh atau
nifas pada waktu Ashar maka dia wajib melakukan shalat Zuhur dan Ashar sekalian
menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, karena waktu kedua
shalat tersebut pada saat ada halangan adalah satu seperti bagi musafir atau
orang sakit dan si wanita tersebut ma’zur (berhalangan) karena belum datangnya
masa suci, demikian juga jika dia suci pada
waktu Isya maka wajib baginya shalat maghrib dan Isya dengan jama’
sebagaimana yang terdahulu, dan untuk hal ini sejumlah sahabat y telah memfatwakannya.
12. Apa hukumnya shalat di
masjid jika didalamnya terdapat kuburan atau di halamannya atau di kiblatnya?
Jawab: Jika didalam masjid
terdapat kuburan, maka shalat didalamnya tidak sah, sama saja apakah kuburannya
berada dibelakang orang yang shalat atau didepannya atau disebelah kanannya
atau kirinya, berdasarkan hadits nabi r:
((
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ
مَسَاجِدَ )) متفق عليه.
“Allah
melaknat orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan para
Nabinya sebagai masjid "
(Muttafaq alaih).
Juga berdasarkan hadits
Rasulullah r:
((
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ
أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا اْلقُبُوْرَ
مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ ))
“Ketahuilah
bahwa orang-orang sebelum kamu telah menjadikan kuburan para nabinya dan
orang-orang shaleh sebagai masjid, ketahuilah, janganlah kalian menjadikan
masjid sebagai kuburan, sesungguhnya aku melarang yang demikian itu" (Riwayat Muslim dalam Ash-Shahih).
Dan karena shalat di masjid
yang terdapat kuburannya akan menjadi sarana kesyirikan dan ghuluw (pemujaan
yang berlebih-lebihan terhadap seseorang -pent) maka wajib mencegah hal seperti
itu berdasarkan kedua hadits yang telah disebutkan dan riwayat yang lainnya
yang senada serta sadduzzari’ah (menutup celah terjadinya kemunkaran/ syirik).
13. Banyak pekerja yang
mengakhirkan shalat Zuhur dan Ashar hingga malam hari dengan alasan mereka
sibuk dengan pekerjaannya atau baju mereka najis atau tidak bersih, bagaimana
pendapat Syaikh?
Jawab: Tidak boleh bagi setiap
muslim dan muslimah mengabaikan shalat fardhu dari waktunya, justru wajib bagi
mereka melaksanakannya sesuai dengan waktunya
berdasarkan kemampuannya.
Dan pekerjaan bukanlah halangan untuk
meninggalkan shalat, begitu juga baju yang najis atau kotor juga bukan
halangan.
Waktu-waktu (pelaksanaan) shalat
hendaklah disisihkan dari pekerjaan, bagi seorang pekerja pada waktu tersebut
dapat mencuci bajunya yang kena najis atau menggantinya dengan baju yang suci.
Adapun pakaian yang kotor tidak mengapa dipakai untuk shalat jika kotornya itu
bukan terdiri dari najis atau terdapat bau yang tidak sedap sehingga mengganggu
orang lain yang sedang shalat. Jika kotorannya itu mengganggu orang yang shalat
baik karena dirinya atau karena baunya, maka wajib baginya untuk mencucinya
sebelum shalat atau menggantinya dengan baju yang bersih sehingga dia dapat
melakukan shalat berjamaah.
Boleh bagi orang yang berhalangan
secara syar’i -seperti orang sakit atau musafir- untuk menggabung (jama’)
shalat Zuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya disalah satu waktu keduanya.
Sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal tersebut dari Rasulullah r, demikian juga boleh menjama’ pada saat hujan dan berlumpur yang
memberatkan manusia.
14. Jika seseorang mendapatkan najis
pada bajunya setelah mengucapkan salam dari shalatnya, apakah dia harus
mengulanginya?
Jawab: Siapa yang shalat sementara di
badannya atau bajunya terdapat najis sedangkan dia tidak mengetahuinya kecuali
setelah shalat, maka shalatnya shahih menurut salah satu pendapat terkuat
diantara dua pendapat para ulama, begitu
juga jika dia telah mengetahuinya terlebih dahulu kemudian lupa saat
pelaksanaan shalat dan baru ingat setelah selesai melaksanakan shalat, maka
shalatnya sah, berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami bersalah " (Al-Baqarah: 286 ).
Begitu juga terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah r, bahwa saat beliau shalat suatu hari terdapat pada terompahnya
kotoran, kemudian malaikat Jibril memberitahunya akan hal tersebut, maka beliau
melepas terompah tersebut lalu meneruskan shalatnya dan tidak mengulanginya
dari awal. Dan hal ini termasuk kemudahan dan rahmat dari Allah ta’ala kepada
hamba-Nya.
Adapun jika seseorang shalat sedangkan
dia lupa bahwa dirinya memiliki hadats, maka dia harus mengulangi shalatnya
berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana hadits Rasulullah r :
(( لاَ
تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ )) أخرجه مسلم
في صحيحه.
“Tidak diterima shalat
seseorang tanpa bersuci dan sedekah yang berasal dari barang
(hasil)tipuan" (Riwayat Muslim
dalam Shahihnya)
Begitu juga berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( لاَ
تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ )) متفق على صحته.
“Tidak diterima shalat
salah seorang diantara kamu jika dia memiliki hadats sampai dia berwudhu” (Muttafaq alaih).
15. Banyak orang yang melalaikan
shalat, bahkan sebagian dari mereka telah meninggalkan shalat secara total,
apakah hukum terhadap mereka itu ? Dan apakah kewajiban seorang muslim terhadap
mereka, terutama kerabat, seperti; orang tua, anak, istri, dan yang semisalnya
?
Jawab: Melalaikan shalat merupakan
kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, sebagaimana
firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang
munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, Mereka mermaksud riya (dengan
shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah keculali sedikit
sekali" (An-Nisaa': 142).
Allah juga berfirman tatkala
menerangkan sifat-sifat mereka:
$tBur óOßgyèuZtB br& @t6ø)è? öNåk÷]ÏB óOßgçG»s)xÿtR HwÎ) óOßg¯Rr& (#rãxÿ2 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßtÎ/ur wur tbqè?ù't no4qn=¢Á9$# wÎ) öNèdur 4n<$|¡à2 wur tbqà)ÏÿZã wÎ) öNèdur tbqèdÌ»x.
“Dan tidak ada yang
menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakam sembahyang,
melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan
dengan rasa enggan" (At-Taubah: 54).
Rasulullah r bersabda:
(( أَثْقَلُ
الصَّلاَةَ عَلَى المُنَافِقِيْنَ صَلاَةُ العِشَاءِ وَصَلاَةُ الفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ
مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً )) متفق على صحته.
“Shalat yang paling berat
bagi orang munafik adalah shalat ‘Isya dan shalat Fajar (Shubuh), dan seandainya mereka mengetahui
apa yang terkandung didalamnya niscaya mereka akan mendatanginya (untuk
melakukan kedua shalat tersebut) walaupun dalam keadaan merangkak" (Muttafaq alaih).
Maka merupakan kewajiban setiap muslim
baik laki-laki ataupun perempuan untuk menjaga shalatnya yang lima waktu dan melakukannya dengan thuma’ninah (tenang), bersegera kepadanya dan
khusyu' saat melaksanakannya. Allah I berfirman:
] ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz [
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman: (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya" (Al-Mu’minun: 1-2).
Begitu juga terdapat riwayat yang kuat
dari Rasulullah r bahwa dia memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya,
karena tidak thuma’ninah. Khusus bagi kaum laki-laki agar memelihara shalat
berjamaah, bersama saudara-saudaranya di rumah-rumah Allah yaitu masjid,
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( مَنْ
سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ )) أخرجه
ابن ماجه و الدارقطنى وابن حبان والحاكم بإسناد صحيح.
"Siapa yang
mendengar azan kemudian dia tidak datang (untuk shalat berjamaah) maka tidak
ada shalat baginya kecuali jika ada halangan"
(Riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang
shahih).
Ibnu Abbas radiallahu'anhuma
ditanya tentang halangan apa yang dimaksud, dia menjawab:” takut dan sakit”.
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu
Hurairah t, dari Rasulullah r, bahwa datang kepadanya seorang laki-laki yang buta seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah ada
keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? maka Rasulullah r memberinya keringanan, tapi kemudian beliau memanggilnya dan
bertanya: “Apakah engkau mendengarkan seruan untuk shalat (azan)? dia
menjawab, “Ya”, beliau bersabda:”Sambutlah (dengan pergi ke masjid untuk
shalat berjamaah -pent).”
Dalam As-Shahihain dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah r, beliau bersabda: “Aku sungguh sangat ingin sekali
memerintahkan agar shalat dilaksanakan, kemudian ada seseorang yang menjadi
imam, sementara aku bersama beberapa orang berangkat dengan membawa seikat kayu
bakar dan mendatangi sekelompok kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah)
lalu aku membakar rumah-rumah mereka ".
Beberapa hadits yang shahih tersebut
menunjukkan bahwa shalat berjamaah bagi kaum laki-laki merupakan kewajiban yang
paling besar dan bagi yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan hukuman yang
berat. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya dan
memberi mereka taufiq atas segala apa yang diridhai-Nya.
Adapun meninggalkannya sama sekali atau
sebagian waktunya saja, maka menurut pendapat yang terkuat diantara dua
pendapat ulama, hal tersebut merupakan kekufuran yang besar baik pria maupun
wanita, walaupun pelakunya tidak mengingkari kewajibannya, berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))
“Antara seseorang dan
kekufuran serta kemusyrikan adalah meninggalkan shalat”. (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
(( العَهْدُ
الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ))
“Janji antara kita dengan
mereka (orang kafir) adalah shalat, siapa yang meninggalkannya maka dia telah
kafir". (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan
yang empat dengan sanad yang shahih) dan masih banyak lagi hadits yang semakna
dengannya.
Adapun orang yang mengingkari
kewajibannya baik laki-laki maupun wanita, maka sesungguhnya dia telah kafir
dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan para ulama, walaupun dia
melakukan shalat. Semoga Allah melindungi kita dan semua kaum muslimin dari hal
tersebut, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Merupakan kewajiban kaum muslimin
seluruhnya untuk saling menasihati dan memberi wasiat dalam kebenaran dan
saling tolong- menolong dalam kebaikan dan takwa, diantaranya adalah menasihati
orang yang tidak shalat berjamaah atau menyepelekannya bahkan sewaktu-waktu
meninggalkannya. Mengingatkan mereka akan kemurkaan dan hukuman-Nya. Dan
kewajiban kedua orang tua, saudara-saudara dan kaum kerabatnya untuk
menasihatinya secara terus menerus sehingga dia mendapatkan hidayah dari Allah I dan istiqamah di jalan-Nya. Demikian juga halnya bagi wanita yang
menyepelekan shalat atau meninggalkannya, wajib untuk dinasihati secara terus
menerus dan mengingatkannya akan kemurkaan Allah I serta hukuman-Nya dan mengucilkannya jika dia tidak
mengindahkannya padahal dia mampu melakukannya, dan menghukumnya dengan cara
yang layak. Karena semua itu adalah termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan
takwa dan Amar ma’ruf nahi munkar yang Allah wajibkan bagi semua hamba-Nya,
baik pria ataupun wanita, berdasarkan firman Allah I:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym
“Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberikan rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah maha perkasa lagi maha Bijaksana. "
(At-Taubah: 71).
Juga berdasrkan hadits Rasulullah r:
(( مُرُوْا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ ))
“Perintahkanlah anak
kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak
melakukan shalat) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur
mereka."
Jika anak-anak pada usia tujuh tahun
sudah diperintahkan shalat, dan boleh dipukul jika tidak melaksanakannya pada
usia sepuluh tahun, maka orang yang sudah baligh lebih utama untuk
diperintahkan shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya setelah dinasihati
secara terus menerus.
Adapun saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran, adalah berdasarkan firman Allah I:
ÎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 Aô£äz ÇËÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Îö9¢Á9$$Î/
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh dan yang saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan saling
nasihat menasihati dalam kesabaran. "
( Al-‘Ashr: 1-3).
Dan siapa yang meninggalkan shalat
setelah masa baligh serta tidak menerima nasihat, maka perkaranya dibawa ke
pengadilan syar’i, agar diperintahkan untuk bertaubat, jika tidak bertaubat
maka dihukum mati. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan
memberikan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya dan menuntun mereka untuk
saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta amar ma’ruf nahi munkar
dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia
Maha Pemberi lagi Mulia.
16. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan
atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan
diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya
jika telah sadar?
Jawab:
Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya
meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur
yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat
-radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka
mereka mengqadha (shalatnya).
Adapun jika masanya melebihi tiga hari,
maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( رُفِعَ
القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَالصَّغِيْرِ حَتَّى
يَبْلُغَ وَالمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ ))
“Al-Qalam di angkat atas tiga perkara:
Dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang
gila hingga sadar."
Adapun orang yang pingsan dalam waktu
yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnya. Wallahu
waliyyuttaufiq.
17. Banyak orang yang sakit menganggap
remeh terhadap shalatnya dan berkata: Jika aku sembuh aku akan mengqadha
shalat, sementara sebagian lagi berkata: Bagaimana saya dapat shalat sedangkan
saya tidak dapat bersuci dan membersihkan diri dari najis. Bagaimana sebaiknya
kita mengarahkan mereka?
Jawab: Selama akal masih berfungsi,
sakit bukan halangan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena alasan tidak dapat
bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai
dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia
tidak mampu menggunakan air maka hendaknya dia tayammum dan shalat. Dia juga
harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti
baju yang terdapat najis dengan baju yang suci dari najis pada saat
melaksanakan shalat, jika dia tidak mampu untuk membersihkan najis atau
mengganti baju yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya
semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana
adanya, berdasarkan firman Allah I:
“Bertakwalah kamu semampu
kamu” (At-Taghabun: 15).
Dan berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاتَّقُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق عليه
“Jika aku memerintahkan
sesuatu perkara, maka patuhilah semampu kalian”
(Muttafaq Alaih).
Juga hadits Rasulullah r kepada ‘Imran bin Husain –radiyallahu'anhuma- tatkala dia mengadukan
tentang penyakitnya:
(( صَلِّ
قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
)) رواه البخاري في صحيحه ورواه النسائي بإسناد صحيح وزاد: (( فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَمُسْتَلْقِيًا ))
“Shalatlah kamu dengan
berdiri, jika tidak mampu, maka duduklah, jika tidak mampu, maka hendaknya
berbaring (dengan posisi miring bertumpu pada sisi tubuh sebelah kanan)." (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan riwayat An-Nasai dengan sanad
yang shahih dan dengan tambahan: “ Jika tidak mampu maka terlentanglah".
18. Orang yang meninggalkan shalatnya
dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq
dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya
tersebut?
Jawab: Dia tidak diharuskan mengqadha
apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat
diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkannya dengan sengaja membuatnya
keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan
orang kafir tidak diwajibkan meng-qadha shalat yang dia tinggalkan saat dia
kufur, berdasarkan hadis Rasulullah r:
(( بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ )) رواه مسلم في
الصحيح عن جابر بن عبد الله t
“Antara seseorang dengan
kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat." (Riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdullah t)
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ
الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) أخرجه الإمام أحمد وأهل السنن
بإسناد صحيح عن بريدة بن الحصيب t.
“Janji antara kita dengan
mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya dia telah kafir” (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari
Buraidah bin Al-Hushaib t ).
Begitu juga Rasulullah r tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk
mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga halnya dengan para
sahabat radiallahuanhum, mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang
kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang
mengqadha shalat yang dia tinggalkan dengan
sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa
sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath) dan untuk keluar dari khilaf dengan
mereka yang berkata: ” tidak kufur karena meninggalkan shalat dengan sengaja
jika tidak mengingkari kewajibannya ” dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu
waliyyuttaufiq.
AZAN
19. Sebagian orang ada yang berkata,
"jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan,
karena fungsi azan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat,
bagaimanakah pendapat tuan yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian
ditengah padang
pasir?
Jawab: Jika azan tidak dilakukan pada
awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah
tersebut ada mu’azzin lainnya yang telah melakukannya, adapun jika terlambatnya
sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melakukan azan.
Adapun jika dalam suatu daerah tidak
ada mu’azzin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat
beberapa saat. Karena hukum azan adalah fardhu kifayah, sementara tidak ada
selainnya yang melakukannya, maka wajib baginya untuk melakukannya dan dia
bertanggung jawab untuk itu, karena orang-orang kebanyakan menantinya.
Sedangkan bagi orang yang bepergian,
maka disyariatkan baginya azan meskipun cuma sendirian. Sebagaimana terdapat
dalam hadits shahih dari Abu Sa’id t, saat dia berkata kepada seseorang: “Jika engkau berada saat
mengembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk
melakukan azan, karena siapa saja yang mendengar suara mu’azzin baik jin maupun
manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari qiamat”.
Ucapan tersebut maushul kepada Rasulullah r. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara
umum berbicara tentang disyari’atkannya azan dan keutamaan-keutamaannya.
20. Apakah wajib bagi wanita untuk
melakukan azan dan iqomat, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau
di tanah lapang atau bersama-sama?
Jawab: Tidak disyari’atkan bagi wanita
untuk melakukan azan dan iqamat, baik dalam keadaan menetap atau bepergian,
sesungguhnya azan dan iqamat hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah
dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulullah r.
21. Jika seseorang lupa untuk melakukan
iqamat dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada
hukum shalatnya, baik dia dalam keadaan sendiri atau bersama jamaah?
Jawab: Jika seseorang shalat sendirian
atau berjamaah tanpa melakukan iqamat (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah,
dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah I.
Begitu juga halnya jika mereka shalat
tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamat termasuk
fardhu kifayah dan keduanya diluar syarat sah shalat.
Dan bagi siapa yang meninggalkan azan
dan iqamat hendaknya bertaubat kepada Allah I atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang
meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagian
melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam
keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau pedalaman. Semoga Allah memberi taufiq kepada
seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhai-Nya.
22. Apa dalilnya ucapan azan dalam
shalat fajar:
الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ
dan apakah pendapat tuan syaikh
terhadap mereka yang mengucapkan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل
apakah ada dalilnya?
Jawab:
Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah r, bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal
tersebut (yaitu ucapan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas t, bahwa beliau berkata: “Merupakan sunnah dalam azan shalat
fajar, seorang mu’azin mengucapkan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ
“.
Kalimat ini diucapkan dalam azan yang dikumandangkan saat terbitnya fajar
menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat para ulama dan
dinamakan azan pertama jika dikaitkan dengan iqamat, karena iqamat disebut juga
azan kedua, sebagaimana hadits Rasulullah r, بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ الصَّلاَةُ (Diantara dua azan terdapat shalat), dan terdapat riwayat yang
shahih diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radiallahuanha yang menunjukkan
hal tersebut.
Adapun ucapan sebagian kalangan Syi’ah
dalam azan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل
, itu adalah bid’ah dan tidak terdapat dalilnya dalam hadits-hadits yang
shahih, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan kepada seluruh kaum
muslimin untuk mengikuti sunnahnya dan menggenggamnya erat-erat, karena itu
merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan bagi seluruh ummat.
23. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah r, mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat gerhana)
" الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ",
apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyari’atkan berulang-ulang,
berapakah batasan untuk mengulanginya?
Jawab: Terdapat riwayat dari Rasulullah
r,
bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ
", Disunnahkan bagi yang mengumandangkannya
untuk mengulang-ulangnya sampai dia meyakini bahwa orang-orang telah
mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya sebagaimana yang kami
ketahui. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
TATA
CARA SHALAT
24. Banyak saudara-saudara kita yang
sangat ketat dalam masalah sutrah (pembatas
shalat), sampai mereka menunggu
adanya sutrah jika tidak didapatkannya tiang lowong (dari orang yang shalat)
yang terdapat dalam masjid. Mereka juga
menyalahkan orang-orang yang shalat tanpa sutrah. Sementara sebagian yang
lainnya menganggap remeh perkara ini. Manakah yang benar dalam masalah ini, dan
apakah garis dapat dijadikan sutrah jika tidak terdapat yang lain? adakah
dalilnya?
Jawab: Sutrah dalam shalat merupakan
sunnah mu’akkadah dan bukan kewajiban dan jika tidak terdapat sesuatu yang
tegak, maka garis dapat menjadi penggantinya. Dalil dari apa yang kami ucapkan
adalah hadits Rasulullah r :
(( إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا )) رواه أبو
داود بإسناد صحيح.
“Jika salah seorang
diantara kalian shalat, maka hendaklah ia shalat dengan sutrah dan mendekat
kepadanya.“ (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang
shahih).
Dan terdapat juga riwayat dari
Rasulullahr:
(( يَقْطَعُ
صَلاَةَ المَرْءِ المُسْلِمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤَخَّرِ
الرَّحَلِ: المَرْأَةُ وَالحِمَارُ وَالكَلْبُ الأَسْوَدُ )) رواه مسلم في صحيحه.
“Jika dihadapan seseorang
tidak terdapat seumpama ujung pelana (sebagai sutrah), maka shalatnya akan
terputus oleh: wanita, keledai dan anjing hitam. “
(Riwayat Muslim dalam Shahihnya).
Juga hadits Rasulullah r:
(( إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ
عَصَا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ
يَدَيْهِ )) رواه الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد حسن.
“Jika salah seorang
diantara kalian shalat, maka hendaklah menjadikan sesuatu berada dihadapannya,
jika tidak ada maka tancapkanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis,
kemudian setelah itu tidak akan merusak
(shalatnya) jika ada yang lewat didepannya.“ (Riwayat Imam Ahmad dan Ibnu
Majah dengan sanad yang shahih).
Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam
kitabnya Bulughul Maram: Terdapat riwayat dari Rasulullah r bahwa beliau shalat kadang-kadang tidak menggunakan sutrah, maka
hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah merupakan kewajiban.
Dikecualikan dalam masalah ini jika shalat di Masjidil Haram, maka bagi yang
shalat tidak perlu menggunakan sutrah, sebagaimana riwayat Ibnu Zubair t, bahwa dia shalat di Masjidil Haram tanpa menggunakan sutrah,
sedangkan orang-orang thawaf berada didepannya, begitu juga terdapat riwayat
yang disandarkan kepada Rasulullah r yang menunjukkan hal tersebut akan tetapi dengan sanad yang lemah.
Alasan lainnya adalah karena Masjidil
Haram merupakan tempat yang selalu penuh sesak dan tidak mungkin menghindari
lalu lalangnya orang didepan orang yang shalat, maka gugurlah syari’at sutrah
sebagaimana yang telah disebutkan, hal serupa juga berlaku bagi Masjid Nabawi
pada saat penuh sesak, demikian juga tempat yang lainnya jika penuh sesak
berdasarkan firman Allah I:
“Maka bertakwalah kalian
semampu kalian.“ (At-Taghabun: 16).
Juga berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ
مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق على صحته.
“Jika aku memerintahkan
kalian, maka lakukanlah semampu kalian.“
(Muttafaq alaih).
25. Kami menyaksikan banyak orang yang
meletakkan tangannya dibawah pusarnya dan sebagian yang lainnya diatas dadanya
dan mereka mengingkarinya dengan sangat bagi orang yang meletakkan tangannya
dibawah pusarnya. Sementara yang lainnya meletakkan dibawah janggutnya, dan
sebagian yang lainnya menjulurkan tangannya. Manakah yang benar?
Jawab: Sunnah yang shahih menunjukkan
bahwa yang paling utama bagi orang shalat saat dia berdiri meletakkan telapak
tangan kanannya diatas telapak tangan kirinya diatas dadanya sebelum ruku’ dan
sesudahnya. Terdapat riwayat dalam hadits Wa’il bin Hujr dan Qubaishah bin
Halab Ath-Tha’i dari bapaknya, begitu juga terdapat riwayat dalam hadits Sahl
bin Sa’ad As-Sa’idy t. Adapun meletakkan kedua tangan dibawah pusar terdapat dalam
hadits dha’if dari Ali t, sedangkan menjulurkannya atau meletakkannya dibawah janggut
bertentangan dengan sunnah. Wallahu waliyyuttaufiq.
26. Banyak saudara-saudara kita yang
sangat mengutamakan “Jalsah Istirahah” (duduk istirahat antara bangun dari
sujud dan berdiri) dan menentang siapa saja yang meninggalkannya. Apakah
disyariatkan bagi imam dan ma’mum juga bagi yang shalat sendirian?
Jawab: Duduk istirahat disunnahkan bagi
imam dan ma’mum dan bagi yang shalat sendiri, bentuknya seperti duduk diantara
dua sujud, yaitu duduk dengan sebentar dan tidak terdapat didalamnya zikir dan
do’a dan siapa yang meninggalkannya tidaklah mengapa.
Hadits-hadits yang berbicara dalam
masalah ini shahih dari Rasulullah r, seperti hadits Malik bin Huwairits dan hadits Abi Humaid
As-Sa’idy dan beberapa orang sahabat t. Wallahu waliyyuttaufiq.
27. Bagaimana seorang muslim melakukan
shalat dalam pesawat, apakah lebih utama baginya untuk shalat di pesawat pada
awal waktu? Atau menunggu sampai pesawat mendarat pada akhir waktu?
Jawab: Wajib bagi setiap muslim dan
muslimah yang berada dalam pesawat untuk melakukan shalat semampunya, jika
mungkin baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri dan dapat melakukan ruku’
dan sujud maka dia harus melakukannya, jika tidak dapat berdiri dia dapat
melakukannya sambil duduk dan memberi isyarat untuk ruku’ dan sujud, jika dia
mendapatkan tempat untuk shalat dengan berdiri daripada memberikan isyarat,
maka wajib baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri, berdasarkan firman Allah
I
:
”Bertakwalah kalian
kepada Allah semampu kalian.“ (At-Taghabun: 16)
Dan berdasarkan hadits Rasulullah r kepada Imran bin Husain t yang sedang sakit: “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu
duduklah, jika tidak mampu maka berbaringlah” (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya
dan An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan:”Jika tidak mampu maka
berbaringlah“. Yang paling utama baginya adalah shalat diawal waktu, jika dia
tunda hingga akhir waktu supaya dapat shalat setelah mendarat, maka tidaklah
mengapa berdasarkan umumnya dalil.
Dan hukum (shalat) dalam kendaraan,
kereta dan kapal laut sama seperti pesawat.
28. Banyak orang yang melakukan gerakan
dan perbuatan yang tidak berguna dalam shalat. Apakah ada batas tertentu bagi
gerakan yang membatalkan shalat? Apakah batasan tiga kali gerakan
berturut-turut ada dalilnya? Apa nasehat syaikh kepada mereka yang banyak
melakukan gerakan dan perbuatan tak berguna tersebut?
Jawab: Wajib bagi seorang mu’min dan
mu’minah untuk tenang dalam shalatnya dan meninggalkan perbuatan yang sia-sia,
karena thuma’ninah (tenang dalam shalat) merupakan rukun dalam shalat
sebagaimana terdapat riwayat dari Rasulullah r, bahwa beliau memerintahkan orang yang tidak thuma’ninah dalam
shalatnya untuk mengulanginya. Disyari’atkan bagi muslim dan muslimah untuk
khusyu’ dalam shalatnya dan menghadirkan hati di hadapan Allah I, berdasarkan firman-Nya:
] ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz [
“Beruntunglah orang-orang
yang beriman. Yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.“ (Al-Mu’minun: 1-2).
Dimakruhkan untuk melakukan perbuatan
tak berguna, baik dengan bajunya, janggutnya atau yang lainnya, dan jika
gerakannya banyak dan berturut-turut maka -berdasarkan yang kami ketahui dari
syari’at yang suci- hal tersebut diharamkan dan membatalkan shalat.
Tidak terdapat batasan tertentu dalam
masalah ini, dan adanya pendapat yang membatasinya hanya tiga kali gerakan saja
adalah pendapat yang lemah dan tidak
memiliki dalil. Sebuah gerakan dapat
dikatakan banyak dan sia-sia adalah berdasarkan keyakinan orang yang shalat,
jika seorang yang shalat berkeyakinan bahwa dia melakukan gerakan yang banyak
dan sia-sia secara terus menerus, maka dia harus mengulangi shalatnya jika
shalatnya tersebut shalat fardhu, dan dia harus bertaubat dari perbuatannya
itu. Dan bagi setiap muslim dan muslimah hendaknya memperhatikan shalatnya agar
khusyu’ didalamnya serta meninggalkan perbuatan yang sia-sia walaupun cuma
sedikit karena shalat merupakan perkara yang besar dan merupakan tiang Islam
serta rukunnya yang paling besar setelah syahadatain dan merupakan perbuatan
yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat. Semoga Allah
memberikan petunjuk bagi seluruh kaum muslimin agar dapat melaksanakan shalat
sebagaimana yang diridhai-Nya.
29. Apakah yang lebih utama meletakkan
kedua lutut sebelum kedua tangan saat hendak melakukan sujud ataukah sebaliknya
yang utama? Bagaimanakah menggabungkan antara kedua hadits yang berkaitan
dengan masalah tersebut?
Jawab:
Sunnah bagi orang yang shalat
jika hendak sujud -menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama- meletakkan
terlebih dahulu kedua lututnya sebelum kedua tangannya jika dia mampu untuk
itu, dan itu pendapat jumhur,
berdasarkan hadits Wa’il bin Hujr t, dan hadits-hadits semakna lainnya.
Sedangkan hadits Abu Hurairah t, pada hakekatnya tidaklah bertentangan dengan hadits diatas bahkan
mendukungnya karena Nabi r dalam hadits tersebut melarang orang yang shalat untuk sujud
sebagaimana unta yang hendak duduk, dan umum diketahui bahwa siapa yang sujud
dengan mendahulukan tangannya maka dia menyerupai unta. Adapun ucapannya
diakhir: “Hendaklah dia meletakkan kedua tangannnya sebelum kedua lututnya”,
maka pemahaman yang paling dekat adalah terjadinya inqilab (terbalik) dalam
riwayat hadits dikalangan para perawi, yang benar adalah: “Hendaklah dia meletakkan
kedua lututnya sebelum kedua tangannya”, dengan demikian hadits-hadits yang ada
dapat dikompromikan dan pertentangan dapat dihilangkan. Masalah ini telah
disinggung oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullah dalam kitabnya "Zaadul
Ma’ad".
Sedangkan orang yang lemah untuk
mendahulukan kedua lututnya karena sakit atau sudah lanjut usia, maka tidak
mengapa baginya untuk mendahulukan kedua tangannya dari kedua lututnya
berdasarkan firman Allah I:
“Bertakwalah kalian
kepada Allah semampu kalian” (At-Taghabun: 16)
dan berdasarkan hadits Rasulullah r : “Apa yang aku larang maka jauhilah dan apa yang aku
perintahkan maka lakukanlah semampu kalian “ (Muttafaq alaih).
30. Apa pendapat syaikh tentang
berdehem dalam shalat, meniup dan
menangis, apakah membatalkan shalat?
Jawab: Berdehem, meniup dan menangis
tidak membatalkan shalat dan tidaklah mengapa dilakukan jika ada tuntutan untuk
itu, karena Rasulullah r berdehem ketika Ali t datang meminta izin saat beliau sedang shalat.
Adapun menangis disyari’atkan dalam
shalat begitu juga dalam hal lainnya jika sebabnya adalah khusyu' dan mengingat
Allah tanpa dilebih-lebihkan. Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah r bahwa dia menangis dalam shalatnya, begitu juga halnya Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Umar Al-Faruq t serta sahabat yang lainnya dan para tabiin sesudahnya.
31. Apa hukumnya lewat didepan orang
yang shalat, dan apakah Masjidil Haram berbeda dari yang lainnya dalam masalah
ini dan apa maksudnya orang yang lewat didepan orang shalat disebut memotong
shalat? Apakah dia harus mengulanginya jika misalnya lewat didepannya anjing
hitam atau wanita atau keledai?
Jawab: Hukum lewat didepan orang shalat
atau antara orang shalat dan sutrahnya adalah haram berdasarkan hadits
Rasulullah r :
(( لَوْ
يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَي المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ
خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَي المُصَلِّي )) متفق عليه.
“Seandainya orang yang
lewat didepan orang shalat mengetahui apa hukumannya, niscaya lebih baik
baginya menunggu selama empat puluh (masa) daripada melewati orang yang
shalat.“(Muttafaq alaih).
Hal tersebut juga dapat memotong
shalat, yaitu membatalkannya jika yang lewat didepannya wanita baligh atau
keledai atau anjing hitam.
Sedangkan jika yang lewat bukan tiga
kelompok tadi maka tidaklah memotong shalat akan tetapi hanya berkurang
pahalanya berdasarkan hadits Rasulullah r :
(( يَقْطَعُ
صَلاَةَ المَرْءِ المُسْلِمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤَخَّرِ
الرَّحَلِ: المَرْأَةُ وَالحِمَارُ وَالكَلْبُ الأَسْوَدُ )) رواه مسلم في صحيحه
من حديث أبي ذر t.
“Shalat seorang muslim
akan terpotong jika didepannya tidak terdapat sejenis ujung pelana (sutrah)
oleh: wanita, keledai dan anjing hitam.“(Riwayat
Muslim dalam Shahihnya dari Hadits Abi Zar t ).
Terdapat juga hadits semakna yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, akan tetapi dengan menentukan anjing hitam. Maka yang mutlak (tidak
ditentukan) diarahkan kepada muqayyad (yang ditentukan) menurut para ulama.
Sedangkan di Masjidil Haram tidak
diharamkan untuk lewat didepan orang shalat, dan shalat seseorang tidak akan
terpotong jika terlewati ketiga hal diatas atau yang lainnya. Karena didalamnya
merupakan tempat yang selalu penuh sesak, sulit bagi seseorang untuk menghindar
dari melewati didepan orang shalat. Terdapat riwayat hadits yang jelas dalam
masalah ini yang walaupun dha’if akan tetapi dikuatkan oleh atsar dari Ibnu
Zubair dan yang lainnya, begitu juga halnya dengan masjid An-Nabawi dan tempat lainnya jika selalu penuh sesak dan
sulit untuk menghindari agar tidak lewat didepan orang shalat berdasarkan
firman Allah I :
“Bertakwalah kalian
kepada Allah semampu kalian” (At-Taghabun: 16).
Dan firman Allah I:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 186).
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r : “Apa yang aku larang maka hendaknya kalian menjauhinya dan
apa yang aku perintahkan kepada kalian maka lakukanlah semampu kalian “
(Muttafaq alaih).
32. Bagaimana pendapat syaikh tentang
mengangkat tangan dalam berdo’a setelah shalat? Apakah ada bedanya antara
shalat fardhu dan shalat sunat?
Jawab: Mengangkat kedua tangan dalam
berdoa merupakan sunnah dan merupakan sebab dikabulkannya do’a berdasarkan
hadits Rasulullah r:
(( إِنَّ
رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا
صِفْرًا )) أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه وصححه الحاكم من حديث سلمان الفارسي.
“Sesungguhnya Tuhan-mu
Maha Pemurah. Dia malu terhadap hambanya yang (berdoa) mengangkat kedua
tangannya kemudian dibalasnya dengan hampa.“
(Riwayat Abu Daud, Turmuzi, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Hakim dari hadits
Salman Al Farisi).
Dan berdasarkan hadits Rasulullah r :
“Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik,
tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
orang-orang mu’min sebagaimana dia memerintahkan kepada para Rasul, sebagaimana
firmannya:
“Wahai orang-orang
beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami berikan rizki kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah jika
kalian hanya beribadah kepada-Nya”
(Al-Baqarah:172), dan Allah berfirman:
“Wahai para Rasul,
makanlah yang baik-baik dan berbuatlah dengan perbuatan yang shaleh,
sesungguhnya Aku terhadap apa yang kalian lakukan Maha Mengetahui”.(Al-Mu’minun: 51). Kemudian dia (Rasulullahr) menyebutkan seseorang yang tengah menempuh perjalanan dengan
rambut kusut dan dekil mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Ya
Rabbi, Ya Rabbi” sementara makanannya berasal dari barang yang haram dan
minumannya berasal dari barang yang haram, pakaiannya dari barang yang haram
dan dia diberi makan dari barang yang haram, maka bagaimana akan dikabulkan hal
yang demikian itu? (Riwayat Muslim).
Akan tetapi mengangkat kedua tangan
tidak disyari’atkan pada tempat-tempat yang pada zaman Nabi beliau tidak
mengangkat kedua tangannya. Maka mengangkat tangan tidak disyari’atkan setelah
shalat lima waktu dan antara dua sujud dan sebelum salam dari shalat dan saat
khutbah Jum’at serta pada dua shalat ‘Ied karena Rasulullah r tidak mengangkat tangan pada
tempat-tempat tersebut, sedangkan dia r adalah teladan yang paling baik atas apa yang dia lakukan dan dia
tinggalkan, akan tetapi jika seseorang meminta turun hujan (istisqa') pada
khutbah Jum’at atau khutbah kedua hari raya maka disyariatkan baginya untuk
mengangkat kedua tangan sebagaimana yang dilakukan nabi r.
Adapun pada shalat sunnah, saya tidak
mengetahui adanya larangan untuk mengangkat kedua tangan setelahnya untuk
berdoa sebagai pengamalan atas umumnya dalil akan tetapi yang utama tidak
melakukannya secara terus menerus, karena hal tersebut tidak terdapat
riwayatnya dari Rasulullah r, seandainya dia melakukannya setiap selesai shalat sunnah niscaya akan sampai
kepada kita riwayatnya, karena para shahabat t telah meriwayatkan semua perkataan dan perbuatannya baik dalam
keadaan musafir atau menetap dan semua keadaan Rasulullah r -semoga Allah meridhai mereka semuanya.
Adapun hadits yang masyhur dari Nabi r, yaitu sabdanya: “Shalat adalah merendahkan diri dan menjaga
kekhusyu’an serta mengangkat kedua tangan sambil berkata: Ya Rabbi, Ya Rabbi..”
, itu adalah hadits dha’if sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafiz Ibnu Rajab
dan lainnya.
33. Kami mendengar ada yang berkata:
Makruh mengusap debu yang ada di kening setelah shalat. Apakah hal tersebut ada
dalilnya?
Jawab: Tidak terdapat dalil dalam masalah
itu -sebagaimana yang kami ketahui-. Akan tetapi yang dimakruhkan adalah
melakukan hal tersebut sebelum salam; karena terdapat riwayat dari Rasulullah r bahwa beliau dalam beberapa kali shalatnya melakukan salam dalam
shalat Shubuh yang pada malamnya turun hujan dan tampak di wajahnya bekas air
dan tanah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa yang utama adalah tidak
mengusapnya sebelum selesai salam.
34. Apakah hukumnya saling berjabat
tangan setelah selesai shalat, apakah ada bedanya antara shalat fardhu dan
shalat sunnah?
Jawab: Saling berjabat tangan pada
dasarnya disyariatkan antara kaum muslimin saat saling berjumpa, dan Rasulullah
r
menjabat tangan para shahabatnya jika berjumpa dengan mereka, dan mereka jika
saling berjumpa saling berjabat tangan. Anas t dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata: “Adalah para shahabat
Rasulullah r jika mereka saling berjumpa mereka berjabat tangan dan jika mereka
datang dari safar (bepergian) mereka saling berpelukan”, dan terdapat dalam
Ash-Shahihain bahwa Thalhah bin Ubaidillah
- salah seorang yang mendapat khabar gembira masuk syurga - berdiri dari
halaqah (perkumpulan) bersama nabi r untuk menemui Ka’ab bin Malik t tatkala taubatnya diterima Allah (dalam kisah tertinggalnya dia
dalam perang Tabuk -pent.) maka dia menyalaminya
serta mengucapkan selamat atas diterima taubatnya, itu adalah riwayat yang
masyhur dikalangan kaum muslimin pada zaman nabi dan sesudahnya, begitu juga terdapat riwayat
dari Rasulullah r bahwa dia bersabda:
(( مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقَيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا
كَمَا يَتَحَاتُّ عَن الشَّجَرَةِ وَرَقُهَا ))
“Tidaklah dua orang
muslim yang saling berjumpa dan berjabat tangan kecuali dosa keduanya gugur
sebagaimana dedaunan yang berguguran dari pohonnya."
Disunnahkan untuk saling berjabat
tangan saat berjumpa di masjid atau dalam barisan (shalat), jika tidak sempat
berjabat tangan sebelumnya (sebelum shalat) maka dapat berjabat tangan
setelahnya sebagai realisasi sunnah yang agung ini juga sebagai upaya untuk
menumbuhkan kasih sayang dan menghalau percekcokan.
Akan tetapi jika tidak sempat
melakukannya sebelum shalat maka disyariatkan melakukannya sesudah shalat
setelah selesai melakukan zikir yang disyariatkan. Adapun yang dilakukan
sebagian orang dengan segera berjabat tangan setelah salam dari shalat fardhu
maka saya tidak mengetahui adanya dalil dalam masalah tersebut, justru yang
lebih jelas adalah makruhnya perbuatan tersebut karena tidak adanya dalil atas
masalah tersebut dan karena orang yang shalat pada saat itu disyariatkan untuk
segera berzikir yang telah disyariatkan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah r selesai shalat fardhu.
Adapun dalam shalat sunnah maka
disyariatkan untuk saling berjabat tangan setelah salam jika belum sempat
berjabat tangan sebelumnya, jika sudah melakukannya sebelumnya maka tidak perlu
lagi melakukannya.
35. Apakah terdapat riwayat yang
menunjukkan anjuran berpindah tempat untuk melakukan shalat sunat setelah
selesai shalat fardhu?
Jawab: Sejauh yang saya ketahui tidak
terdapat hadits shahih tentang hal tersebut, akan tetapi Ibnu Umar
radiallahuanhuma dan banyak para salaf yang melakukannya. Dalam hal ini
masalahya luwes -Alhamdulillah-. Terdapat hadits dha’if pada Abu Daud
rahimahullah yang dikuatkan oleh perbuatan Ibnu Umar radiallahuanhuma dan
salafusshalih lain yang mengerjakannya.
36. Terdapat anjuran untuk
mengucapkan:
(( لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
))
Sebanyak sepuluh kali setelah shalat
fajar dan shalat maghrib, apakah terdapat riwayat shahih tentang masalah
tersebut?
Jawab: Terdapat beberapa hadits shahih
dalam masalah ini, semuanya menunjukkan disyari’atkannya zikir diatas setelah
shalat maghrib dan shalat shubuh.
Yaitu
dengan mengucapkan:
(( لاَ
إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِى
وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ))
Sebanyak sepuluh kali. Maka
disyariatkan bagi setiap mu’min dan mu’minah untuk membiasakannya setiap
selesai dari kedua shalat tersebut. Membacanya setelah selesai membaca wirid
yang biasa dibaca setelah selesai shalat lima
waktu, yaitu:
أَسْتَـغْـفِـرُ
الله َ .( 3 kali )
اَللَّــهُمَّ
أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ
وَاْلإكْرَامِ
Adapun jika dirinya menjadi imam maka
disyari’atkan untuk berbalik menghadapkan
mukanya kepada jamaah setelah mengucapkan:
أَسْتَـغْـفِـرُ
الله َ .( 3 kali )
اَللَّــهُمَّ
أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ
وَاْلإكْرَامِ
Untuk meneladani Nabi r dan bagi imam saat berbalik boleh kekiri dan kekanan, karena Rasulullah r melakukan keduanya.
Disunnahkan juga setelah shalat dan
setelah melakukan zikir diatas untuk membaca:
(( سُبْحَانَ الله )) (( الحَمْدُ لله )) ((
الله أَكْبَرُ ))
Sebanyak tiga puluh tiga kali, sehingga
berjumlah sembilan puluh sembilan kali, maka dilengkapi hingga seratus dengan
membaca:
(( لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
))
Karena terdapat riwayat yang shahih
dari Nabi r anjuran untuk masalah tersebut dengan penjelasan bahwa hal
tersebut merupakan salah satu sebab turunnya ampunan.
Disyariatkan juga bagi orang yang
shalat setelah selesai shalat lima waktu untuk
membaca ayat kursi setelah zikir-zikir yang disebutkan diatas dan juga membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas,
dan disunnahkan untuk membaca ketiga surat
ini sebanyak tiga kali berdasarkan riwayat yang shahih dalam masalah tersebut.
SHALAT
BERJAMAAH DAN PERSOALAN
IMAM
DAN MA’MUM
37. Banyak kalangan muslim saat ini dan
bahkan kalangan terpelajarnya yang meremehkan shalat berjamaah dengan alasan
bahwa ada sebagian ulama yang tidak mewajibkannya. Apakah hukumnya shalat
berjamaah dan apa nasehat anda terhadap mereka?
Jawab: Shalat berjamaah bersama kaum
muslimin di masjid bagi setiap kaum laki-laki yang mampu (menghadirinya) dan
mendengarkan azan tidak diragukan lagi wajib hukumnya menurut pendapat yang
paling shahih diantara beberapa pendapat para ulama. Berdasarkan hadits
Rasulullah r :
(( مَنْ
سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ ))
“Siapa yang mendengar
azan dan tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada
uzur.“ (Riwayat Ibnu Majah, Daruqutni, Ibnu
Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih).
Ibnu Abbas saat ditanya tentang uzur
apa yang dimaksud, maka dia berkata: “ketakutan dan sakit”. Dan dalam Shahih
Muslim dari Abu Hurairah radiallahuanhu dari Rasulullah r, bahwa datang kepadanya (Rasulullah r) seorang buta, lalu berkata : “ Wahai Rasulullah, tidak ada orang
yang menuntunku ke masjid, apakah bagiku terdapat keringanan untuk shalat di
rumahku? Maka Rasulullah r berkata kepadanya: “Apakah
engkau mendengar azan?” dia berkata: “Ya”, beliau bersabda: “Maka
sambutlah (dengan mendatanginya shalat berjamaah di masjid)”.
Terdapat juga dalam Ash-Shahihain dari
Abu Hurairah t, dari Rasulullah r, dia bersabda:
(( لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ النَّاسَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامُ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمُّ
النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حَزْمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ
يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ ))
“Sungguh aku ingin sekali
memerintahkan orang-orang untuk shalat, kemudian shalat dilaksanakan dan ada
orang lain yang menjadi imam, kemudian aku pergi bersama sejumlah orang dengan
membawa seikat kayu bakar kepada satu kaum yang tidak menghadiri shalat
(berjamaah) maka aku bakar rumah-rumah mereka “
Semua hadits-hadits diatas dan hadits
lainnya yang senada menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi orang
laki dan adanya hukuman berat bagi orang yang meninggalkannya, seandainya tidak
wajib niscaya tidak akan mendapat hukuman seberat itu. Begitu juga halnya
shalat di masjid merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan juga sarana untuk
saling kenal sesama muslim dan menumbuhkan rasa kasih sayang dan menghilangkan
permusuhan sementara meninggalkannya menyerupai perbuatan orang munafiq, maka
hendaknya hal ini menjadi perhatian kita. Adanya perbedaan pendapat dalam
masalah ini bukanlah alasan untuk meninggalkan jamaah, karena setiap ucapan
yang bertentangan dengan dalil syar’i wajib untuk disingkirkan dan tidak
dijadikan pegangan, berdasarkan firman Allah I :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
“ (An-Nisa: 59)
Allah juga berfirman:
“Tentang sesuatu apapun
kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah” (Asy-Syuura: 10)
Terdapat riwayat dalam Sahih Muslim
dari Abdullah bin Mas’ud t, dia berkata: “Kami menyaksikan sendiri bahwa tidak ada yang
meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali munafik atau orang sakit, dan bahkan
kadang-kadang orang sakit tersebut tetap dibawa berjamaah dan dipapah oleh dua
orang hingga dapat berdiri dalam barisan”
Tidak diragukan lagi bahwa riwayat
diatas menunjukkan besarnya perhatian para sahabat terhadap shalat berjamaah di
masjid hingga kadang-kadang mereka membawa orang yang sakit dan kemudian
dipapah oleh dua orang hingga dapat berdiri dalam barisan, hal tersebut
menunjukkan perhatian mereka yang sangat terhadap shalat berjamaah -semoga Allah
meridhai mereka semua-
38. Terdapat perbedaan pendapat ulama
dalam hal bacaan ma’mum yang berada dibelakang imam, manakah yang benar? Apakah
membaca Al-Fatihah wajib bagi ma’mum? Kapan ma’mum membacanya jika imam tidak
melakukan saktah (berdiam sesaat) yang memungkinkan ma’mum untuk membacanya?
Apakah disyariatkan bagi imam untuk berdiam sejenak setelah membaca Al-Fatihah
untuk memungkinkan bagi ma’mum membaca Al-Fatihah?
Jawab: Yang benar, wajib membaca
Al-Fatihah bagi ma’mum dalam semua shalat, baik yang bacaannya dikeraskan atau
tidak berdasarkan hadits Rasulullah r :
(( لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))
“Tidak ada shalat bagi
siapa yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Al-Fatihah)” (Muttafaq alaih).
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r :
(( لَعَلَّكُمْ تَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ
؟" قُلْنَا: نَعَمْ . قَالَ: (( لاَ تَفْعَلُوْا إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا )) أخرجه الإمام أحمد بإسناد
صحيح.
“Tampaknya kalian membaca
sesuatu dibelakang imam kalian?” kami
berkata:”Ya”, beliau bersabda:” Jangan lakukan hal itu kecuali dengan
(membaca) Al-Fatihah, karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya“
(Riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang shahih ).
Seharusnya dibaca pada saat imam terdiam
sejenak (saktah), jika hal tersebut tidak dilakukan imam dia harus tetap
membacanya walaupun imam sedang membaca (surat),
setelah itu dia mendengarkan imam.
Hal ini (membaca Al-Fatihah saat imam
sedang membaca surat)
merupakan bentuk pengecualian dari umumnya dalil yang mewajibkan untuk diam dan
mendengarkan bacaan imam, akan tetapi jika ma’mum lupa membacanya atau
meninggalkannya karena tidak tahu atau berpendapat tidak wajib, maka tidaklah
mengapa baginya dan cukup baginya bacaan imam menurut jumhur ulama. Begitu juga
seandainya imam dalam keadaan ruku’ maka dia dapat langsung ruku’ bersamanya
dan mendapatkan satu rakaat serta gugur kewajibannya membaca Al-Fatihah karena
tidak ada kesempatan baginya. Berdasarkan riwayat dari hadits Abi Bakrah Ats-Tsaqofy,
bahwa dia datang kepada Rasulullah r yang sedang dalam keadaan ruku’, maka serta merta dia ikut ruku’
tanpa masuk ke dalam barisan, maka tatkala Rasullah r salam, dia bersabda: “Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu,
akan tetapi jangan ulangi“ (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya) dan beliau tidak memerintahkannya untuk
mengganti rakaat tersebut. Sedangkan
makna hadits “Jangan ulangi” maksudnya jangan mengulangi untuk melakukan
ruku’ sebelum masuk kedalam barisan shalat, dengan demikian dapat dipahami
bahwa bagi siapa yang masuk masjid sedangkan imam dalam keadaan ruku’, maka
hendaknya dia tidak ruku’ kecuali setelah masuk kedalam barisan meskipun
resikonya dia tidak mendapatkan ruku’, berdasarkan hadts Rasulullah r :
(( إِذَا
أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَامْشُوْا وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )) متفق عليه.
“Jika kalian mendatangi
shalat maka jalanlah kalian dengan tenang, apa yang kalian dapati maka
shalatlah dan yang tertinggal maka sempurnakanlah “
(Muttafq alaih).
Adapun hadits:
(( مَنْ
كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ ))
“Siapa yang memiliki imam
maka bacaannya (imam) adalah bacaan dia (ma’mum) “
Itu adalah hadits dha’if (lemah) yang
tidak dapat dijadikan dalil dikalangan ulama, seandainyapun shahih maka
(membaca) Al-Fatihah merupakan pengecualian sebagai kompromi antara beberapa
hadits.
Adapun saktah (berhenti sejenak)
setelah Al-Fatihah, tidak terdapat riwayat shahih tentang hal tersebut
sedikitpun sebagaimana yang saya pahami, akan tetapi masalahnya fleksibel insya
Allah dan siapa yang melakukannya tidaklah mengapa, karena tidak terdapat
sedikitpun riwayat tentang hal tersebut dari Rasulullah r, yang ada hanyalah dua saktah: pertama saktah setelah Takbiratul
Ihram yang disyari’atkan didalamnya membaca istiftah, dan yang kedua setelah
selesai membaca surat dan sebelum ruku’ yaitu berdiam sebentar sebagai penyela
antara membaca surat dan takbir. Wallahu waliyuttaufiq.
39. Terdapat hadits shahih yang
melarang untuk mendatangi masjid bagi siapa yang memakan bawang merah dan
bawang putih atau daun bawang. Apakah termasuk didalamnya apa saja yang
menyebabkan bau tak sedap seperti rokok? Apakah itu artinya bahwa bagi siapa
saja yang menkonsumsinya, memiliki alasan untuk tidak shalat berjamaah dan
tidak berdosa karenanya?
Jawab: Terdapat riwayat yang tsabit dari
Rasulullah r, beliau bersabda:
(( مَنْ
أَكَلَ ثَوْمًا أًوْ بَصَلاً فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَلْيُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ
))
“Siapa yang memakan
bawang merah atau bawang putih maka hendaknya jangan mendekati masjid kami,
hendaklah dia shalat di rumahnya “
Beliau r juga bersabda:
(( إِنَّ
المَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُوْ الإِنْسَانِ ))
“Sesungguhnya malaikat
merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu “
Apa saja yang mendatangkan bau yang tak
sedap, maka hukumnya seperti hukum bawang, seperti menghisap rokok, begitu juga
bagi siapa yang memiliki bau tak sedap pada ketiaknya atau yang lainnya yang
dapat mengganggu orang disekelilingnya, maka dimakruhkan baginya shalat
berjamaah hingga dia menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tersebut,
dan wajib baginya untuk menghilangkan bau tersebut selagi dia mampu agar dapat
menunaikan apa yang Allah wajibkan kepadanya berupa shalat berjamaah.
Adapun rokok, maka hukumnya haram
secara mutlak wajib baginya untuk meninggalkannya dalam semua kesempatan karena
banyaknya mudharat yang terdapat didalamnya, baik terhadap agama, fisik dan
harta. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan menunjukkannya kepada
setiap kebaikan.
40. Apakah shaf (barisan) dimulai dari
kanan atau dari belakang imam? Dan apakah disyariatkan untuk menyeimbangkan
sisi kanan dan kiri, sehingga banyak imam yang mengatakan: seimbangkanlah barisan?
Jawab:
Barisan dimulai dari tengah setelah imam dan sisi kanan imam lebih utama
dari kirinya, seharusnya tidak memulai shaf baru kecuali setelah shaf terdepan
telah penuh dan tidak mengapa jika dalam barisan sisi kanannya lebih banyak.
Tidak perlu disamakan (sisi kanan dan kirinya) bahkan memerintahkan hal
tersebut tidak sesuai dengan sunnah, akan tetapi jangan membuat barisan kedua
kecuali setelah barisan pertama telah penuh dan barisan ketiga kecuali barisan
kedua telah penuh, begitu seterusnya barisan berikutnya, karena terdapat riwayat
Rasulullah r bahwa beliau memerintahkan hal tersebut.
41. Apa pendapat Syaikh tentang orang
yang shalat fardlu dibelakang orang yang shalat sunat?
Jawab: Tidak mengapa orang yang shalat
fardhu mengikuti orang yang shalat sunat, karena terdapat riwayat dari
Rasulullah r bahwa beliau diantara beberapa macam shalat Khauf ikut shalat
bersama satu kelompok dua rakaat kemudian salam, kemudian ikut shalat lagi
bersama kelompok yang lain dua rakaat dan kemudian salam. Maka shalat yang
pertama adalah fardhu sedangkan yang kedua adalah sunat sedangkan orang-orang
dibelakangnya melakukan shalat fardhu. Terdapat riwayat yang shahih dari Mu’az
bin Jabal t, bahwa dia shalat Isya bersama Rasulullah r, kemudian dia kembali kepada kaumnya dan ikut melakukan shalat bersama
mereka, maka itu baginya shalat sunat dan bagi mereka adalah shalat fardhu, dan
yang semisalnya jika seseorang datang pada bulan Ramadhan sedang mereka sedang
melaksanakan shalat tarawih sedangkan dia belum melakukan shalat Isya, maka dia
dapat melakukan shalat Isya bersama mereka agar dapat meraih keutamaan shalat
berjamaah dan jika imam salam dia berdiri dan meneruskan shalatnya.
42. Apa hukumnya orang yang shalat
sendirian dibelakang shaf? Dan jika seseorang masuk ke masjid dan dia tidak
mendapatkan tempat yang lowong dalam barisan, apa yang dia lakukan? Dan jika
dia dapati anak kecil yang belum baligh apakah dapat dia ikutkan dalam barisan?
Jawab: Shalatnya orang yang sendirian
di belakan shaf adalah batal, berdasarkan hadits Rasulullah r :
(( لاَ
صَلاَةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ ))
“Tidak ada shalat bagi
orang yang shalat sendirian dibelakang shaf“
Begitu juga terdapat riwayat dari
Rasulullah r bahwa beliau memerintahkan seseorang yang shalat sendirian
dibelakang shaf untuk mengulangi shalatnya dan dia tidak bertanya kepadanya
apakah terdapat tempat yang lowong atau tidak? Maka hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada bedanya
antara orang yang tidak mendapat tempat yang lowong dengan orang yang mendapatkannya sebagai upaya untuk menghindari sikap
memudahkan dalam masalah shalat sendirian dibelakang shaf.
Akan tetapi jika seorang yang masbuk
(ketinggalan shalat berjamaah), sedangkan imam dalam keadaan ruku’ dan ia ikut
segera ruku’ sebelum masuk kedalam shaf dan kemudian setelah itu baru masuk ke
dalam shaf, maka shalatnya menjadi sah, berdasarkan riwayat dari Rasulullah r dalam shahih Bukhari dari Abu Bakrah Ats-Tsaqofi t, seseorang datang untuk shalat sedangkan Rasulullah sedang ruku’, maka dia segera ruku’ baru
kemudian masuk ke dalam shaf, maka bersabda Rasulullah setelah salam: “Semoga Allah menambahkan
kesungguhan kepadamu dan jangan ulangi lagi “ beliau tidak menyuruhnya untuk
mengganti rakaat tersebut. Adapun yang datang saat imam sedang shalat sedang
dia tidak mendapatkan tempat yang lowong maka hendaknya dia menunggu hingga ada
orang yang dengannya dia dapat membuat shaf
meskipun cuma seorang anak kecil yang berusia tujuh tahun keatas, atau
dia maju kesisi kanan imam menjadi barisannya, sebagai pengamalan dari seluruh
hadits yang ada.
43. Apakah diharuskan bagi imam untuk
melakukan niat menjadi imam. Dan jika seseorang masuk masjid kemudian
didapatinya ada seseorang yang shalat, apakah dia boleh bermakmum kepadanya?
Apakah dibolehkan bermakmum kepada orang yang masbuk?
Jawab: Disyaratkan bagi imam untuk niat
menjadi imam, berdasarkan hadits Rasulullah r
(( إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ))
“Sesungguhnya setiap
perbuatan harus dengan niat, dan bagi setiap orang tergantung apa yang
diniatkannya “
Jika seseorang masuk masjid dan
ketinggalan shalat berjamaah kemudian dia mendapati ada orang yang shalat
sendirian, maka tidak mengapa baginya untuk ikut shalat bersamanya menjadi
makmum, bahkan hal tersebut lebih utama berdasarkan hadits Rasulullah r tatkala melihat seseorang yang masuk masjid sedangkan shalat telah
seselai “Adakah seseorang yang hendak bersedekah dengan melakukan shalat
bersamanya“. Dengan demikian semuanya akan mendapatkan keutamaan berjamaah.
Hal tersebut jika shalat telah dilaksanakan. Adalah sahabat Mu’az t shalat ‘Isya bersama Rasulullah r, kemudian ketika kembali kepada kaumnya dia ikut melakukan shalat
yang sama, maka baginya hal itu adalah shalat sunat dan bagi mereka shalat
fardhu dan Rasulullah r telah menyetujui hal tersebut.
Adapun terhadap makmum masbuq, maka
tidak mengapa ikut shalat bersamanya bagi yang ketinggalan jamaah dengan
harapan mendapatkan keutamaan jamaah dan jika makmum masbuq itu menyelesaikan
shalatnya, maka makmumnya berdiri dan meneruskan shalat hingga selesai. Hal
tersebut berdasarkan umumnya dalil-dalil yang ada dan hukum ini berlaku umum
untuk semua shalat yang lima waktu, berdasarkan hadits Rasulullah r terhadap Abu Zar t tatkala diberitakan kepadanya tentang kedatangan beberapa orang
pemimpin yang menunda shalatnya, maka beliau bersabda: “Shalatlah pada
waktunya, jika dapati mereka maka shalatlah bersama mereka, maka bagimu hal itu
adalah nafilah (sunat) dan jangan engkau mengatakan: aku telah shalat maka aku
tidak shalat “
44. Apakah yang didapati makmum masbuq
dari rakaat imam termasuk awal shalatnya atau akhir shalatnya. Misalnya jika
dia tertinggal dua rakaat dari shalat yang empat rakaat, apakah dia harus
membaca surat
setelah Al-Fatihah?
Jawab: Yang benar apa yang didapati
makmum masbuq dari rakaat imamnya adalah awal shalatnya dan apa yang
disempurnakannya adalah akhir shalatnya. Itu semua berlaku bagi semua shalat,
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَامْشُوْا وَعَلَيْكُم السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )) متفق على صحته.
“Jika shalat dilaksanakan
berjalanlah kalian (ke tempat shalat) dengan tenang, apa yang kalian dapatkan
ikutlah shalat bersamanya sedang yang tertinggal maka sempurnakanlah “ (Muttafaq alaih).
Dengan demikan maka disunnahkan untuk
hanya membaca surat Al-Fatihah saja pada rakaat ketiga dan keempat pada shalat
yang empat rakaat, pada rakaat ketiga pada shalat maghrib, berdasarkan riwayat
yang terdapat dalam Ash-Shahihain dari Abi Qatadah t, dia berkata : “ Adalah Rasullullah r pada shalat Zuhur dan Ashar membaca surat Al-Fatihah dan surat
lainnya pada dua rakaat pertama dan pada dua rakaat terakhir membaca Al-Fatihah
“
Dan jika seseorang kadang-kadang
membaca surat lain setelah Al-Fatihah pada
rakaat ketiga dan keempat maka hal tersebut baik, berdasarkan riwayat Muslim
dari Abu Said t, dia berkata : “Adalah Rasulullah pada dua rakaat pertama pada shalat Zuhur
membaca surat sekadar surat As-Sajadah, sedangkan pada dua rakaat
terakhir sekadar setengahnya dari itu.
Adapun pada dua rakaat pertama shalat Ashar bacaannya sekadar dua rakaat
terakhir shalat Zuhur sedang dua rakaat terakhir setengahnya” maka untuk
dapat mengkompromikan kedua hadits ini, dapatlah dikatakan bahwa Rasulullah r melakukan hal tersebut (membaca surat setelah Al-Fatihah pada dua rakaat
terakhir shalat Zuhur) hanya kadang-kadang saja.
45. Karena banyaknya jamaah shalat
Jum’at disebagian masjid, maka ketika masjid telah penuh sebagian orang shalat
di jalan-jalan dan gang-gang dengan tetap mengikuti imam, apa pendapat syaikh
tentang masalah ini? Apakah ada bedanya antara jalan yang langsung berhubungan
dengan masjid dengan jalan yang terdapat pemisah antara orang yang shalat
dengan masjid?
Jawab:
Jika barisannya bersambung maka tidak mengapa (shalat di jalan-jalan),
begitu juga jika makmum yang diluar masjid melihat adanya barisan yang ada di
depan mereka atau mendengar takbir meskipun antara mereka dipisahkan jalan
tidaklah mengapa karena mereka mampu untuk melihat atau mendengar dan karena
wajibnya shalat berjamaah. Akan tetapi tidak boleh ada yang shalat didepan imam
karena itu bukan tempatnya makmum.
46. Jika makmum mendapatkan imam dalam
keadaan ruku’, apakah yang seharusnya dilakukan makmum saat itu? Apakah
disyaratkan untuk dapat dikatakan mendapatkan satu rakaat dengan mengatakan “سبحان ربي العظيم” sebelum imam bangun dari ruku’?
Jawab: Jika makmum mendapatkan imam
dalam keadaan ruku’, maka dia mendapatkan satu rakaat walaupun tidak sempat
membaca tasbih, kecuali jika imam sudah terlanjur berdiri, berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ )) أخرجه مسلم في صحيحه.
“Siapa yang mendapatkan
satu rakaat dari shalat maka dia telah mendapatkan shalat“ (Riwayat Muslim dalam Shahihnya)
Umum diketahui bahwa rakaat didapatkan
dengan mendapatkan ruku’, berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Abu
Bakrah Ats-Tsaqofi t, bahwa suatu hari beliau datang ke masjid saat nabi dalam keadaan
ruku’, maka dia segera ruku’ sebelum masuk kedalam shaf (barisan), maka setelah
selesai salam, Rasulullah r bersabda: “Semoga Allah menambahkan kesungguhan kepadamu dan
jangan ulangi lagi”. Beliau tidak memerintahkan untuk mengqadha rakaat
tersebut, tetapi cuma melarang untuk mengulangi perbuatannya yaitu ruku’
sebelum masuk shaf, maka hendaknya bagi makmum masbuq jangan tergesa-gesa untuk
ruku’ sebelum memasuki barisan.
47. Sebagian imam ada yang menunggu
orang yang masuk masjid untuk mendapatkan ruku’, sebagian lainnya mengatakan:
tidak disyariatkan untuk menunggu? Manakah yang benar?
Jawab: Yang benar adalah
disyariatkannya menunggu sebentar supaya orang yang masuk tersebut dapat ikut
dalam barisan untuk meneladani apa yang dilakukan Rasulullah r dalam masalah ini.
48. Jika seseorang mengimami dua anak
kecil atau lebih, apakah mereka ditempatkan di belakangnya atau di samping
kanannya? Apakah usia baligh merupakan syarat untuk menempatkan seorang anak
dalam barisan?
Jawab: Yang benar adalah menempatkan
mereka di belakang sebagaimana orang mukallaf jika usianya telah mencapai tujuh
tahun atau lebih. Begitu juga ditempatkan di belakang jika mereka terdiri dari
seorang anak kecil dan seorang mukallaf, karena Rasulullah r tatkala mengunjungi kakek Anas, beliau shalat bersama Anas dan seorang anak yatim
dan menempatkan mereka di belakang. Begitu juga halnya tatkala shalat
bersamanya Jabir dan Jabbar dari kalangan Anshar, dia menempatkan mereka di
belakang.
Adapun jika makmumnya cuma seorang,
maka ditempatkan disisi kanannya, baik orang dewasa maupun anak kecil, karena
Rasulullah r tatkala Ibnu Abbas ikut shalat malam bersamanya dan berada disisi
kirinya maka beliau memutarnya hingga berada disisi kanannya. Begitu juga halnya Anas t shalat bersama Nabi r dalam sebagian shalat sunat dan ditempatkannya disisi kanannya.
Sedangkan wanita seorang atau lebih, maka tempatnya debelakang laki-laki dan tidak boleh sebaris dengan imam
juga dengan laki-laki, karena Rasulullah r tatkala shalat bersama Anas dan seorang yatim menempatkan Ummu
Sulaim di belakang mereka, padahal dia ibunya Anas.
49.
Sebagian orang ada yang berkata:
Tidak boleh mendirikan jama’ah yang lain dalam satu masjid setelah
selesainya jamaah shalat (yang pertama). Apakah hal tersebut ada dalilnya? Mana
yang benar?
Jawab: Pendapat tersebut tidaklah benar
dan tidak memiliki dalil syara’ yang suci ini sebagaimana yang saya ketahui,
bahkan sunnah yang shahih menunjukkan sebaliknya, yaitu hadits Rasulullah r yang berbunyi:
(( صَلاَةُ
الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الفَذِّ بِسَبْعِ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً))
“Shalat jamaah lebih
utama dua puluh derajat daripada shalat sendirian “
Begitu juga hadits yang lainnya:
(( صَلاَةُ
الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ ))
“Shalatnya seseorang
bersama seseorang (berjamaah) lebih suci daripada shalatnya seorang diri “
Juga hadits Rasulullah saat melihat
seseorang yang masuk masjid tatkala shalat berjamaah telah selesai
dilaksanakan:
(( مَنْ
يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّي مَعَهُ ))
“Siapa yang hendak
bersedekah kepadanya maka shalatlah bersamanya “
Akan tetapi tidak boleh bagi setiap
muslim untuk menyengaja meninggalkan shalat berjamaah, justru yang wajib
baginya adalah segera berangkat untuk shalat berjamaah tatkala mendengarkan
azan.
50. Jika sang imam batal wudhunya saat
shalat, apakah dia harus menunjuk seseorang untuk menggantikannya menjadi imam
shalat atau apakah semua jamaah batal shalatnya dan kemudian dia memerintahkan
seseorang untuk mengimami shalat dari awal?
Jawab: Yang benar, bagi imam untuk
menunjuk seseorang agar menggantikannya menjadi imam untuk meneruskan shalat
yang tersisa, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab t tatkala dirinya ditikam saat mengimami shalat, maka dia menunjuk
Abdurrahman bin ‘Auf t untuk meneruskan shalat Fajar. Jika imam tidak menunjuk seseorang,
maka salah seorang ada yang maju dan meneruskan shalat. Jika mereka memulai
shalat dari awal juga tidak mengapa karena hal ini adalah masalah khilafiyah
antara para ulama, akan tetapi yang lebih kuat adalah imam menunjuk seseorang
untuk meneruskan shalat sebagaimana yang kami sebutkan berdasarkan perbuatan
Umar t.
Jika mereka memulai dari pertama juga tidak mengapa. Wallahu a’lam.
51. Apakah jamaah didapatkan dengan
mendapatkan salamnya imam atau ruku’nya imam, jika seseorang mendapatkan imam
dalam keadaan tasyahud akhir, apakah lebih utama baginya untuk ikut bersama
imam atau menunggu imam selesai salam dan dia shalat bersama jamaah (yang
baru)?
Jawab: Jamaah tidak didapatkan kecuali dengan
mendapatkan rakaat, berdasarkan hadits Rasulullah: “Siapa yang mendapatkan
rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat“ (Riwayat Muslim
dalam Shahihnya) Akan tetapi siapa yang
memiliki uzur (halangan) syar’i, maka dia tetap mendapatkan keutamaan jamaah
meskipun dia tidak shalat bersama imam, berdasarkan hadits Rasulullah:
(( إِذَا
مَرَضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ وَهُوَ صَحِيْحٌ
مُقِيْمٌ)) رواه البخاري في الصحيح.
“Jika seseorang sakit
atau bepergian, maka Allah menetapkan baginya balasan sebagaimana yang dia
lakukan dalam keadaan sehat atau menetap “
(Riwayat Bukhari dalam Shahihnya)
Juga berdasarkan hadits Rasulullah
dalam perang Tabuk:
(( إِنَّ
فِيْ الْمَدِيْنَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيْرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا
إِلاَّ وَهُمْ مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ )) وفي رواية (( إِلاَّ شَرَكُوْكُمْ
فِيْ الأَجْرِ ))
“Sesungguhnya di Madinah
terdapat sejumlah orang yang tidak ikut dalam perjalanan dan tidak menelusuri
lembah, kecuali mereka bersama kalian, mereka terhalang oleh uzur (halangan)
yang ada pada mereka” dalam sebuah riwayat “ Kecuali mereka ikut mendapatkan
pahala seperti kalian “ (Muttafaq alaih)
Jika seseorang imam sedang tasyahhud
akhir maka ikut bersamanya lebih utama berdasarkan hadits Rasulullah:
(( إِذَا
أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَأْتُوْهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )) متفق عليه.
“Jika kalian mendatangi
shalat maka datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan
yang tertinggal maka sempurnakanlah”
(Muttafaq alaih). Seandainya mereka membuat jamaah lagi juga tidak mengapa insya
Allah.
52. Kami memperhatikan sebagian orang
saat masuk masjid untuk shalat fajar dan iqamat telah dilakukan, dia tetap
shalat sunat fajar dua rakaat, setelah itu ikut imam, apakah hukumnya hal
tersebut? Manakah yang utama antara shalat sunat fajar setelah shalat subuh
langsung atau menunggu hingga terbitnya matahari?
Jawab: Tidak boleh bagi yang masjid
sementara iqamat sudah dilakukan untuk melakukan shalat rawatib atau tahiyyatul
masjid, justru yang wajib baginya adalah ikut shalat bersama imam berdasarkan
hadits Rasulullah :
(( إِذَا
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلَّا الْمَكْتُوْبَةُ )) أخرجه مسلم في
صحيحه.
“Jika iqamat telah
dilaksanakan, maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu “ (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya)
Hadits ini berlaku umum, untuk shalat Fajar dan yang lainnya, kemudian
setelah itu dia boleh memilih, apakah shalat sunat rawatib langsung setelah
selesai shalat fardhu atau menundanya hingga matahari meninggi dan itulah yang
lebih utama, karena terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah yang
menunjukkan keduanya.
53. Seseorang menjadi imam kami dalam
shalat, kemudian dia melakukan salam sekali saja. Apakah boleh melakukan salam
sekali saja? Adakah riwayat dalam sunnah berkaitan dengan hal tersebut?
Jawab: Jumhur ulama berpendapat bahwa
satu salam cukup sebagai sahnya shalat, karena terdapat beberapa riwayat yang
menunjukkah hal tersebut, dan sejumlah ulama ada yang berpendapat bahwa salam
harus dilakukan dua kali karena adanya hadits-hadits yang shahih dari
Rasulullah berkaitan dengan hal
tersebut, dan berdasarkan hadits Rasulullah:
(( صَلُّوْا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي )) رواه البخاري في صحيحه.
“ Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat “
(Riwayat Bukhari dalam Shahihnya).
Dan inilah pendapat yang lebih benar.
Pendapat yang mengatakan bahwa satu
kali salam telah cukup adalah pendapat yang lemah, karena lemahnya
hadits-hadits dalam masalah ini dan tidak adanya kejelasan maksudnya.
Seandainyapun hadits ini shahih, maka hukumnya adalah syaz (tidak terpakai)
karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih dan lebih jelas. Akan
tetapi siapa yang melakukan hal pertama (sekali salam) karena tidak tahu atau
berkeyakinan dengan shahihnya hadits tentang hal tersebut, maka shalatnya sah.
54. Jika makmum masbuq ikut bersama
imam dan shalat bersamanya dua rakaat, kemudian setelah itu ternyata imam
shalat dengan lima rakaat, apakah satu rakaat tambahan itu dapat dihitung
menjadi rakaatnya sehingga dia hanya perlu menambah dua rakaat saja atau tidak
dihitung sehingga dia harus menambah tiga rakaat?
Jawab: Yang benar adalah bahwa rakaat
(tambahan) tersebut tidak dihitung, karena tidak berlaku dalam hukum syar’i,
maka seharusnya tidak perlu mengikuti imam pada rakaat tersebut bagi siapa yang
tahu bahwa rakaat tersebut adalah tambahan dan bagi makmum untuk tidak
menjadikannya sebagai rakaatnya.
Berkaitan dengan masalah yang
ditanyakan, maka wajib baginya untuk mengqadha tiga rakaat, karena pada
hakikatnya dia hanya mendapatkan satu rakaat saja.
55. Seorang imam shalat dengan
jamaahnya tanpa wudhu karena lupa. Apa hukum shalat tersebut pada tiga perkara
ini:
1. Jika dia ingat dipertengahan shalat.
2. Jika dia ingat setelah salam dan sebelum bubarnya jamaah.
3. Jika dia ingat setelah bubarnya jamaah.
Jawab: Jika dia tidak ingat kecuali
setelah salam, maka shalat bagi jamaahnya sah dan mereka tidak perlu
mengulanginya, sedangkan imam, dia harus mengulanginya.
Adapun jika ingatnya dipertengahan
shalat maka hendaknya dia menunjuk seseorang untuk menjadi imam meneruskan
shalat menurut salah satu pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama
berdasarkan kisah Umar t tatkala dirinya ditikam maka dia menunjuk Abdurrahman bin Auf t yang kemudian menjadi imam meneruskan shalat dan tidak
mengulanginya dari awal.
56. Apa hukumnya jika imam ternyata
adalah orang yang suka berbuat maksiat seperti merokok atau mencukur janggut
atau menjulurkan pakaiannya hingga ke bawah tumitnya (isbal) atau yang
semacamnya?
Jawab: Shalatnya sah jika dia
melakukannya sebagaimana yang Allah syari’atkan berdasarkan kesepakatan para
ulama, demikian juga halnya bagi orang yang shalat di belakangnya menurut
pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama.
Sedangkan orang kafir maka tidaklah sah
shalatnya dan shalat orang yang ada dibelakangnya karena tidak adanya syarat
yang ada padanya yaitu Islam.
57. Sebagaimana umum diketahui bahwa
tempat makmum jika dia sendirian adalah dibelakang imam. Apakah disyariatkan
baginya untuk mundur sedikit sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang?
Jawab: Disyariatkan bagi makmum jika
dia seorang diri untuk berada disisi kanan imam dalam posisi sejajar dan tidak
terdapat dalil syar’i yang menunjukkan selain itu.
SUJUD
SAHWI
58. Jika seorang yang shalat ragu:
Apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat, apa yang harus dia lakukan?
Jawab: Yang wajib baginya saat ragu
adalah berpedoman kepada yang diyakininya yaitu yang lebih sedikit. Jika
masalahnya seperti contoh di atas maka dia memilih yang ketiga dan kemudian
menyempurnakan rakaat yang keempatnya dan kemudian melakukan sujud sahwi
setelah itu salam, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا
شَكّض أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا
فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ لْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ
قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْساً شَفَّعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ
كَانَ صَلَّى تَمَاماً كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ )) خرجه الإمام مسلم في
صحيحه من حديث أبي سعيد الخدري t.
“ Jika salah seorang di
antara kalian ragu dan tidak tahu berapa rakaat dia telah melakukan shalat,
apakah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah dia membuang keraguannya
dan berpedoman dengan yang diyakininya kemudian sujud dua kali sebelum salam,
jika (ternyata) dia shalat lima rakaat maka dia menggenapkannya dan jika
(ternyata) rakaatnya tepat maka itu adalah pukulan bagi syaitan “ (Riwayat Imam Muslim
dalam Shahihnya dari Hadits Abi Said Al-Khudri t ).
Adapun jika dia memiliki dugaan kuat
terhadap salah satu diantara keduanya (kurang rakaatnya atau sudah benar) maka
dia dapat berpedoman terhadap dugaannya yang lebih kuat dan kemudian sujud sahwi setelah salam
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا
شَكَّ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ثُمَّ
يُسَلِّم ثُمَّ يَسْجُد سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ السَلاَمِ )) خرجه البخاري في الصحيح
من حديث بن مسعود t.
“Jika salah seorang
diantara kalian ragu dalam shalatnya, maka pilihlah yang benar dan kemudian
sempurnakan kemudian salam, kemudian sujud dua kali setelah salam “ (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Ibnu Masud t).
59. Sebagian imam melakukan sujud sahwi
setelah salam, dan sebagian lainnya sujud sebelum salam dan sebagian lainnya
sujud sekali sebelum salam dan sekali lagi setelah salam. Kapankah waktu
pelaksanaan sujud sahwi yang sebenarnya? Dan kapan dibolehkan untuk dilakukan
sesudahnya? Dan apakah penentuan sujud sebelum salam atau sesudahnya sebagai
sesuatu yang sunnah atau wajib?
Jawab: Dalam hal ini permasalahannya
luas, kedua cara tersebut dapat digunakan baik yang sebelum salam atau
sesudahnya karena hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah r menunjukkan hal tersebut,
akan tetapi yang lebih utama melakukan sujud sahwi sebelum salam, kecuali dalam
dua kondisi:
a. Jika dia melakukan salam dan ternyata masih kurang serakaat atau
lebih. Maka lebih utama baginya jika melakukan sujud sahwi setelah menyempurnakan
shalat dan mengucapkan salam, untuk mengikuti jejak Rasulullah r dalam masalah tersebut. Karena Rasulullah r tatkala selesai salam dan ternyata shalatnya masih kurang dua
rakaat dalam hadits Abi Hurairah dan serakaat dalam hadits Imran bin Hushain, maka
dia melakukan sujud sahwi setelah menyempurnakan shalatnya dan melakukan salam.
b. Jika dia ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat
shalatnya, tiga atau empat dalam shalat empat rakaat atau dua dan tiga dalam
shalat Maghrib atau satu dan dua dalam shalat Fajar, akan tetapi perkiraannya
lebih kuat kepada salah satu diantara keduanya yaitu kurang atau sempurna, maka
dia dapat berpedoman kepada yang lebih kuat perkiraannya dan sujud sahwi lebih
utama dilakukan setelah salam berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang telah
disebutkan pada jawaban no: 58.
60. Jika makmum masbuq lupa apakah dia
melakukan sujud sahwi? Dan kapan sujud tersebut dilakukan? Dan apakah bagi
makmum melakukan sujud sahwi jika dia lupa?
Jawab: Makmum tidak perlu melakukan
sujud sahwi jika dia lupa, cukup baginya mengikuti imamnya jika dia ikut
bersamanya sejak awal shalat, adapun makmum masbuq jika lupa maka dia harus
sujud sahwi, bersama imam atau seorang diri saat dia meneruskan shalat sesuai
keterangan terdahulu dalam dua jawaban no: 58 dan 59.
61. Apa ada syari’atnya melakukan sujud
sahwi dalam kondisi berikut:
a. Jika dia membaca surat
setelah Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir pada shalat empat rakaat?
b. Jika dia membaca surat
dalam sujud atau membaca سبحان ربي العظيم diantara dua sujud?
c. Jika dia membaca keras dalam shalat sirriah dan membaca pelan dalam
shalat jahriah?
Jawab:
Jika seseorang membaca surat dalam dua rakaat terakhir pada shalat yang
empat rakaat karena lupa, maka tidak disyariatkan baginya untuk melakukan sujud
sahwi, karena terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah r yang menunjukkan bahwa dia membaca surat setelah Al-Fatihah
sebagai tambahan dalam rakaat ketiga dan keempat pada shalat Zuhur. Dan juga
terdapat riwayat bahwa beliau memuji Amir yang membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada semua rakaat
shalatnya. Akan tetapi yang umum diketahui dari Rasulullah r adalah bahwa beliau hanya membaca Al-Fatihah pada rakaat ketiga
dan keempat sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Bukhari-Muslim dari Abi
Qatadah t.
Dan terdapat riwayat dari Abu Bakar
Ash-Shiddiq t bahwa dia pada rakaat ketiga shalat maghrib setelah Al-Fatihah
membaca:
Semua itu menunjukkan bahwa masalah ini
bersifat luwes.
Adapun orang yang membaca surat pada saat ruku’ atau sujud karena lupa maka dia
sujud sahwi, karena dilarang baginya untuk menyengaja membaca surat pada saat ruku’ dan sujud karena Nabi r melarang hal tersebut, maka jika dia membacanya karena lupa dalam
ruku’ dan sujud maka wajib baginya untuk sujud sahwi. Begitu juga halnya bagi
siapa yang lupa saat ruku’ membaca “سبحان ربي الأعلى”
dan bukan “سبحان
ربي العظيم”
atau lupa saat sujud dengan membaca “سبحان
ربي العظيم” dan bukan “سبحان
ربي الأعلى” maka wajib baginya untuk melakukan sujud
sahwi, karena dia meninggalkan perkara wajib karena lupa, adapun jika dia
menggabungkan keduanya dalam ruku’ maupun sujud karena lupa maka dia tidak
wajib untuk sujud sahwi, kalaupun dia sujud juga tidak mengapa berdasarkan
umumnya dalil dan masalah ini berlaku bagi imam, orang yang shalat seorang diri
(munfarid) dan makmum masbuq.
Sedangkan makmum yang ikut bersama imam
sejak awal shalat, maka dia tidak perlu melakukan sujud sahwi dalam masalah
ini, justru dia harus mengikuti imamnya, begitu juga jika dia mengeraskan
bacaan dalam shalat sirriyyah dan membaca pelan dalam shalat jahriyyah, tidak
harus baginya untuk sujud sahwi, karena Rasulullah r kadang-kadang memperdengarkan ayat (yang dibacanya) dalam shalat
sirriyyah.
JAMA’
DAN QASHAR SHALAT
62. Sebagian orang ada yang menyangka
bahwa jama’ dan qashar shalat merupakan dua hal yang harus selalu beriringan.
Tidak boleh qashar kalau tidak jama’ dan tidak boleh jama’ kalau tidak qashar,
apa pendapat syaikh tentang masalah ini?
Apakah yang lebih utama bagi seorang
musafir untuk melakukan qashar tanpa jama’, atau qashar dan jama’?
Jawab: Bagi siapa yang dibolehkan
baginya untuk mengqashar shalatnya yaitu musafir, maka boleh baginya untuk
menjama’, akan tetapi tidak harus selalu dilakukan keduanya, maka boleh baginya
untuk mengqashar shalat tanpa jama’. Dan meninggalkan jama’ lebih utama jika
dia menetap dan tidak bergerak sebagaimana yang dilakukan Rasulullah r di Mina saat menunaikan
haji wada’, dia melakukan qashar shalat tapi tidak jama’, sedangkan saat perang
Tabuk beliau mengqashar shalat dan menjama’. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah ini luwes. Maka Rasulullah r melakukan qashar dan jama’
jika sedang dalam perjalanan dan tidak menetap di satu tempat.
Adapun jama’, perkaranya lebih luas
lagi, karena boleh dilakukan oleh orang sakit, boleh juga bagi kaum muslimin
yang sedang berada didalam masjid saat turunnya hujan antara maghrib dan Isya
dan antara Zuhur dan Ashar tetapi tidak boleh bagi mereka untuk mengqashar
shalatnya, karena qashar shalat hanya berlaku bagi musafir.
63. Jika masuk satu waktu sedang dia
masih berada di tempatnya, kemudian berangkat safar sebelum melaksanakan shalat
apakah boleh baginya untuk melakukan qashar dan jama’ atau tidak? Begitu juga
halnya jika seseorang -misalnya- shalat Zuhur dan Ashar dengan qashar dan jama’
kemudian sampai ke kampungnya dalam waktu Ashar apakah tindakannya tersebut
dibenarkan sedangkan dia tahu saat melakukan qashar dan jama tersebut, bahwa
dia akan tiba di kampungnya pada waktu Ashar?
Jawab: Bagi seorang musafir yang masih
berada di kampungnya sendiri sedangkan waktu shalat sudah masuk, kemudian dia
berangkat sebelum shalat, maka disyariatkan baginya untuk melakukan qashar
shalat jika dia telah meninggalkan perkampungan tersebut menurut pendapat yang
lebih kuat dari dua pendapat ulama dan itu adalah pendapat jumhur.
Dan jika dia melakukan jama’ dan qashar
shalat dalam perjalanan kemudian tiba di kampungnya sebelum masuknya waktu yang
kedua atau saat waktu yang kedua, tidak diharuskan baginya untuk mengulanginya
karena dia telah melaksanakan shalat berdasarkan tuntunan syar’i, dan jika dia
ikut shalat bersama orang lain maka shalatnya bernilai sunat.
64. Apa pendapat syaikh tentang
perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, apakah ditentukan
berdasarkan jarak tertentu? Dan apa pendapat syaikh tentang orang yang niat
untuk menetap dalam perjalanannya lebih dari empat hari, apakah ada keringanan
baginya untuk mengqashar shalatnya?
Jawab: Jumhur ulama berpendapat bahwa
shalat yang karenanya boleh mengqashar shalat ditentukan, yaitu sehari semalam
perjalanan unta dan perjalanan kaki dalam sebuah perjalanan normal atau sekitar
80 km, karena umum diketahui bahwa (orang yang menempuh) jarak tersebut disebut
safar dan tidak demikian halnya jika kurang dari itu. Jumhur juga berpendapat
bahwa siapa yang berniat untuk menetap lebih dari empat hari maka wajib baginya
untuk menyempurnakan shalatnya dan melakukan puasa pada bulan Ramadhan.
Sedangkan jika jarak yang ditempuh lebih pendek dari itu maka boleh baginya
untuk melakukan jama’ dan qashar shalat dan tidak berpuasa karena asal hukum
bagi orang yang menetap adalah menyempurnakan shalat, sedang qashar shalat
disyariatkan jika dia benar-benar menempuh perjalanan. Terdapat riwayat dari
Rasulullah r: “Bahwa dia menetap dalam haji Wada’ empat hari lamanya,
mengqashar shalat, kemudian berangkat ke Mina dan Arafat”, hal tersebut
menunjukkan bolehnya qashar shalat bagi orang yang berniat untuk menetap selama
empat hari atau kurang. Adapun menetapnya Rasulullah r selama sembilan belas hari pada ‘Aamul Fath (tahun terjadinya
penaklukan kota
Makkah) di Makkah dan dua puluh hari di Tabuk, diperkirakan bahwa beliau tidak
menetap sekaligus, akan tetapi beliau menetap karena sebab yang tidak diketahui
kapan berakhir. Begitulah jumhur ulama memperkirakan masalah ini saat
Rasulullah r di Makkah pada saat hari penaklukannya (‘Aamul Fath) dan di Tabuk
saat perang Tabuk sebagai kehati-hatian dalam beragama dan mengamalkan hukum
asal, yaitu wajibnya shalat empat rakaat bagi mukimin (orang yang menetap) pada
shalat Zuhur, Ashar dan ‘Isya .
Adapun jika dia tidak menetap sekaligus
dan tidak tahu kapan akan berangkat, maka boleh baginya untuk mengqashar dan
menjama’ shalatnya serta tidak berpuasa hingga dia dapat menetap empat hari
sekaligus atau lebih atau pulang ke kampungnya.
65. Apa pendapat syaikh tentang masalah
menjama’ shalat pada saat turunnya hujan antara maghrib dan Isya pada waktu
sekarang ini di kota-kota yang jalan-jalannya beraspal dan keras serta diberi
cahaya lampu, sehingga tidak ada lagi kesulitan dan gangguan lumpur hujan?
Jawab: Tidak mengapa untuk melakukan
jama’ shalat antara Maghrib dan Isya atau Zuhur dan Ashar -menurut pendapat
yang lebih kuat di antara dua pendapat ulama- disebabkan hujan yang
membuat orang kesulitan untuk datang ke
masjid, begitu juga karena kondisi jalan yang licin atau banjir yang
memberatkan.
Dalil dari masalah tersebut adalah
hadits Rasulullah r yang terdapat dalam Ash-Shahihain dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma,
sesungguhnya Rasulullah r menjama’ antara(shalat) Zuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan
Isya” Muslim menambahkan dalam
riwayatnya “bukan karena takut, hujan dan safar (dalam perjalanan)”.
Maka hal tersebut menunjukkan bahwa
telah tetap dikalangan para shahabat radiallahuanhum, bahwa takut dan hujan
merupakan alasan bagi seseorang untuk menjama’ shalatnya sebagaimana dalam
perjalanan jauh, akan tetapi tidak boleh mengqashar shalat dalam kondisi
tersebut, yang dibolehkan hanya menjama’ saja sebab mereka sedang menetap tidak
dalam bepergian sedangkan qashar khusus merupakan keringanan dalam perjalanan.
66. Apakah niat merupakan syarat bagi
bolehnya menjama’ shalat? Banyak yang shalat Maghrib tanpa niat jama’ dan
setelah shalat mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk melakukan jama’ shalat
kemudian shalat Isya?
Jawab: Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dan yang rajih (lebih kuat) adalah
bahwa niat bukan merupakan syarat saat memulai shalat pertama, maka itu boleh
menjama’ shalat setelah selesai shalat yang pertama jika terdapat syaratnya,
yaitu: Takut, sakit dan hujan.
67. Mengenai masalah muwalat
(bersambung), kadang-kadang ada yang melaksanakan dengan menunda shalat yang
kedua hingga terdapat jeda beberapa saat
lalu mereka melakukan jama’. Apakah hukumnya hal tersebut?
Jawab: Muwalat merupakan hal yang wajib
dalam jama’ taqdim (menjama shalat pada waktu shalat yang pertama), diantara dua shalat harus dilaksanakan secara
beriringan, jika waktu jeda hanya sekedarnya dan tidak beberapa lama maka tidak
mengapa, sebagaiman riwayat dari Rasulullah r dalam masalah ini. Dan telah bersabda Rasulullah r : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Yang
benar bahwa niat bukanlah syarat sebagaimana yang telah diterangkan dalam
jawaban no: 66.
Sedangkan jama’ ta’khir (menjama’
shalat pada waktu shalat yang ke dua), maka masalahnya luwes. karena shalat yang kedua dilaksanakan pada
waktunya, akan tetapi yang utama adalah dengan melaksanakannya secara beriringan
untuk meneladani Rasulullah dalam masalah ini.
68. Jika kita dalam perjalanan dan
melewati masjid saat masuk waktu Zuhur -misalnya-, apakah disunnahkan bagi kita
untuk shalat Zuhur bersama jamaah kemudian kita shalat Ashar dengan qashar atau
kita shalat sendiri?
Apakah jika kita shalat bersama jamaah
dan kemudian kita hendak shalat Ashar, kita langsung bangun setelah salam agar
tercapai muwalat (beriringan), apa kita melakukan zikir dahulu baru kemudian
shalat Ashar?
Jawab: Yang lebih utama adalah shalat
sendiri dengan cara qashar, karena sunnah bagi seorang musafir adalah
mengqashar shalat. Jika anda ikut shalat bersama jamaah maka wajib shalat
dengan sempurna berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah r. Dan jika anda hendak menjama’ shalat maka harus segera dilaksanakan
sebagai pengamalan terhadap sunnah sebagaimana jawaban yang telah lalu dalam
soal no: 67, setelah membaca istighfar sebanyak tiga kali dan membaca:
اللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Akan tetapi jika musafir hanya seorang
diri maka wajib baginya untuk shalat bersama jamaah yang ada dan menyempurnakan
shalatnya karena shalat berjamaah merupakan kewajiban sedangkan qashar shalat
adalah sunnah, maka yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah.
69. Apa hukumnya jika orang yang
menetap shalat dibelakang orang yang safar atau sebaliknya, apakah pada saat
tersebut seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, baik jika dia menjadi
makmum atau imam?
Jawab: Shalatnya seorang musafir
dibelakang orang yang mukim dan shalatnya orang yang mukim dibelakang musafir
keduanya tidak mengapa, akan tetapi jika makmumnya musafir dan imamnya adalah orang yang mukim
(menetap) maka shalatnya wajib dilakukam dengan sempurna karena harus mengikuti
imam, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam musnad imam Ahmad dan Shahih
Muslim dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma bahwa beliau ditanya tentang shalat
musafir di belakang orang yang menetap sebanyak empat rakaat, maka dia menjawab
bahwa itulah sunnah.
Adapun jika seorang yang menetap shalat
dibelakang musafir pada shalat yang empat rakaat maka dia harus menyempurnakan
shalatnya jika imamnya memberi salam.
70. Dalam masalah jama' antara shalat
Maghrib dan Isya karena hujan, mungkin ada terjadi satu kondisi dimana sebagian
jamaah dan imam shalat Isya kemudian ada sebagian orang yang masuk ikut shalat
bersama imam dengan dugaan bahwaa dia
(imam) shalat Maghrib, maka bagaimanakah kedudukan shalat mereka?
Jawab: Mereka harus tetap duduk setelah
rakaat yang ke tiga dan membaca tasyahhud dan berdoa serta melakukan salam
bersamanya. Kemudian setelah itu shalat Isya untuk mendapatkan keutamaan jamaah
dan melakukannya dengan urut. Yang wajib jika telah ketinggalan satu rakat maka
shalatlah bersamanya dari rakat sisanya dengan niat Maghrib dan sah shalat
Maghribnya. Dan jika ketinggalan lebih dari itu maka shalatlah bersamanya
kemudian melengkapi rakaat yang tersisa pada mereka. Demikian juga halnya
seandainya dia mengetahui bahwa shalat yang berlangsung adalah shalat Isya,
maka ikutlah bersamanya dengan niat Maghrib dan melakukan sebagaimana yang
telah kami sebutkan kemudian setelah itu shalat Isya, menurut pendapat yang
lebih kuat diantara dua pendapat ulama.
71. Terjadi perbedaan pendapat dalam
masalah keutamaan melakukan sunat rawatib, ada yang mengatakan bahwa
melakukannya termasuk sunat dan ada juga yang mengatakan bukan merupakan sunat
karena shalat fardunya telah diqashar, apa pendapat syaikh dalam masalah ini?
Demikian juga dengan masalah shalat sunat mutlak seperti shalat lail?
Jawab: Sunnah bagi seorang musafir
meninggalkan shalat rawatib Zuhur, Maghrib dan Isya dan tetap melakukan sunat
Fajar, untuk mencontoh Rasulullah r dalam masalah ini. Demikian juga halnya dengan masalah tahajjud
pada waktu malam dan shalat witir, dalam perjalanan keduanya tetap
disyariatkan, karena Rasulullah r melakukan hal yang demikian itu, begitu juga seluruh shalat mutlak
dan shalat yang memiliki sebab seperti shalat Dhuha, shalat sunat wudhu dan
shalat Kusuf (shalat gerhana), disyariatkan juga baginya sujud tilawah dan
shalat Tahiyatul masjid jika dia masuk masjid untuk shalat atau untuk tujuan
lain.
MASALAH-MASALAH
UMUM
72. Apakah taharah merupakan syarat
bagi sujud tilawah? Apakah dia harus bertakbir jika hendak sujud atau bangun
dari sujud, baik dalam shalat ataupun di luar shalat? Apa yang dibaca saat
sujud? Apakah terdapat doa yang ada dalam masalah ini shahih? Apakah
disyariatkan salam pada sujud ini jika dilakukan di luar shalat?
Jawab: Sujud tilawah tidak disyaratkan
baginya untuk bersuci menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama
dan tidak terdapat padanya salam dan takbir saat bangun darinya menurut
pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Dan disyariatkan bertakbir
saat bersujud, karena terdapat hadits Ibnu Umar radiallahuanhuma yang
menunjukkan hal tersebut.
Sedangkan jika sujud tilawah dilakukan
saat shalat, maka wajib baginya bertakbir saat hendak sujud dan saat bangun,
karena Rasulullah r melakukan hal tersebut dalam shalatnya saat hendak sujud dan saat
hendak bangun. Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah r bahwa beliau bersabda: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kalian
melihat aku shalat “Disyariatkan dalam sujud tersebut untuk membaca zikir dan
doa sebagaimana yang dibaca pada sujud waktu shalat berdasarkan umumnya hadits, diantaranya
adalah:
اللَّهُمَّ
لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ
وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ تَبَارَكَ اللهُ
أَحْسَنُ الخَالِقِيْن
“Ya Allah, kepada-Mu aku
bersujud dan kepada-Mu aku berserah diri, aku bersujud kepada yang menciptakan
(ku) menggambar (membentuk) tubuhku, dan memecahkan (memberikan) pendengaran
dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya, maha suci Allah sebaik-baik
pencipta “
Imam Muslim meriwayatkan dalam
Shahihnya dari hadits Ali t, bahwa Rasulullah r mengucapkan zikir ini dalam sujud waktu shalat, dan telah
dikemukakan sebelumnya bahwa apa yang disyariatkan dalam sujud waktu shalat
juga disyariatkan dalam sujud tilawah dan terdapat riwayat dari Rasulullah r bahwa beliau berdoa saat
sujud tilawah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِيْ بِهَا عِندَكَ أَجْرًا
وَامْحُ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِيْ عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا
مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُد عَلَيْهِ السَّلاَم
“ Ya Allah tetapkanlah
bagiku dari sisi-Mu pahala, dan hapuskanlah dariku dengannya dosa dan
jadikanlah bagiku dari sisi-Mu simpanan dan terimalah dariku sebagaimana Engkau
menerima dari hamba-Mu Daud alaihissalam “
Yang wajib
dalam masalah ini
adalah membaca:
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الأَعْلَى
Sebagaimana yang wajib dibaca saat
sujud waktu shalat, sedangkan yang lebih dari itu berupa zikir dan doa adalah
sunnah. Sedangkan sujud tilawah sendiri baik dalam shalat ataupun diluar shalat
adalah sunnah, sebagaimana terdapat riwayat dalam hadits Zaid bin Tsabit yang
menunjukkan hal tersebut dan riwayat dari Umar t yang juga menunjukkan hal tersebut.
73.
Ada kemungkinan gerhana matahari terjadi setelah waktu Ashar, apakah
shalat gerhana dapat dilaksanakan dalam waktu yang terlarang? Begitu juga
halnya dengan shalat tahiyyatul masjid?
Jawab: Dalam kedua masalah tersebut
terdapat perbedaan di antara para ulama, dan yang benar adalah boleh melakukan
hal tersebut bahkan disyariatkan, karena shalat gerhana dan tahiyyatul masjid adalah
shalat yang memiliki sebab. Oleh karena itu disyariatkan meskipun pada waktu
yang terlarang seperti setelah Ashar dan setelah Subuh sebagaimana waktu-waktu
yang lainnya berdasarkan umumnya hadits Rasulullah r :
(( إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوْا وَادْعُوْا حَتَّى يَنْكَشِفَ
مَا بِكُمْ )) متفق عليه.
“Sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua diantara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak
terjadi gerhana karena kematian seseorang atau kehidupannya, jika kalian
menyaksikannya maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana berlalu” (Muttafaq alaih).
Dan juga berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( إِذَا
دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ ))
متفق على صحته.
“ Jika salah seorang
diantara kalian memasuki masjid, maka janganlah duduk hingga dia shalat dua
rakaat” (Muttafaq alaih).
Begitu juga shalat sunat thawaf dua
rakaat, seandainya seorang muslim thawaf setelah Subuh atau setelah Ashar,
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( يَا
بنَيِ عَبْدِ مَنَاف لاَ تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا البَيْتِ وَصَلَّى
أيّةِ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أو نَهَارٍ )) رواه الإمام أحمد وأهل السنن
الأربع بإسناد صحيح عن جبير بن مطعم t.
“Wahai Bani Abdi Manaf,
janganlah kalian mencegah seseorang untuk melakukan thawaf di Baitullah dan
melakukan shalat kapan saja dia suka baik siang maupun malam” (Muttafaq alaih).
74. Apa yang dimaksud dengan akhir
shalat
(دُبر الصَّلاة)
dalam hadits yang menganjurkan untuk membaca
doa atau zikir setiap akhir shalat, apakah yang dimaksud adalah akhir shalat
atau setelah salam?
Jawab: Akhir shalat bisa dipahami
akhirnya sebelum salam atau setelah salam langsung, dan terdapat banyak hadits
shahih tentang hal tersebut dan mayoritas menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah akhir shalat sebelum salam jika berkaitan dengan doa, berdasarkan hadits
Ibnu Mas’ud, tatkala beliau diajarkan Rasulullah r tentang tasyahhud kemudian beliau bersabda:
(( ثُمَّ
لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو )) وفي لفظ: (( ثُمَّ
لِيَخْتَرْ مِنَ المَسْأَلَةِ مَا شَاءَ )) متفق عليه.
“Kemudian hendaklah dia
memilih doa yang diingininya lalu berdoa" dan dalam lafadz yang lain
“Kemudian dia memilih permohonan yang dia sukai” (Muttafaq alaih).
Diantaranya juga adalah hadits Mu’az,
bahwa Rasulullah r bersabda:
(( لاَ
تَدَعَنَّ دُبرَ كُلِّ صَلاَةٍ أَنْ تَقُوْلَ: اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ
وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ )) أخرجه أبو داود والترمذي والنسائي بإسناد صحيح.
“Janganlah engkau tinggalkan disetiap akhir
shalat untuk membaca“:
" اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ
وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ "
“ Ya Allah tolonglah aku
untuk berzikir kepada-Mu dan bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik
kepada-Mu “ (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmuzi
dan Nasai dengan sanad yang shahih).
Diantaranya juga adalah apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Saad bin Abi Waqas t dia berkata: Adalah
Rasulullah r disetiap akhir shalat membaca:
((
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ البُخْلِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الجُبْنِ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ العُمْرِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ ))
“ Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari sifat kikir dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa takut dan aku
berlindung kepada-Mu untuk tidak dikembalikan kepada umur yang sia-sia (pikun)
dan aku berlindung kepad-Mu dari fitnah dunia dan dari azab kubur “
Adapun zikir-zikir yang terdapat dalam
masalah ini, maka beberapa hadits yang shahih menunjukkan bahwa hal tersebut
dibaca setelah salam, diantaranya adalah dengan membaca saat selesai salam:
أَسْتَغْفِرُ
اللهَ أسْتَغْفِرُ الله أستغفر الله, الَّلهُمَّ أنت السَّلام ومِنْكَ السَّلام
تَبَارَكْتَ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Baik dia menjadi imam ataupun ma’mum,
atau dia shalat sendirian. Adapun jika
dia menjadi imam, maka hendaknya dia berbalik menghadapkan mukanya kepada
ma’mum, dan setelah membaca zikir yang di atas, maka baik imam, ma’mum atau
yang shalat seorang diri hendaknya membaca:
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَـيْءٍ قَدِيْرٌ, لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ
الفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ
وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدُّ مِنْكَ الجَدُّ
Sunnah bagi setiap muslim dan muslimah
untuk membaca zikir ini setelah selesai shalat lima waktu dan kemudian membaca tasbih,
hamdalah dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali dan untuk melengkapi hingga
seratus, maka bacalah:
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَـيْءٍ قَدِيْرٌ
Demikianlah semuanya terdapat
riwayatnya dari Rasulullah r, dan setelah itu hendaklah membaca ayat kursi sekali dan membaca
surat Al-Ikhlas serta mu’awwizatain (Al-Falaq dan An-Nas)
setiap habis shalat sekali dengan bacaan pelan, kecuali pada shalat Maghrib dan
Subuh maka disunnahkan baginya untuk mengulangi bacaan ketiga surat tersebut
sebanyak tiga kali, disunnahkan pula bagi muslim dan muslimah setelah shalat
Fajar dan Maghrib untuk membaca:
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ
يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَـيْءٍ قَدِيْرٌ
Sebanyak sepuluh kali, sebagai tambahan
atas bacaan sebelumnya dan sebelum membaca ayat Kursi dan ketiga surat yang telah disebutkan,
sebagai pengamalan atas hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan masalah ini.
75. Apa hukumnya zikir yang dilakukan
secara berbarengan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, Apakah
sunnahnya dalam masalah ini mengeraskan suara atau menyembunyikannya?
Jawab: Yang disunnahkan adalah
mengeraskan bacaan zikir setelah shalat lima waktu dan setelah shalat Jum’at
setelah salam, sebagaimana terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dari Ibnu Abbas
radiallahuanhuma, bahwa beliau mengeraskan suaranya saat zikir dan setelah
melaksanakan shalat fardhu, hal tersebut dilakukan pada zaman Rasulullah r, Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui mereka shalat jika aku
mendengarnya“
Adapun melakukan secara berbarengan
dimana satu sama lain saling memadukan suaranya dari awal hingga akhir dan
saling mengikuti, hal tersebut tidak terdapat dasarnya, justru itu adalah
bid’ah, yang disyari’atkan adalah melakukan zikrullah semuanya tanpa satu sama
lain saling mengikuti suaranya, dari awal hingga akhir.
76. Jika seseorang berbicara saat
shalat karena lupa apakah shalatnya batal?
Jawab: Jika seorang muslim berbicara
saat shalat karena lupa atau tidak tahu maka shalatnya tidaklah batal
karenanya, baik itu shalat fardhu atau shalat sunat, berdasarkan firman Allah I:
“ Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah “ ( Al Baqarah: 286).
Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah
r bahwa Allah I berfirman: “Aku telah melakukannya (tidak menghukum orang yang
lupa dan tersalah)”
Terdapat dalam Shahih Muslim dari
Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Silmi t bahwa dia menjawab orang yang batuk saat shalat karena tidak tahu
atas hukum syar’i, maka orang-orang yang berada di sekelilingnya mengingkarinya
dengan memberikan isyarat, maka dia bertanya kepada Nabi r tentang hal tersebut dan
nabi tidak menyuruhnya untuk mengulanginya, sedangkan orang yang lupa seperti
orang yang tidak tahu bahkan justru lebih utama, karena Rasulullah r berbicara saat shalat karena lupa dan dia tidak mengulanginya
bahkan justru meneruskan shalatnya sebagaimana yang terdapat dalam
Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dalam kisah Dzul Yadain dan juga
sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud dan Imran
bin Hushain radiallahuanhum.
Sedangkan memberi isyarat dalam shalat
tidaklah mengapa jika terdapat keperluan di dalamnya.
Jawaban
ini didiktekan
oleh
orang yang mengharap ampunan Rabb-nya:
Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz
Semoga
Allah I
memberi ampunan kepadanya,
Shalawat
serta salam kepada nabi Muhammad r,
Makkah
Al-Mukarramah -
Dzul
Hijjah tahun 1412 H
P
TATA
CARA SHALAT NABI r
Segala puji bagi Allah I semata, shalawat serta salam kepada hamba dan rasul-Nya
Muhammad r dan keluarganya serta shahabatnya.
Ini adalah uraian singkat yang
menerangkan tentang sifat shalat Nabi r, saya sampaikan kepada seluruh muslim dan muslimah, agar setiap
orang yang membacanya berusaha untuk mengikuti Rasulullah r dalam masalah ini, sebagaimana haditsnya: “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat” Riwayat Bukhari.
Berikut penjelasannya:
1. Melakukan wudhu dengan sempurna,
yaitu sebagaimana yang Allah perintahkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (Al Maidah: 6).
Hadits Rasulullah:
(( لاَ
تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ )) رواه مسلم في
صحيحه.
“Tidak diterima shalat
tanpa thaharah dan shadaqah dari harta yang tidak halal” (Riwayat Muslim dalam Shahihnya)
2. Menghadap Kiblat -yaitu Ka’bah-
dimana saja dia berada dengan seluruh badannya seraya menghadirkan hatinya
(niat) untuk melakukan shalat yang diinginkannya (fardhu atau sunnah), lisannya
tidak melafazkan niat, karena melafazkan niat dengan lisan tidak disyariatkan
bahkan perbuatan tersebut adalah bid’ah karena Rasulullah r tidak melafazkan niat begitu juga halnya dengan para shahabat y, dan disunnahkan baginya untuk membuat sutrah (pembatas) didepannya jika dia menjadi imam atau shalat
sendirian berdasarkan perintah Rasulullah dalam masalah ini.
3. Melakukan Takbiratul Ihram, seraya
berkata: “ الله أكبر
" sementara pandangannya diarahkan ke tempat sujud.
4. Mengangkat kedua tangan saat takbir
hingga sejajar dengan pundak atau kedua ujung telinga.
5. Meletakkan kedua tangan di dada,
tangan kanan diatas telapak tangan kiri, pergelangan tangan. Berdasarkan hadits
Wa’il Ibnu Hujr dan Qubaishah bin Halb Ath-Tho’i dari bapaknya radiallahuanhuma.
6. Disunnahkan untuk membaca Doa
Istiftah, yaitu:
((
اللَّهَمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ
المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَاي كَمَا يُنَقَّى
الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَاي
بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ )) متفق على صحته من حديث أبي هريرة t عن
النبي r.
Jika ingin dia dapat menggantinya
dengan bacaan yang lain, misalnya:
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ
غَيْرُكَ
Karena ada riwayat tersebut dari Nabi r, dan jika dia membaca selain keduanya dari doa Istiftah yang
shahih dari Rasulullah r tidaklah mengapa, akan tetapi yang lebih utama membacanya secara
bergantian agar dapat mengamalkan semuanya, kemudian setelah itu membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Lalu membaca surat Al-Fatihah, berdasarkan hadits
Rasulullah r :
(( لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))
“Tidak sah shalat
seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab
(surat
Al-Fatihah) “
Setelah selesai membaca: “آمِـــــــيْن “ dengan suara keras
pada shalat yang bacaannya keras (jahriyah) dan membaca pelan pada shalat yang
bacaannya pelan (sirriyah), setelah itu membaca surat dari Al-Quran, dan yang
lebih utama pada shalat Zuhur, Ashar dan Isya membaca surat yang sedang (أوْسَاط المفَصَّل)
sedangkan dalam shalat Fajar membaca surat yang panjang dan pada shalat Maghrib
membaca surat-surat pendek, kadang pada shalat Maghrib membaca surat yang
panjang dan yang sedang, sebagaimana riwayat yang terdapat dari Rasulullah r , disyariatkan pada shalat Ashar untuk lebih cepat pelaksanaannya
dari shalat Zuhur.
7. Melakukan ruku’ seraya bertakbir dan
mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau kedua telinga dan
menjadikan kepala sejajar dengan punggung, tangan diletakkan pada kedua lutut
dengan membuka jemari serta thuma’ninah dalam ruku’seraya mengucapkan:
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
Lebih utama jika diulang sebanyak tiga
kali atau lebih, disunnahkan pula membaca:
سُبْحَانَكَ الَّلهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي
8. Mengangkat kepala dari ruku’ sambil
mengangkat kedua tangan sejajar dengan pundak atau telinga seraya membaca:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Hal tersebut dilakukan jika dia menjadi
imam atau shalat seorang diri. Dan setelah berdiri, membaca:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْداً كَثِيْراً
طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الأَرْضِ وَمِلْءُ مَا
بَيْنَهُمَا وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Dapat ditambah dengan bacaan berikut:
أَهْلُ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ, أَحَقُّ مَا
قَالَ العَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ
وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Jika ditambah dengan bacaan tersebut
bagus, sebab terdapat riwayat mengenai hal tersebut dalam beberapa hadits yang
shahih.
Adapun jika dia menjadi makmum, maka
saat berdiri dia membaca:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Hingga seterusnya sebagaimana yang
telah disebutkan diatas.
Dan disunnahkan bagi semuanya -saat
I’tidal- untuk meletakkan kedua tangan di atas dada, sebagaimana yang dia
lakukan saat berdiri sebelum ruku’, karena terdapat riwayat dari Rasulullah r yang menunjukkan hal tersebut,
dari hadits Wa’il bin Hujr dan Sahl bin Sa’ad radiallahuanhuma.
9. Bersujud sambil bertakbir dengan
meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan jika mudah baginya,
tetapi jika sulit maka boleh baginya untuk meletakkan kedua tangan sebelum
lutut. Seluruh jari tangan dan kaki menghadap Kiblat, jari jemari tangannya
dirapatkan, dan sujud diatas tujuh anggota: Kening bersama hidung, kedua
tangan, kedua lutut dan jari jemari kaki. Kemudian membaca:
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الْأَعْلىَ
“Maha
Suci Allah yang Maha Tinggi”
Diulangi sebanyak tiga kali atau lebih,
dan disunnahkan untuk membaca:
سُبْحَانَكَ الُّلهَمَّ رَبّنَا وَبِحَمْدِكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي
Memperbanyak untuk membaca doa,
sebagaimana hadits Rasulullah r :
(( أَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ
الرَّبَّ، وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ ))
“Ketika ruku’ maka
agungkanlah (nama) Rabbmu. Dan ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam
berdo’a, karena do’a kalian layak untuk dikabulkan”.(HR. Muslim).
Dan juga berdasarkan haditsnya:
(( أَقْرَبُ
مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوْا مِنَ
الدُّعَاءِ ))
“Kondisi dimana seorang
hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah di saat ia sedang sujud, karena itu
perbanyaklah do’a”. (HR. Muslim).
Orang yang shalat dapat memohon kepada
Rabb-nya baginya dan bagi yang lainnya dari kebaikan dunia dan akhirat, baik
dalam shalat sunat atau fardhu.
Kedua lengannya direnggangkan dari
lambungnya dan perutnya direnggangkan dari pahanya, sementara pahanya
direnggangkan dari betisnya, dan pergelangan tangannya diangkat dari bumi,
berdasarkan hadits Rasulullah r :
((
اِعْتَدِلُوْا فِي السُّجُوْدِ, وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِراَعَيْهِ انْبِسَاطَ
الْكَلْبِ )) متفق عليه.
“Tegaklah dalam sujud kalian, jangan ada salah
seorang dari kalian yang meletakkan kedua lengannya seperti seekor anjing.”
10. Mengangkat kepala sambil bertakbir,
Menjadikan kaki kirinya sebagai alas dan dia duduk di atasnya, sementara
telapak kaki kanan ditegakkan, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan
kedua lutut, sambil membaca:
رَبِّ اغْفِرْلِي, رَبِّ اغْفِرْلِي, رَبِّ
اغْفِرْلِي, الَّلهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي
وَاهْدِنِي وَاجْبُرْنِي
Thuma’ninah saat sujud hingga semua
sendi tulang kembali kepada posisinya semula, sebagaimana waktu i’tidal setelah
ruku’, karena Rasulullah r memanjangkan waktu i’tidal setelah ruku’ dan duduk diantara dua
sujud.
11. Melakukan sujud yang kedua sambil
bertakbir, dan melakukan sebagaimana yang dilakukan pada sujud yang pertama.
12. Mengangkat kepala sambil bertakbir,
dan duduk sesaat sebagaimana
duduk diantara dua sujud, dinamakan duduk istirahat, dan
hal tersebut disunnahkan menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat
para ulama, jika ditinggalkan tidaklah mengapa, tidak terdapat di dalamnya
zikir ataupun do’a, kemudian berdiri untuk meneruskan rakaat kedua dengan
bertopang kepada lututnya jika memungkinkan baginya, jika tidak memungkinkan
baginya maka dia dapat bertopang dengan kedua tangan. Kemudian (setelah tegak
berdiri) membaca Al-Fatihah dan Surat
lain dari Al-Quran setelahnya sebagaimana pada rakaat pertama dan melakukan
sebagaimana yang dilakukan pada rakaat pertama. Tidak dibolehkan bagi makmum
untuk mendahului imam, karena Rasulullah r melarang hal yang demikian itu, dan makruh jika membarenginya
tanpa adanya jeda dan setelah selesai suaranya, sebagaimana hadits Rasulullah r :
((
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلَا تَخْتَلِفُوْا عَلَيْهِ
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا, وَإِذاَ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ,
فَقُوْلُوْا: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ, فَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا ))
“Imam hanya
dijadikan untuk diikuti, karenanya janganlah kalian menyelisihi imam, apabila
imam takbir, maka takbirlah, apabila imam mengucapkan “sami’allaahu liman
hamidah” maka ucapkanlah: “Rabbanaa wa lakal hamd.” Apabila imam
sujud, maka sujudlah". (HR. Bukhari dan
Muslim).
13. Jika shalatnya terdiri dari dua
rakaat, seperti shalat Fajar, shalat Jum’at dan shalat Ied, maka hendaknya dia
duduk dari sujud yang kedua dengan menegakkan kaki kanannya dan menjadikan kaki
kirinya sebagai alas. Meletakkan tangan kanannya diatas paha kanan dan tangan
kiri diatas paha kiri. Menggenggam semua jari-jari kecuali telunjuk dan
memberikan isyarat tauhid saat menyebut nama Allah dan saat berdoa. Jika jari
kelingking dan jari manis digenggam, ibu jari dan jari tengah membentuk
lingkaran sementara telunjuknya memberikan isyarat maka hal tersebut bagus.
Karena kedua cara ini terdapat riwayatnya dari Rasulullah r, yang utama adalah jika melakukan keduanya secara bergantian.
Tangannya diletakkan diatas paha dan lutut kiri, kemudian saat duduk membaca
tasyahhud, yaitu:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَواتُ
وَالطَّيِّبَاتُ, السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُه, السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْن,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُه
Setelah itu membaca:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّد, وَعَلىَ آلِ
مُحَمَّدٍ, كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ, وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ, وَبَارِكْ
عَلىَ مُحَمَّدٍ, وَآلِ مُحَمَّدٍ, كَمَا بَارَكْتَ علَىَ إِبْرَاهِيْمَ, وَآلِ
إِبْرَاهِيْم إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد
Dan kemudian berlindung kepada Allah
dari empat perkara dengan membaca:
الَّلهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذِابِ القَبْرِ, وَمِنْ
فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ, وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيْحِ الدَّجَّال
“Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari azab Jahannam dan dari azab kubur dan dari fitnah kehidupan dan
kematian, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal“
Kemudian setelah itu dia berdoa
sekehendak hatinya dari kebaikan dunia dan akhirat, dan jika dia berdoa untuk
kedua orang tuanya dan kaum muslimin pada umumnya tidaklah mengapa, baik pada
shalat fardhu ataupun shalat sunat berdasarkan umumnya hadits Rasulullah r, dan terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud, saat Rasulullah r mengajarkannya tasyahhud (beliau bersabda):
(( ثُمَّ
لِيَخْتَرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو ))
“Kemudian pilihlah doa yang
disukainya dan berdoa (dengannya) “
Dan dalam redaksi yang lain:
(( ثُمَّ
لِيَخْتَرْ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ ))
“Kemudian pilihlah
permintaan yang dikehendakinya “
Permintaannya dapat berupa apa saja
yang memberikan manfaat bagi seorang hamba di dunia dan akhirat. Kemudian
setelah itu melakukan salam ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ...
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
14. Jika shalatnya terdiri dari tiga
rakaat seperti Maghrib, atau empat rakaat seperti Zuhur, Ashar dan Isya, maka
dia membaca tasyahhud yang telah disebutkan dan membaca shalawat atas Nabi,
kemudian setelah itu bangun dengan bertopang pada lutut dengan mengangkat kedua
tangan sejajar dengan pundak, sambil mengucapkan: "الله أكبر" dan meletakkan
kedua tangan diatas dada sebagaimana yang telah lalu, kemudian membaca
Al-Fatihah saja. Jika sekali-kali pada rakaat ketiga dan keempat pada shalat Zuhur dia membaca surat sebagai tambahan
atas Al Fatihah maka tidaklah mengapa, karena terdapat riwayat dari Nabi yang
menunjukkan hal tersebut, yaitu dari hadits Abu Said t. Kemudian melakukan
tasyahhud setelah rakaat ketiga
pada shalat Maghrib, dan setelah rakaat
keempat pada shalat Zuhur, Ashar dan Isya, lalu membaca shalawat atas Nabi r dan berlindung kepada Allah dari azab Jahannam, azab kubur, fitnah
kehidupan dan kematian serta fitnah Dajjal, dan memperbanyak membaca doa, di
antara doa yang disyari’atkan dalam hal ini dan di kesempatan yang lain adalah:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Sebagaimana terdapat riwayat dari Anas
radiallahuta’ala anhu, dia berkata: “ Doa yang paling sering dibaca Nabi r adalah:
رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Semua tersebut sebagaimana yang
dilakukan pada shalat yang terdiri dari dua rakaat, akan tetapi duduknya dengan
cara tawarruk, yaitu dengan meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanannya,
sementara dia duduk di atas lantai dengan menegakkan kaki kanannya, sebagaimana
hadits Abu Humaid dalam masalah ini, kemudian setelah itu melakukan salam ke
kanan dan ke kiri sambil mengucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ...
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
(Selesai salam) hendaklah membaca istighfar sebanyak tiga
kali, setelah itu mengucapkan:
اَللَّــهُمَّ أَنْتَ
السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ, لاَ
إِلَهَ إِلا الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله.
اَللَّــهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ
يَنْفَعُ ذَا اْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ, لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله.
وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ. لَهُ النِّعْمَةُ وَ لَهُ اْلفَضْلُ وَ لَهُ
الثَّنَاءُ اْلحَسَنُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ مُخْلِصِـيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
وَلَوْ كَرِهَ اْلكَافِرُوْنَ.
“Ya Allah, Engkau
Maha Sejahtera, dari Engkaulah datangnya kesejahteraan, Engkau Maha Berkah,
wahai yang mempunyai Keagungan dan Kemuliaan, tiada Ilah yang berhak
disembah selain Allah yang Esa, tidak
ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia berkuasa
atas segala sesuatu. Ya Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau
berikan, tidak ada yang mampu memberi sesuatu yang Engkau tolak, dan tidak ada
gunanya bagi Engkau kekayaan manusia, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
izin Engkau, ya Allah. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah. Kami
tidak menyembah selain Dia. Bagi-Nya kenikmatan, bagi-Nya anugrah, dan bagi-Nya
pujian yang baik. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Kami
mengikhlaskan dien ini (agama ini) karena-Nya, meskipun orang-orang kafir
membenci.”
Kemudian membaca tasbih (سبحان الله), hamdalah (الحمد لله) dan takbir (الله أكبر), masing-masing sebanyak
tiga puluh tiga kali, dan disempurnakan menjadi seratus dengan membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Tiada Ilah yang
berhak disembah selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya
kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia berkuasa atas segala sesuatu.”
Setelah itu membaca Ayat Kursi, lalu surat Al-Ikhlas,
Al-Mu’awwizatain (Al-Falaq dan An-Nas) setiap kali selesai
shalat, dan disunnahkan untuk mengulanginya sebanyak tiga kali setiap selesai
shalat Fajar dan shalat Maghrib, karena terdapat riwayat tentang hal tersebut
dari Nabi. Disunnahkan juga setiap selesai shalat Fajar dan Maghrib untuk
menambah zikir yang terdahulu dengan membaca:
لاَ إِلَهَ
إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ
يُـحْيِيْ وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Tidak ada Ilah yang berhak
disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala
kerajaan dan bagi-Nyalah segala pujian, Dialah Dzat Yang Menghidupkan dan
Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Sebanyak sepuluh kali, berdasarkan
riwayat tentang hal tersebut dari Nabi.
Jika
dia menjadi imam, maka hendaklah berbalik dan menghadapkan wajahnya kepada
jamaah setelah membaca istighfar tiga kali dan setelah membaca:
اَللَّــهُمَّ
أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ
وَاْلإكْرَامِ
"Ya Allah Engkau Maha Sejahtera,
dari-Mu kesejahteraan, Maha Berkah Engkau wahai Dzat yang memiliki Keagungan
dan Kemuliaan".
Kemudian setelah itu membaca
zikir-zikir yang telah disebutkan, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh
sekian banyak hadits dari Nabi r, di antaranya adalah hadits Aisyah radiallahuanha dalam shahih
Muslim dan semua zikir tersebut adalah sunnah dan bukan fardhu.
Disunnahkan bagi setiap muslim dan
muslimah untuk melakukan shalat sebelum shalat Zuhur sebanyak empat rakaat dan setelahnya dua rakaat, setelah shalat Maghrib dua
rakaat, setelah shalat Isya dua
rakaat, sebelum shalat Subuh dua rakaat, seluruhnya dua belas
rakaat, semua shalat itu dinamakan “rawatib”. Rasulullah r selalu melakukannya dalam keadaan menetap, adapun jika dalam
perjalanan dia meninggalkannya kecuali shalat sunat Fajar dan shalat Witir,
karena Rasulullah r selalu menjaganya baik saat menetap atau dalam perjalanan, maka
kita harus meneladaninya, karena Allah I berfirman:
“Sungguh bagi kalian
dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik “ (Al-Ahzab: 21).
Dan berdasarkan sabda Rasulullah r :
(( صَلُّوْا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي )) رواه البخاري.
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat “
(HR.Bukhari).
Yang utama melakukan sunnah rawatib ini
di rumah, jika dilakukan di masjid tidak mengapa berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( أَفْضَلُ
صَلاَةِ المَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَة المَكْتُوْبَة )) متفق على صحته.
“Shalat yang paling utama
adalah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu “ (Muttafaq alaih).
Menjaga shalat rawatib merupakan salah
satu sebab untuk masuk syurga, sebagaimana terdapat riwayat dalam Shahih Muslim
dari Ummu Habibah radiallahuanha, bahwasanya dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah r bersabda:
((
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِيْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ
بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ ))
“Barang siapa
melaksanakan shalat sunnah 12 raka'at setiap hari, maka akan disediakan
untuknya rumah di surga”. (HR. Muslim).
Imam Turmuzi telah memberikan
penafsiran dalam hadits ini sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika
seseorang shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar, dua rakaat sebelum shalat
Maghrib dan dua rakaat sebelum shalat Isya, maka itu adalah baik, berdasarkan
hadits Rasulullah r :
(( رَحِمَ
اللهُ امْرَءاً صَلَّى أَرْبَعاً قَبْلَ العَصْرِ )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه, وابن
خزيمة وصححه وإسناده صحيح.
“Semoga Allah memberi
rahmat kepada orang yang shalat empat rakaat sebelum Ashar “ (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Turmuzi dan Ibnu Khuzaimah).
Juga berdasarkan hadits Rasulullah r
(( بَيْنَ
كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ثُمَّ قَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ
لِمَنْ شَاءَ)) رواه البخاري.
“Antara dua azan
(terdapat) shalat, antara dua azan terdapat shalat”, kemudian kali yang ketiga
beliau bersabda: “bagi siapa yang suka
“ (Riwayat Bukhari).
Demikianlah apa yang disampaikan oleh
Al-Faqir Ila Rabbihi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Semoga Allah
selalu memperkenankannya, mengampuninya dan kedua orang tuanya.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد
وآله وأصحابه أجمعين وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين.